
Round Up
Trump Pamer Bomber di Laut China Selatan, Serius Perang?
Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
24 May 2020 06:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan di Laut China Selatan meningkat setelah pesawat angkatan udara Amerika Serikat dikabarkan terbang di atas perairan dekat China.
South China Morning Post melaporkan bahwa pesawat tersebut adalah bomber B-1B Lancer. Media tersebut menyatakan pembom B-1 melakukan misi di Laut China Selatan, setelah pelatihan dilakukan di pangkalan Angkatan Laut di dekat Hawai.
"Misinya adalah untuk mendukung Pasific Air Forces dan melakukan latihan serta operasi dengan sekutu dan mitra," tulis media tersebut Rabu (20/5/2020).
Seorang pengamat militer Beijing mengatakan sebelum ini, angkatan udara AS sudah beberapa kali terbang di atas Selat Taiwan dan Laut China Selatan. Di antaranya pada 11 kali penerbangan di Maret dan 13 kali penerbangan di April.
Bomber juga terbang di atas pantai Taiwan timur laut pada 6 Mei. AS disebut mencoba menanamkan pengaruhnya ke Taiwan.
Pada 14 Mei, China juga telah memulai latihan militer di pelabuhan lepas kota Tangshan di Laut Kuning. Setidaknya Laut China Selatan sudah "panas" sejak tiga bulan terakhir karena kedua negara.
Seorang Direktur Studi Internasional di Universitas Nanjing mengatakan AS sepertinya khawatir pandemi corona (COVID-19) yang menyebar membuat China makin berpengaruh di kawasan itu. "Atau mungkin meningkatkan operasi militer ke Taiwan," katanya.
Respons AS, ia sebut, mungkin sebagai upaya menahan China. Ini juga taktik AS untuk membuat sekutunya semakin dekat dan mengasingkan China.
Sementara itu seorang pengamat militer di Hong Kong bernama Song Zhongping menilai seringnya bomber AS terbang memberi signal tertentu. "Ada potensi pertempuran di masa depan," ujarnya.
Menurutnya bomber B-1B Lancer perlu terbang untuk mengetahui kondisi medan perang. China dan AS, ujarnya, memasuki situasi kompetisi yang kompleks dan lebih suram dari perang dingin AS-Uni Soviet dulu.
"Risiko konflik militer tidak dapat dikesampingkan di Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan. Dan mereka meningkat," tegasnya.
AS dan China sudah terjebak perang dagang sejak 2018 yang menekan perekonomian global. Meski sudah menandatangani fase I perdamaian, tensi keduanya naik setelah AS menyalahkan China karena penyebaran corona.
Corona jenis baru yang penyakitnya kemudian diberi nama COVID-19 ini menyebar di Wuhan, China, Desember 2019. Kini AS menjadi negara dengan kasus terbanyak di dunia.
Sementara itu China bakal menaikkan anggaran militernya hingga 6,6% di 2020. Hal ini terungkap dari laporan yang dikeluarkan Kongres Rakyat Nasional (NPC), Jumat (22/5/2020).
Anggaran akan ditetapkan sebesar 1.268 triliun (US$ 178 miliar atau sekitar Rp 2632 triliun). Ini merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS), yakni US$ 738 miliar.
Pengumuman ini muncul ketika hubungan China dan AS tegang. Keduanya berseteru soal pandemi corona dan juga perselisihan teritorial dengan India, Jepang dan Vietnam di Laut China Selatan.
(dob/dob) Next Article Perang Dingin Jilid II di Depan Mata, AS-China Makin Tegang
South China Morning Post melaporkan bahwa pesawat tersebut adalah bomber B-1B Lancer. Media tersebut menyatakan pembom B-1 melakukan misi di Laut China Selatan, setelah pelatihan dilakukan di pangkalan Angkatan Laut di dekat Hawai.
"Misinya adalah untuk mendukung Pasific Air Forces dan melakukan latihan serta operasi dengan sekutu dan mitra," tulis media tersebut Rabu (20/5/2020).
Bomber juga terbang di atas pantai Taiwan timur laut pada 6 Mei. AS disebut mencoba menanamkan pengaruhnya ke Taiwan.
Pada 14 Mei, China juga telah memulai latihan militer di pelabuhan lepas kota Tangshan di Laut Kuning. Setidaknya Laut China Selatan sudah "panas" sejak tiga bulan terakhir karena kedua negara.
Seorang Direktur Studi Internasional di Universitas Nanjing mengatakan AS sepertinya khawatir pandemi corona (COVID-19) yang menyebar membuat China makin berpengaruh di kawasan itu. "Atau mungkin meningkatkan operasi militer ke Taiwan," katanya.
Respons AS, ia sebut, mungkin sebagai upaya menahan China. Ini juga taktik AS untuk membuat sekutunya semakin dekat dan mengasingkan China.
Sementara itu seorang pengamat militer di Hong Kong bernama Song Zhongping menilai seringnya bomber AS terbang memberi signal tertentu. "Ada potensi pertempuran di masa depan," ujarnya.
Menurutnya bomber B-1B Lancer perlu terbang untuk mengetahui kondisi medan perang. China dan AS, ujarnya, memasuki situasi kompetisi yang kompleks dan lebih suram dari perang dingin AS-Uni Soviet dulu.
"Risiko konflik militer tidak dapat dikesampingkan di Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan. Dan mereka meningkat," tegasnya.
AS dan China sudah terjebak perang dagang sejak 2018 yang menekan perekonomian global. Meski sudah menandatangani fase I perdamaian, tensi keduanya naik setelah AS menyalahkan China karena penyebaran corona.
Corona jenis baru yang penyakitnya kemudian diberi nama COVID-19 ini menyebar di Wuhan, China, Desember 2019. Kini AS menjadi negara dengan kasus terbanyak di dunia.
Sementara itu China bakal menaikkan anggaran militernya hingga 6,6% di 2020. Hal ini terungkap dari laporan yang dikeluarkan Kongres Rakyat Nasional (NPC), Jumat (22/5/2020).
Anggaran akan ditetapkan sebesar 1.268 triliun (US$ 178 miliar atau sekitar Rp 2632 triliun). Ini merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS), yakni US$ 738 miliar.
Pengumuman ini muncul ketika hubungan China dan AS tegang. Keduanya berseteru soal pandemi corona dan juga perselisihan teritorial dengan India, Jepang dan Vietnam di Laut China Selatan.
(dob/dob) Next Article Perang Dingin Jilid II di Depan Mata, AS-China Makin Tegang
Most Popular