
Selamat Datang, Welcome, Huanying, Bienvenue di RI, Resesi...

Jakarta, CNBC Indonesia - Data perdagangan internasional periode Agustus 2020 memberi gambaran bahwa perekonomian Indonesia masih lesu. Sepertinya resesi ekonomi sudah tidak bisa dihindari lagi.
Pada Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia adalah US$ 13,07 miliar. Turun 8,36% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Ekspor mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) dalam dua bulan pertama kuartal II-2020. Dengan waktu tersisa hanya sebulan, sulit berharap ekspor bisa tumbuh positif pada periode Juli-September 2020.
Dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran, ekspor memang 'hanya' menempati peringkat ketiga setelah konsumsi rumah tangga dan Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi. Namun kontribusinya tidak bisa dipandang remeh, sekitar 14-17%. Kalau sumbangan ini turun atau bahkan hilang, maka dampaknya tentu lumayan signifikan.
Namun ekspor juga pada gilirannya akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga. Sebab kala perusahaan tidak bisa menjual produknya ke luar negeri, maka pendapatan mereka akan turun. Saat keuangan perusahaan dalam masa sulit, jangankan berharap kenaikan gaji, tidak kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) saja sudah bersyukur.
"Secara umum aktivitas ekspor akan memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat melalui sektor produksi yang bersangkutan. Setelah itu akan melalui jalur faktor produksi (tenaga kerja ataupun modal) dan kemudian berakhir ke rumah tangga," tulis jurnal berjudul Dampak Perdagangan Internasional Indonesia terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis karya Sulthon Sjahril Sabaruddin yang dimuat di Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan edisi April 2015.
Misalnya, ekspor makanan, minuman, dan tembakau akan memberikan efek umum sebesar 14,5% kepada rumah tangga berpendapatan rendah di perkotaan. Sementara ekspor produk pemintalan, tekstil, pakaian, dan kulit memberikan efek umum 32,3% kepada rumah tangga berpendapatan menengah-atas di perkotaan.
![]() |
![]() |
Jadi kontraksi ekspor tidak hanya mempengaruhi ekspor itu sendiri, tetapi juga konsumsi rumah tangga. Saat konsumsi rumah tangga terpukul, maka PDB secara keseluruhan akan jatuh.
HALAMAN SELANJUTNYA >> Impor Lesu Parah
Tidak hanya ekspor, impor Indonesia pun mengalami kontraksi. Pada Agustus, nilai impor Indonesia adalah US$ 10,74 miliar, ambles 24,19% YoY.
Lho, kalau impor turun bukannya bagus ya? Bukankah Indonesia jadi untung?
Tidak semudah itu, kawan...
Masalahnya, hampir 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan produksi industri dalam negeri. Jadi kalau impor turun, maka menjadi gambaran proses produksi dalam negeri sedang lesu.
Dari sisi lapangan usaha, industri adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Tanah Air dengan kontribusi sekitar 20%. Melihat lesunya impor bahan baku dan barang modal, sepertinya industri dalam negeri belum berniat melakukan ekspansi dalam waktu dekat.
Oleh karena itu, sepertinya Indonesia akan kehilangan seperlima dari kekuatan ekonominya. Ini tentu jumlah yang cukup signifikan. Memang kuartal III-2020 masih menyisakan September. Namun dengan kinerja Juli-Agustus yang begini parah, sepertinya sulit (kalau tidak mau dibilang mustahil) bagi Indonesia untuk menghindari kontraksi PDB.
Pada kuartal II-2020, PDB Indonesia sudah terkontraksi 5,32% YoY. Kalau kuartal III-2020 negatif lagi, yang hampir pasti begitu, maka Indonesia akan resmi menyandang status negara resesi.
Mungkin dari sekarang kita harus berlatih untuk mengucapkan selamat datang, resesi...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Semangat, 'Hilal' Kebangkitan Ekonomi RI Makin Terlihat!
