Bukan Bermaafan Saat Lebaran, AS-China Justru Making Tegang!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 May 2020 09:55
Pertemuan G-20 Trump-Xi (REUTERS/Kevin Lamarque)
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping (REUTERS/Kevin Lamarque)
Jakarta, CNBC Indonesia - Idul Fitri biasanya adalah momen saling bermaafan atas segala khilaf. Namun buat Amerika Serikat (AS) dan China, yang ada malah tensi ketegangan yang semakin meninggi.

Sejak Donald Trump terpilih sebagai presiden AS pada 2016, hubungan Washington-Beijing penuh dinamika. Ini tidak lepas dari kebijakan Trump yang mengutamakan kepentingan dalam negeri, America First.

Trump menilai China telah berlaku tidak adil sehingga AS selalu tekor saat berdagang dengan mereka. Mencoba menyeimbangkan kedudukan, Trump menempuh kebijakan ekstrem yaitu memberlakukan bea masuk terhadap ribuan barang impor asal China.

Diperlakukan seperti itu, China pasti tidak diterima. China balas membebankan bea masuk kepada produk asal AS. Saling balas bea masuk itu yang disebut dengan perang dagang.

Seiring waktu, dinginnya hubungan AS-China berhasil dicairkan. Akhirnya pada pertengahan Januari 2020, kedua negara menandatangani perjanjian damai dagang fase pertama.

Namun tidak lama kemudian, muncul sebuah hal besar yang kembali memanaskan hubungan AS-China yaitu pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Bermula dari Kota Wuhan di Provinsi Hubei (China), virus tersebut hanya butuh waktu kurang dari lima bulan untuk menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori.


Kini bahkan AS menjadi 'korban' terparah dari virus corona. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien virus corona di AS per 23 Mei adalah 1.547.973 orang. Jumlah ini setara dengan 30,33% dari total pasien di seluruh dunia. Hampir satu dari tiga pasien corona adalah warga negara AS.

AS, seperti juga negara-negara lain, terpaksa harus membatasi kegiatan masyarakat demi mencegah penularan virus lebih lanjut. Pembatasan sosial (social distancing) bahkan karantina wilayah (lockdown) diberlakukan di berbagai negara bagian.

Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan jutaan warga dari terjangan virus corona. Namun tagihan yang harus dibayar ternyata sangat mahal. Aktivitas publik yang sangat terbatas membuat ekonomi AS jalan di tempat, bahkan mundur.



Pada kuartal I-2020, pembacaan awal angka pertumbuhan ekonomi AS menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) -4,8%. Ini adalah yang terendah sejak Depresi Besar pada 1930-an.

Situasi pada kuartal II-2020 sepertinya bakal jauh lebih parah. Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Atlanta memperkirakan ekonomi Negeri Adidaya bakal terkontraksi 41,9%. Kalau sampai terjadi, maka akan menjadi catatan terburuk sepanjang sejarah modern AS.


Dihadapkan kepada krisis kesehatan, kemanusiaan, dan ekonomi yang begitu dalam, Trump tidak terima. Sang presiden ke-45 mendesak agar China bertanggung jawab atas nestapa yang dialami AS dan hampir seluruh negara di dunia.

"Kami punya banyak informasi, dan itu tidak bagus. Apakah (virus corona) datang dari laboratorium atau dari kelelawar, pokoknya berasal dari China. Mereka semestinya bisa menghentikan itu dari sumbernya," kata Trump dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.

Beredar kabar pemerintahan Trump akan membuat Undang-undang (UU) yang mengharuskan China bertanggung jawab atas penyebaran virus corona. Seorang anggota Senat AS mengungkapkan, pemerintah sedang mematangkan Rancangan Undang-undang Pertanggungjawaban Covid-19 (Covid-19 Accountability Act).

Dalam UU tersebut, China disebut harus bertanggung jawab penuh dan siap menjalani penyelidikan yang dipimpin oleh AS, sekutunya, dan WHO. China juga bisa didesak untuk menutup pasar tradisional yang menyebabkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia menjadi sangat tinggi.

RUU itu juga mengatur sanksi bagi China. Misalnya pembekuan aset warga negara dan perusahaan China di AS, larangan masuk dan pencabutan visa, larangan individu dan perusahaan China untuk mendapatkan kredit, sampai melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS.


"Saya sangat kecewa terhadap China, mereka seharusnya tidak pernah membiarkan ini terjadi. Kami sudah membuat kesepakatan (dagang) yang luar biasa, tetapi sekarang rasanya sudah berbeda. Tinta belum kering, dan wabah ini datang. Rasanya tidak lagi sama," keluh Trump.


Keadaan bertambah keruh dengan upaya Beijing untuk semakin mengintervensi Hong Kong. Pemerintahan Presiden Xi Jinping berencana memberlakukan UU keamanan baru di eks koloni Inggris tersebut karena tahun lalu terjadi instabilitas akibat aksi demonstrasi selama berbulan-bulan.

AS yang masih merasa sebagai polisi dunia tentu tidak tinggal diam. Trump menegaskan AS akan beraksi keras jika Beijing meloloskan UU tersebut.

"Belum ada yang tahu (detil rencana China). Namun jika itu terjadi, kami akan merespons dengan sangat keras," tegas Trump di sela-sela kunjungan pabrik di Detroit, seperti diwartakan Reuters.


Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, menyebutkan bahwa UU tersebut adalah kematian bagi demokrasi di Hong Kong. Dia menegaskan bahwa AS akan tetap berdiri di belakang Hongkongers.

"AS mengutuk rencana sepihak UU keamanan nasional di Hong Kong. AS mendesak Beijing agar mengkaji ulang proposal yang mengerikan ini dengan memperhatikan tanggung jawab dan menghormati otonomi serta institusi demokrasi Hong Kong," tegas Pompeo, seperti diberitakan Reuters.

Dunia sedang dipusingkan oleh wabah virus corona. Sangat baik apabila AS-China tidak menambah beban dengan konflik di antara keduanya. Apalagi kalau friksi ini sampai berujung pada Perang Dunia III.

Amit-amit jabang bayi...



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular