
Sepakbola dan Corona: Penyemangat atau Sumber Bencana?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 May 2020 11:00

Tidak hanya Liga Primer, Serie A Italia juga akan dimulai kembali bulan depan. Vincenzo Spadafora, Menteri Olahraga Italia, memberi lampu hijau agar Juventus dan klub-klub lainnya kembali bertanding mulai 20 Juni.
"Italia sudah memulai kembali kehidupannya, akan lengkap jika sepakbola pun dimainkan kembali. Kami bisa bilang bahwa kompetisi bisa dimulai kembali mulai 20 Juni. Serie A harus kembali menjadi kompetisi paling indah di dunia," ungkap Spodafora, seperti dikutip dari Reuters.
La Liga Spanyol akan menjadi yang tercepat menyusul Bundesliga. Mengutip BBC, otoritas La Liga dan Federasi Sepakbola Spanyol (RFEF) sudah mencapai kesepakatan dengan pemerintah untuk kembali menggelar kompetisi pada 11 Juni. Musim 2019/2020 akan berakhir pada 12 September.
"Hal yang terpenting adalah memastikan musim ini selesai dan bersiap menyambut musim depan. Dengan izin Tuhan, itu akan terjadi pada 12 September. Semoga kita bisa melalui periode yang sulit ini dan melakukan persiapan yang lebih baik," kata Javier Tebas, Presiden La Liga.
Di satu sisi, sepakbola mungkin bisa mengangkat moral publik yang jatuh akibat lockdown. Namun di sisi lain, perlu diwaspadai bahwa sepakbola bisa menjadi ajang penularan virus corona. Maklum, sepakbola adalah olahraga dengan intensitas kontak fisik yang tinggi, sesuatu yang disukai virus corona.
Patut dicatat bahwa kasus corona di Inggris, Italia, dan Spanyol termasuk yang tertinggi di Eropa. Per 30 Mei, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di Inggris, Spanyol, dan Italia masing-masing 271.226 orang, 238.936 orang, dan 232.248 orang. Ketiganya hanya kalah dari Rusia.
Boleh saja pertandingan dihelat tanpa penonton. Namun masih ada pemain, ofisial tim, dan perangkat pertandingan. Mereka berisiko menjadi pembawa (carrier) virus corona di komunitasnya.
Akan tetapi kalau berkaca dari pengalaman Jerman yang sudah tiga pekan menggelar Bundesliga, kekhawatiran itu tidak (atau belum) terbukti. Sejak 15 Mei, kala Bundesliga dimulai lagi, persentase kenaikan kasus corona di Negeri Panser rata-rata adalah 0,32% per hari.
Pada 15 Mei, jumlah kasus naik 0,53% dibandingkan hari sebelumnya. Kemudian pada 30 Mei, pertumbuhannya adalah 0,41%. Artinya, Jerman tetap mampu menjaga pertumbuhan kasus dalam tren turun meski sepakbola kembali dimainkan.
Meski demikian, kondisi di negara lain tentu tidak bisa disamakan. Ini kembali ke peran pemerintah dan masing-masing individu sejauh mana menaati protokol kesehatan. Semakin tinggi ketaatan maka semakin efektif penularan virus bisa dicegah.
Namun kalau tidak patuh, maka gelombang penularan kedua (second wave outbreak) bisa terjadi dan sepakbola bakal dituduh menjadi salah satu biang keroknya. Amit-amit...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
"Italia sudah memulai kembali kehidupannya, akan lengkap jika sepakbola pun dimainkan kembali. Kami bisa bilang bahwa kompetisi bisa dimulai kembali mulai 20 Juni. Serie A harus kembali menjadi kompetisi paling indah di dunia," ungkap Spodafora, seperti dikutip dari Reuters.
La Liga Spanyol akan menjadi yang tercepat menyusul Bundesliga. Mengutip BBC, otoritas La Liga dan Federasi Sepakbola Spanyol (RFEF) sudah mencapai kesepakatan dengan pemerintah untuk kembali menggelar kompetisi pada 11 Juni. Musim 2019/2020 akan berakhir pada 12 September.
Di satu sisi, sepakbola mungkin bisa mengangkat moral publik yang jatuh akibat lockdown. Namun di sisi lain, perlu diwaspadai bahwa sepakbola bisa menjadi ajang penularan virus corona. Maklum, sepakbola adalah olahraga dengan intensitas kontak fisik yang tinggi, sesuatu yang disukai virus corona.
Patut dicatat bahwa kasus corona di Inggris, Italia, dan Spanyol termasuk yang tertinggi di Eropa. Per 30 Mei, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di Inggris, Spanyol, dan Italia masing-masing 271.226 orang, 238.936 orang, dan 232.248 orang. Ketiganya hanya kalah dari Rusia.
Boleh saja pertandingan dihelat tanpa penonton. Namun masih ada pemain, ofisial tim, dan perangkat pertandingan. Mereka berisiko menjadi pembawa (carrier) virus corona di komunitasnya.
Akan tetapi kalau berkaca dari pengalaman Jerman yang sudah tiga pekan menggelar Bundesliga, kekhawatiran itu tidak (atau belum) terbukti. Sejak 15 Mei, kala Bundesliga dimulai lagi, persentase kenaikan kasus corona di Negeri Panser rata-rata adalah 0,32% per hari.
Pada 15 Mei, jumlah kasus naik 0,53% dibandingkan hari sebelumnya. Kemudian pada 30 Mei, pertumbuhannya adalah 0,41%. Artinya, Jerman tetap mampu menjaga pertumbuhan kasus dalam tren turun meski sepakbola kembali dimainkan.
Meski demikian, kondisi di negara lain tentu tidak bisa disamakan. Ini kembali ke peran pemerintah dan masing-masing individu sejauh mana menaati protokol kesehatan. Semakin tinggi ketaatan maka semakin efektif penularan virus bisa dicegah.
Namun kalau tidak patuh, maka gelombang penularan kedua (second wave outbreak) bisa terjadi dan sepakbola bakal dituduh menjadi salah satu biang keroknya. Amit-amit...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular