Semoga RI Seperti Turki, Bukan India...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 September 2020 06:15
Seorang pria mengibarkan bendera Turki di Hagia Sophia era Byzantium, di distrik bersejarah Sultanahmet Istanbul saat akan melaksanakan salat jumat, Jumat (24/7/2020).  (AP Photo/Omer Kuscu)
Ilustrasi Bendera Turki (AP Photo/Omer Kuscu)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rekor, rekor, dan rekor. Itulah yang terjadi kala berbagai negara mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020. Namun bukan rekor positif yang dicapai, malah rekor paling jeblok.

Kemarin, dua negara berkembang anggota G20 yaitu Turki dan India mengumumkan data output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) periode April-Juni 2020. Hasilnya mengerikan...

Ekonomi Turki pada kuartal II-2020 mengalami pertumbuhan negatif atau kontraksi 9,91% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Ingat soal rekor di paragraf pertama? Angka itu adalah rekor terendah sejak kuartal I-2009.

Turki memang akrab dengan kontraksi ekonomi. Sejak 1999, kontraksi terjadi dalam 17 kuartal.

Negeri yang dipimpin oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan ini juga tidak asing dengan resesi, yang ditandai dengan kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun. Sejak 1999, Turki sudah mengalami empat kali resesi.

Namun walau pada kuartal II-2020 ekonomi mengalami kontraksi dalam, kali ini Turki belum masuk resesi. Sebab pada kuartal sebelumnya ekonomi masih bisa tumbuh 4,44% YoY.

Beralih ke India, ekonomi Negeri Bollywood pada kuartal II-2020 tercatat kontraksi 23,92% YoY. Ini adalah pencapaian terburuk sepanjang sejarah modern India.

Beberapa tahun lalu, dunia dibuat iri oleh India. Bersama China, India menjadi 'darling' yang dipuja-puja.

Puncak kejayaan ekonomi India terjadi pada 2010. Pada kuartal IV-2010, ekonomi India tumbuh 10,69%. Namun selepas itu, pertumbuhan ekonomi India terus melambat hingga mencapai dasar pada kuartal II-2020.

Seperti Turki, India belum resmi masuk resesi. Sebab pada kuartal I-2020, PDB India masih tumbuh 3,09% YoY.

Turki dan India mengalami hal serupa dengan banyak negara lainnya. Ekonomi kuartal II-2020 mengalami kontraksi sangat dalam, bahkan ada yang sampai terendah dalam sejarah.

Semua itu gara-gara pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Penyebaran virus ini sangat cepat dan luas, sehingga memaksa pemerintah bertindak di luar kewajaran.

Seperti flu, virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini mudah menyebar ketika ada kumpulan manusia. Oleh karena itu, dibuat cara bagaimana orang-orang tidak bisa berkumpul. Bahkan jarak satu orang dengan lainnya dibuat seaman mungkin, setidaknya 1,5-2 meter.

Inilah yang disebut dengan pembatasan sosial (social distancing). Segala aktivitas yang bisa mengundang manusia untuk berkumpul, apalagi di ruangan tertutup, tidak diperkenankan.

Dalam kasus India, pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mengambil langkah ekstrem yaitu karantina wilayah (lockdown). Tidak main-main, lockdown sempat berlaku di seluruh wilayah India. Penduduk India yang lebih dari semilyar orang itu dipaksa untuk #dirumahaja, hanya boleh keluar untuk urusan yang mendesak.

Saat warga 'terpenjara' di rumah, aktivitas ekonomi mati suri. Pabrik, kantor, restoran, proyek bangunan, dan sebagainya tidak dibuka. Masyarakat yang hanya gegoleran di rumah juga mau ngapain? Tidak bisa karaoke, ngopi-ngopi cantik, nge-mal, ke bengkel, cukur rambut, dan lain-lain.

Inilah dahsyatnya corona. Dia memukul dua sisi ekonomi sekaligus, produksi dan permintaan. Saat penawaran dan permintaan mampet, bagaimana ekonomi bisa tumbuh? Menyusut iya...

Sekarang saatnya menatap masa depan. Nasib Turki dan India, seperti Indonesia, akan ditentukan pada kuartal III-2020. Jika ekonomi terkontraksi lagi, maka negara-negara tersebut akan masuk jurang resesi.

Bagaimana prospek ekonomi Turki pada periode Juli-September 2020? Masih ada waktu sebulan, tetapi dari data yang ada saat ini menunjukkan bahwa Turki bisa bangkit.

Pemulihan ekonomi Turki bisa dilihat dari aktivitas manufaktur yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI). Pada Juli, PMI manufaktur Turki tercatat 56,9. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 53,9 dan menjadi yang tertinggi sejak Februari 2011.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika sudah di atas 50, maka artinya pelaku usaha sudah siap dan akan melakukan ekspansi.

"Data PMI pada awal paruh kedua 2020 memperkuat optimisme akan pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19. Ekspansi produksi dan permintaan naik tajam dan berangsur normal," sebut Andrew Harker, Direktur Ekonomi IHS Markit, seperti dikutip dari siaran tertulis.

Sejumlah institusi memperkirakan ekonomi Turki akan membaik pada kuartal III-2020. Kalau pun tumbuh negatif, yang berarti resesi, tetapi tidak sedalam kuartal II-2020.

Salah satu lembaga yang meramal ekonomi Turki bisa bangkit adalah BBVA. Lembaga keuangan asal Spanyol itu menyebut tanda-tanda kebangkitan ekonomi Turki sudah terlihat.

"Berdasarkan proxy dari big data kami, ditambah dengan high frequency indicators yang sudah dirilis, ada sinyal pemulihan ekonomi akan membentuk pola V (V-shaped recovery) pada kuartal III-2020. Untuk sepanjang 2020, kami masih memperkirakan ekonomi Turki akan tumbuh di kisaran -3% sampai 1%. Namun dengan kontraksi dalam yang sudah terjadi pada paruh pertama, sepertinya kemungkinan angka yang lebih gloomy lumayan kecil.

"Titik tengah proyeksi kami adalah -1% untuk keseluruhan 2020. Bahkan dengan pemulihan yang tajam pada kuartal III-2020, ada potensi untuk lebih baik dari itu. Performa ekonomi Turki akan melampaui negara-negara berkembang lainnya," tulis riset BBVA.

turkiBBVA

Bagaimana dengan India? Apakah nasibnya juga akan sebagus Turki?

Sayangnya mungkin tidak. PMI manufaktur India pada Juli malah turun ketimbang Juni. Sepertinya dunia usaha masih menahan diri, belum siap melakukan ekspansi.

"Data PMI terbaru menunjukkan bahwa harapan perbaikan ekonomi India sedikit memudar. Survei menunjukkan terjadi penurunan produksi dan pesanan baru. Sepertinya kita sulit melihat adanya perbaikan sampai tingkat infeksi (virus corona) bisa diturunkan," sebut Eliot Kerr, Ekonom IHS Markit, seperti dikutip dari siaran tertulis.

Ya, India memang terbeban gara-gara kasus corona yang membumbung tinggi. Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pasien positif corona di India per 31 Agustus pukul 19:14 WIB (14:14 CEST) adalah 3.621.245 orang. India menjadi negara dengan jumlah kasus corona terbanyak ketiga di dunia.

Pemerintah India awalnya sempat melonggarkan lockdown, tetapi karena kasus corona melonjak maka 'keran' aktivitas masyarakat kembal ditutup. Namun lockdown jilid II ini tidak berlaku di penjuru negeri, hanya di beberapa wilayah saja.

Misalnya di Tamil Nadu, Maharashtra, Nagaland, Jharkhand, Himachal Pradesh, Mizoram, dan Bihar, lockdown diperpanjang sampai 31 Agustus. Bahkan Tamil Nadu sudah memutuskan lockdown diperpanjang lagi sampai 30 September.

Teranyar, Punjab juga mengumumkan perpanjangan lockdown sampai akhir bulan ini. Negara bagian itu melarang segala aktivitas yang berpotensi menciptakan kerumunan. Upacara pernikahan dan pemakaman hanya boleh dihadiri masing-masing 30 dan 20 orang saja.

Punjab juga menerapkan jam malam. Warga tidak boleh keluar rumah mulai pukul 19:00 hingga 05:00 waktu setempat, berlaku setiap hari tidak mengenal libur.

Oleh karena itu, sepertinya laju perekonomian India masih akan seret. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi India pada 2020 akan terkontraksi 4,5% YoY, sementara proyeksi Bank Dunia adalah kontraksi 3,2%.

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Pepatah ini cocok menggambarkan pemulihan ekonomi yang berbeda dari satu negara dengan yang lain. Semoga Indonesia bisa mengikuti jalan Turki, bukan India.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular