Krisis 2008-2009 Memang Seram, Tapi Kalah Ngeri dari Corona

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 April 2020 06:05
Manufaktur dan Jasa Nelangsa
Foto: Calon penumpang mengantre di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT), Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (16/3/2020). Pagi ini banyak penumpang MRT yang terpaksa mengantre panjang imbas dari kebijakan pembatasan gerbong dan jam operasional dalam mencegah penyabaran virus Corona. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Mengapa virus corona bisa menimbulkan dampak sedahsyat itu? Mudah saja, saat ada virus mematikan sedang bergentayangan, siapa yang berani keluar rumah kecuali untuk urusan yang sangat mendesak?

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan berbagai kalangan menyerukan masyarakat untuk bekerja, beribadah, dan belajar di rumah. Bahkan kini seruan itu sudah 'naik kelas' dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No 2/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Deseae 2019 (Covid-19). Aktivtas masyarakat menjadi semakin terbatas atas nama mempersempit ruang gerak penyebaran virus corona.



Bagi pekerja di sektor manufaktur, agak sulit (bahkan mungkin hampir mustahil) melakukan work from home. Mesin-mesin produksi ada di pabrik, tidak tersedia di rumah. Ketika karyawan tidak bekerja (baik itu karena dirumahkan atau takut tertular virus), maka produktivitas sudah pasti turun.

Kala industri lesu, maka ekonomi secara keseluruhan juga akan lemas. Sebab, industri memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) secara sektoral.



Belum lagi pemerintah juga sudah menutup pintu bagi Warga Negara Asing (WNA) untuk menangkal penularan yang berasal dari luar negeri atau imported case. Ini tentu memukul sektor pariwisata.

Kelesuan sektor pariwisata juga terlihat dari penurunan jumlah penumpang penerbangan internasional. Pada Februari, sebanyak 1,13 orang diangkut dengan penerbangan internasional, turun 33,04% dibandingkan Januari dan 19,24% dari Februari 2019.




Penurunan kinerja industri manufaktur dan jasa membuat dunia usaha harus memutar otak untuk bisa bertahan. Di satu sisi pendapatan turun seiring penurunan produktivitas dan permintaan, tetapi di sisi lain argometer biaya tetap berjalan seperti pembayaran tagihan listrik atau pembayaran utang. Situasi ini membuat 'tsunami' Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi sulit terhindarkan.

Apabila terjadi gelombang PHK, maka pendapatan dan daya beli rumah tangga akan merosot. Sementara konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam pembentukan PDB dari sisi pengeluaran.




Intinya, laju perekonomian nasional bakal berjalan sangat lambat karena dua mesin utamanya (industri manufaktur dan konsumsi rumah tangga) bermasalah. Oleh karena itu, perlambatan ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Bahkan bukan tidak mungkin Indonesia mengalami kontraksi ekonomi (amit-amit).

"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2020 akan turun ke 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tisak bisa dibayarkan dan perusahaan mengalami kesulitan dari revenue dan kemampuan mereka membayar utangnya. Ancaman stabilitas keuangan menjadi sangat nyata," papar Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan.

Jangan sampai ekonomi Indonesia tahun ini terkontraksi, amit-amit jabang bayi. Namun kalau itu sampai kejadian, maka akan menjadi catatan terburuk sejak 1998 kala Indonesia bergulat dengan krisis multi-dimensi.



Baca: Sri Mulyani: Sangat Berat, Ekonomi RI Bisa Minus 0,4% di 2020


(aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular