Krisis 2008-2009 Memang Seram, Tapi Kalah Ngeri dari Corona

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 April 2020 06:05
Krisis 2008-2009 Memang Seram, Tapi Kalah Ngeri dari Corona
Foto: Calon penumpang mengantre di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT), Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (16/3/2020). Pagi ini banyak penumpang MRT yang terpaksa mengantre panjang imbas dari kebijakan pembatasan gerbong dan jam operasional dalam mencegah penyabaran virus Corona. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Virus corona benar-benar membuat perekonomian dunia porak-poranda. Kontraksi alias pertumbuhan negatif sepertinya akan menjadi sesuatu yang normal.

Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Kamis (2/4/2020) pukul 00:11 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 905.279. Dari jumlah tersebut, 45.371 orang meninggal dunia (tingkat kematian/mortality rate 5,01%).

Virus corona sudah menjangkiti lebih dari 200 negara di dunia, Indonesia tidak terkecuali. Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 per 31 Maret menyebutkan jumlah pasien corona di Tanah Air adalah 1.528, 136 orang tutup usia.



Dengan begitu, tingkat kematian akibat virus corona di Indonesia adalah 8,9%. Lebih tinggi dibandingkan level global.

Virus corona telah menghantam berbagai sendi perekonomian nasional, dari manufaktur sampai jasa. Di sisi manufaktur, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Maret berada di 45,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI.



"Perusahaan manufaktur Indonesia melaporkan penurunan paling tajam dalam periode sembilan tahun survei pada Maret disebabkan upaya untuk mencegah penyebaran virus corona menghantam sektor ini dan menyebabkan penurunan tajam pada permintaan. Kondisi permintaan melemah tajam, dengan total permintaan baru turun pada catatan terendah selama survei, yang disebabkan oleh kondisi penjualan ekspor yang hampir runtuh. Lapangan kerja berkurang pada kisaran yang belum terjadi selama empat setengah tahun karena pabrik ditutup sementara atau mengurangi kapasitas produksi di tengah-tengah melemahnya penjualan," papar Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.



Sementara di sisi jasa, salah satu yang sudah tampak terluka dalam adalah sektor pariwisata. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tercatat 885.067. Anjlok 30,42% dibandingkan bulan sebelumnya dan 28,85% dibandingkan periode yang sama pada 2019.



"Biasanya Februari terjadi kenaikan dibandingkan Januari, tetapi Februari ini turun. Pada Maret, penurunan mungkin akan jauh lebih dalam," kata Suhariyanto, Kepala BPS.


Mengapa virus corona bisa menimbulkan dampak sedahsyat itu? Mudah saja, saat ada virus mematikan sedang bergentayangan, siapa yang berani keluar rumah kecuali untuk urusan yang sangat mendesak?

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan berbagai kalangan menyerukan masyarakat untuk bekerja, beribadah, dan belajar di rumah. Bahkan kini seruan itu sudah 'naik kelas' dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No 2/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Deseae 2019 (Covid-19). Aktivtas masyarakat menjadi semakin terbatas atas nama mempersempit ruang gerak penyebaran virus corona.




Bagi pekerja di sektor manufaktur, agak sulit (bahkan mungkin hampir mustahil) melakukan work from home. Mesin-mesin produksi ada di pabrik, tidak tersedia di rumah. Ketika karyawan tidak bekerja (baik itu karena dirumahkan atau takut tertular virus), maka produktivitas sudah pasti turun.

Kala industri lesu, maka ekonomi secara keseluruhan juga akan lemas. Sebab, industri memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) secara sektoral.



Belum lagi pemerintah juga sudah menutup pintu bagi Warga Negara Asing (WNA) untuk menangkal penularan yang berasal dari luar negeri atau imported case. Ini tentu memukul sektor pariwisata.

Kelesuan sektor pariwisata juga terlihat dari penurunan jumlah penumpang penerbangan internasional. Pada Februari, sebanyak 1,13 orang diangkut dengan penerbangan internasional, turun 33,04% dibandingkan Januari dan 19,24% dari Februari 2019.




Penurunan kinerja industri manufaktur dan jasa membuat dunia usaha harus memutar otak untuk bisa bertahan. Di satu sisi pendapatan turun seiring penurunan produktivitas dan permintaan, tetapi di sisi lain argometer biaya tetap berjalan seperti pembayaran tagihan listrik atau pembayaran utang. Situasi ini membuat 'tsunami' Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi sulit terhindarkan.

Apabila terjadi gelombang PHK, maka pendapatan dan daya beli rumah tangga akan merosot. Sementara konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam pembentukan PDB dari sisi pengeluaran.




Intinya, laju perekonomian nasional bakal berjalan sangat lambat karena dua mesin utamanya (industri manufaktur dan konsumsi rumah tangga) bermasalah. Oleh karena itu, perlambatan ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Bahkan bukan tidak mungkin Indonesia mengalami kontraksi ekonomi (amit-amit).

"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2020 akan turun ke 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tisak bisa dibayarkan dan perusahaan mengalami kesulitan dari revenue dan kemampuan mereka membayar utangnya. Ancaman stabilitas keuangan menjadi sangat nyata," papar Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan.

Jangan sampai ekonomi Indonesia tahun ini terkontraksi, amit-amit jabang bayi. Namun kalau itu sampai kejadian, maka akan menjadi catatan terburuk sejak 1998 kala Indonesia bergulat dengan krisis multi-dimensi.



Baca: Sri Mulyani: Sangat Berat, Ekonomi RI Bisa Minus 0,4% di 2020


Kali terakhir perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat adalah pada saat krisis keuangan global (Global Financial Crisis/GFC) 2008-2009. Pada 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 4,63%, terendah sejak 2002.

Episentrum GFC ada di Amerika Serikat. Biang keladinya adalah kejatuhan sebuah instrumen investasi bernama sub-prime mortgage, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dibungkus sedemikian rupa sampai tidak tahu di mana ujung dan di mana pangkalnya.

Apesnya, ternyata sub-prime mortgage begitu menggurita. Banyak institusi keuangan besar di Negeri Paman Sam yang duitnya nyangkut di instrumen ini. Lehman Brothers, bank investasi yang berusia lebih dari 100 tahun, sampai harus bangkrut. Sistem keuangan AS pun kolaps karena sub-prime mortgage berdampak sangat sistemik.

AS adalah pusat keuangan dunia, sehingga kejatuhan sistem keuangan AS membuat efek domino di seluruh negara. Pasar keuangan global dilanda kepanikan.

Krisis di sektor keuangan kemudian menjalar ke sektor riil. Kondisi perbankan yang sulit menyalurkan kredit karena ambruknya pasar keuangan membuat sektor riil kekurangan 'darah'.

Indonesia juga merasakan dampaknya. Ekspor dan investasi melemah, sehingga pertumbuhan ekonomi praktis hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga.

So, kondisi saat GFC ternyata cukup parah dan pelik juga ya. Namun separah-parahnya GFC, dampak ke Indonesia relatif terjaga. Ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh, bahkan menjadi salah satu yang terbaik di antara negara-negara G20.




GFC adalah krisis global, pandemi virus corona juga krisis global. Namun mengapa corona begitu parah sampai-sampai berisiko membuat ekonomi Indonesia tumbuh negatif?

Saat GFC, konsumsi rumah tangga masih bisa tumbuh 4,9%. Konsumen masih bisa berbelanja, apalagi pemerintah kala itu memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT).


Sekarang, konsumen mau belanja serba susah. Pemerintah menganjurkan masyarakat untuk tetap di rumah, jangan keluar kecuali untuk kepentingan yang sangat darurat. Kalau pun ada yang keluar rumah, tentu ada rasa khawatir tertular virus corona.

Apalagi daya beli rumah tangga juga terancam turun karena risiko gelombang PHK akibat kelesuan industri manufaktur dan jasa. Bagaimana konsumsi bisa tumbuh kencang?

Oleh karena itu, pemerintah memperkirakan konsumsi rumah tangga tahun ini kemungkinan hanya tumbuh 3,22%. Itu kalau skenario berat, di skenario sangat berat konsumsi diperkirakan tumbuh 1,6%.

UMKM, sektor yang paling tahan banting, juga bakal terpukul akibat pandemi virus corona. Penjualan pasti drop karena itu tadi, orang-orang tidak berani keluar rumah. Ini tidak terjadi kala GFC, bahkan saat krisis 1997-1998 yang begitu parah.

"Bahkan pada 1997-1998 UMKM masih resilient. Sekarang UMKM terpukul paling depan karena tidak ada kegiatan di luar rumah oleh masyarakat," kata Sri Mulyani.


Saat GFC, ekspor juga masih bisa tumbuh kencang 24,1%. Sebab negara tujuan ekspor utama Indonesia yaitu China masih tumbuh di kisaran 9%.

Sekarang jangan harap ekonomi China bisa tumbuh 9%. Dalam proyeksi terbarunya, Economist Intelligence Unit memperkirakan pertumbuhan ekonomi China hanya 1%!



Oleh karena itu, pandemi virus corona tidak boleh dianggap enteng. Virus corona mempengaruhi cara hidup sehari-hari umat manusia, di mana kedekatan menjadi hal yang tabu dan mengurung diri adalah norma baru.

Saat pola hidup manusia berubah total, begitu juga perekonomian. Butuh adaptasi menghadapi pola baru ini, karena virus corona adalah sebuah krisis baru yang berbeda dengan krisis sebelumnya. Sayang, adaptasi itu tidak bisa sebentar sehingga akan ada shock yang begitu dalam.

"Covid-19 adalah ujian terbesar bagi kita sejak pembentukan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ini adalah kombinasi antara penyakit yang menebar ancaman dan dampak ekonomi yang menyebabkan resesi dalam skala yang tidak bisa dibandingkan dengan sebelumnya," tegas Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, sebagaimana diwartakan Reuters.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular