Jakarta, CNBC Indonesia - Usai perang Dunia II, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet menjelma menjadi kekuatan besar. Keduanya berebut pengaruh dan saling bersaing untuk menjadi yang terbaik di Planet Bumi dalam segala hal.
Persaingan AS-Soviet ini diberi nama Perang Dingin. Tidak ada perang terbuka, tetapi friksi antar kedua negara sangat terasa. Kapitalisme versus komunisme, saling jegal, saling tikam, saling tak mau kalah.
Adu kuat selama puluhan tahun itu selesai kala Soviet bubar pada 1991. AS secara de facto menjadi Negeri Adidaya, paling berkuasa di dunia, seng ada lawan.
Soviet memang sudah masuk liang kubur, tetapi tidak ada yang bisa mematikan ideologi. Komunisme belum mati. Selama ketidakadilan dan ketidaksetaraan masih bercokol di dunia, maka kaum pekerja hanya punya satu kata. Lawan.
'Pewaris tahta' komunisme adalah China. Dibangun oleh Mao Zedong, komunisme masih menjadi ideologi dan jalan hidup di Negeri Tirai Bambu. Dan Internasionale pasti di dunia...
Selepas Soviet bubar, perlahan tetapi pasti China mulai unjuk gigi. Satu hal yang mencuri perhatian dunia adalah pesatnya pertumbuhan ekonomi.
Pada dekade 1990-an, China membukukan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata 10,45% per tahun. Dekade berikutnya lebih tinggi lagi yakni 10,57% saban tahunnya.
Pada 2010, China resmi menyalip Jepang menjadi perekonomian terbesar kedua di dunia, hanya kalah dari AS. Setahun sebelumnya, China juga 'mengkudeta' Jerman untuk menjadi negara eksportir terbesar di dunia.
Produk China pun merajalela, mulai dari peniti hingga onderdil pesawat luar angkasa. Sampai-sampai ada 'pepatah' bumi dan makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan, sisanya made in China...
Halaman Selanjutnya --> Aura Perang Dingin AS-China Sangat Kentara
AS kini punya rival yang setara setelah Soviet tutup usia. AS dan China menjadi aktor utama dalam Perang Dingin Jilid II.
Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, AS jelas-jelas sangat galak kepada China. Trump tidak segan-segan membebankan bea masuk kepada ribuan produk China, yang oleh Beijing dibalas dengan perlakuan serupa. Terciptalah perang dagang AS vs China yang berlangsung sekitar tiga tahun.
Tahun lalu, dunia memasuki masa kegelapan baru gara-gara pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Berawal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China, virus corona menebar teror di hampir seluruh negara. Ratusan juta penduduk dunia jatuh sakit, dan lebih dari 4 juta jiwa melayang gara-gara virus ini.
Trump pun geram, karena AS menjadi negara dengan pasien positif terbanyak di dunia. Saking marahnya, Trump menyebut Covid-19 sebagai virus China.
"Sejak awal, saya selalu memperlakukan virus China ini dengan serius. Kita telah melakukan kerja yang baik sedari awal, termasuk keputusan saya untuk menutup pintu perbatasan untuk warga China," cuit Trump di Twittwe pada 18 Maret tahun lalu.
Gesekan AS-China pun terjadi di Laut China Selatan. China dengan klaim Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line) menilai bahwa sebagian besar wilayah Laut China Selatan adalah milik mereka. Ini berdasar dari peta kuno yang menunjukkan jalur nelayan pada masa lalu.
Padahal klaim China itu menyinggung teritori banyak negara. Wilayah Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, hingga Indonesia tersenggol oleh klaim China.
Sebagi polisi dunia, AS tidak diam. Negeri Paman Sam ikut menerjunkan pasukan di Laut China Selatan.
"Kami akan melawan, jika dibutuhkan, kala China menggunakan koersi dan agresi," tegas Anthony Blinken, Menteri Luar Negeri AS, pada sebuah kesempatan Maret lalu, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Siapa Menang Perang Dingin Jilid II?
Perang Dingin melahirkan dua blok besar, Barat dan Timur. Blok Barat dengan AS sebagai jagoan dan Blok Timur punya Soviet sebagai jawara. Masing-masing kemudian membentuk pakta pertahanan sendiri yaitu NATO di Barat dan Pakta Warsawa di Timur.
Kini, di Perang Dingin Jilid II, AS dan China pun mencoba menggalang kekuatan. AS membentuk pakta pertahanan informal dengan India, Jepang, dan Australia. Gerombolan ini dinamai Quad. Kemudian AS juga merangkul Inggris dan Australia untuk membentuk AUKUS.
China memang belum membentuk koalisi seperti AS. Namun China rajin merangkul Rusia dan sepertinya mereka berdua cocok. Rusia yang sekarang adalah titisan Soviet, jadi keduanya masih punya 'ikatan batin'.
Perang Dingin Jilid II sepertinya bakal berlangsung lama. AS bakal mati-matian mempertahankan tahkta sementara China akan menggunakan berbagai cara untuk kudeta.
Namun Presiden AS Joseph 'Joe' Biden punya pandangan bahwa negaranya akan berjaya. Menurut penerus Trump ini, China tidak akan punya kesempatan menjadi negara adikuasa baru.
"China punya tujuan untuk menjadi pemimpin dunia, terkaya di dunia, terkuat di dunia. Itu tidak akan terjadi selama pengawasan saya.
"AS akan terus tumbuh. Selama Anda (Presiden China Xi Jinping) dan negara Anda terus melanggar hak asasi manusia, kami akan terus bekerja agar itu tidak terjadi lagi," tegas Biden dalam sebuah wawancara dengan ABC pada Maret lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA