Siapkan Mental, RI Resesi Bukan Hil yang Mustahal

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 August 2020 13:42
aktivitas bongkar muat di Jakarta International Container Terminal (JICT)
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Data perdagangan internasional periode Juli 2020 membawa aura campur aduk. Di satu sisi, ada kabar baik tetapi di sisi lain masih ada kekhawatiran bahwa ekonomi Indonesia bisa terjerumus ke jurang resesi.

Kita mulai dari kabar baik dulu ya. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Juli sebesar US$ 13,73 miliar. Melonjak 14,43% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM).

Dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019 (year-on-year/YoY), ekspor memang masih terkontraksi (tumbuh negatif) -9,9%. Namun ini lebih landai ketimbang ekspektasi pasar.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi -18,205% YoY. Sementara konsensus versi Reuters berada di -16,55% YoY.

Data ini menunjukkan kinerja ekspor Indonesia terus membaik. Setelah menyentuh 'kerak neraka' pada Mei, ekspor terus berada dalam tren positif.

"Ekspor secara bulanan menunjukkan progress yang menggembirakan. Kita tentu berharap ke depan terus ada peningkatan," ujar Suhariyanto, Kepala BPS.

Ketika ekspor terus menampilkan tanda-tanda perbaikan, maka ada harapan output ekonomi secara keseluruhan atau Produk Domestik Bruto (PDB) ikut membaik. Sebagai gambaran, ekspor menyumbang rata-rata 18,61% kepada PDB dalam 10 tahun terakhir.

Namun tunggu dulu, bung. Seperti yang sudah disebutkan, BPS juga menyampaikan kabar yang kurang sedap. Kabar itu datang dari sisi impor.

Bulan lalu, nilai impor tercatat US$ 10,47 miliar. Turun 2,73% MtM, dan ambles -32,55% YoY.

Lho, bukankah impor yang semakin kecil justru hal yang bagus? Sayangnya tidak semudah itu, Ferguso...

Suka tidak suka, mau tidak mau, Indonesia masih tergantung terhadap produk impor, terutama untuk bahan baku/penolong dan barang modal. Sebab harus diakui produksi dalam negeri belum memadai sehingga terpaksa harus didatangkan dari luar negeri.

Dari total impor Indonesia yang US$ 10,47 miliar tadi, sebanyak 70,58% adalah bahan baku/penolong dan 18,79% berupa barang modal. Keduanya digunakan dalam proses produksi berbagai industri domestik.

Pada Juli, impor bahan baku/penolong turun -2,5% MtM dan secara YoY rontok -34,46%. Sementara impor barang modal naik 10,82% MtM tetapi masih ambles 29,25% YoY.

Perkembangan impor bahan baku/penolong dan barang modal memburuk dibandingkan Juni. Saat itu, impor bahan baku penolong melonjak 24,01% MtM (-13,27% YoY) dan barang modal melesat 27,35% MtM (2,63% YoY).

"Ini perlu mendapat perhatian, karena bahan baku akan berpengaruh kepada industri manufaktur kita. Sementara penurunan barang modal akan berpengaruh ke PMTB (Penanaman Modal Tetap Bruto atau investasi)," lanjut Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto.

Ini yang menjadi masalah. Kontribusi PMTB dalam pembentukan PDB nasional lebih tinggi dibandingkan ekspor. PMTB rata-rata menyumbang 32,17% dalam 10 tahun terakhir.

Jadi walau ekspor pulih, tetapi kalau PMTB masih 'tiarap' ya sama saja bohong. PDB secara keseluruhan bakal sulit untuk tumbuh positif.

Pada kuartal II-2020, PDB Indonesia terkontraksi -5,32% YoY. Indonesia belum resesi, karena pada kuartal sebelumnya ekonomi masih tumbuh 2,97% YoY.

Namun kalau PDB pada kuartal III-2020 membukukan kontraksi, maka it's official. Indonesia resmi memasuki resesi. Jika melihat PMTB yang kemungkinan masih mengalami tekanan, risiko resesi hinggap di Indonesia bukan hil yang mustahal...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular