Virus Corona, Pengangguran, dan Resesi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 March 2020 06:27
Virus Corona, Pengangguran, dan Resesi
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Rekor baru tercipta di Amerika Serikat (AS), meski bukan sesuatu yang patut disyukuri. Gara-gara wabah virus corona, semakin banyak jumlah pengangguran di Negeri Paman Sam.

Pada pekan yang berakhir 21 Maret, jumlah klaim tunjangan pengangguran (unemployment benefits) mencapai 3,28 juta. Ini jauh melebihi konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 1 juta. Plus menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah.




"Kenaikan klaim tunjangan pengangguran yang begitu tinggi bukannya tidak terduga, karena merupakan dampak dari penghentian aktivitas di sebagian wilayah AS untuk menanggulangi virus corona. Hal ini sudah diantisipasi dalam paket stimulus yang disetujui Senat, di mana salah satu program yang akan diberikan adalah perluasan perlindungan, bantuan tunai US% 1.200 untuk warga dengan penghasilan maksimal US$ 75.000/tahun. Lebih penting lagi, paket stimulus tersebut akan menyediakan bantuan bagi dunia usaha untuk mempertahankan karyawannya. Jadi secepat mungkin kita akan dapat kembali ke kondisi ekonomi yang kuat seperti beberapa pekan lalu," papar Eugene Scalia, Menteri Ketenagakerjaan AS, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Ya, virus corona memang membuat AS kacau-balau. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Jumat (27/3/2020) pukul 00:26 WIB, jumlah pasien corona di AS mencapai 75.233 orang, tertinggi ketiga di dunia setelah China dan Italia. Sementara korban meninggal akibat virus corona di AS adalah 1.070 orang.

Untuk mengurangi ruang gerak penyebaran virus corona, berbagai negara bagian menerapkan karantina wilayah (lockdown). Warga tidak boleh keluar rumah kecuali untuk urusan mendesak. Restoran tidak boleh melayani makan/minum di tempat, kantor dan pabrik ditutup sementara, warga dilarang berkumpul, pokoknya sudah seperti suasana perang di mana darurat militer (martial law) berlaku.


Tujuan dari kebijakan seperti ini adalah menekan risiko penularan virus dan menyelamatkan nyawa. Namun harga yang harus dibayar adalah perlambatan aktivitas ekonomi secara signifikan.

Pembatasan aktivitas masyarakat membuat penjualan mobil di AS anjlok. Data JD Power menyebutkan, penjualan mobil pada pekan yang berakhir 22 Maret turun 22% secara nasional.

Akibatnya, berbagai dealer mobil terpaksa merumahkan (furlough) sebagian karyawan. Misalnya Group 1 Automotive Inc yang merumahkan 3.000 karyawan selama 30 hari, yang bisa diperpanjang selama 30 hari lagi. Ini sebagai dampak penjualan yang diperkirakan turun 50-75% pada Maret.

So, tidak heran semakin banyak warga AS yang mengambil tunjangan pengangguran. Virus corona telah merenggut mata pencarian mereka. Coronavirus took their jobs...

[Gambas:Video CNBC]






Oleh karena itu, omongan soal risiko resesi di AS semakin kentara. Teranyar, yang mengatakan hal itu bukan orang sembarangan yaitu Jerome 'Jay' Powell, Ketua Bank Sentral AS alias The Federal Reserve/The Fed.

"AS mungkin akan mengalami resesi. Ini bukan perlambatan ekonomi biasa, tidak ada yang salah dengan fundamental ekonomi kita. Aktivitas ekonomi akan menurun signifikan sampai kuartal II, tetapi saya rasa banyak yang memperkirakan akan kembali pulih pada semester II.

"Apabila kita bisa melalui periode ini dan membuat penyebaran virus lebih terkendali, maka kita akan pulih lebih cepat. Jadi prioritas utama adalah mengendalikan penyebaran virus, dan kemudian baru melanjutkan aktivitas ekonomi," jelas Powell dalam wawancara di Today Show yang ditayangkan NBC, sebagaimana dikutip dari Reuters.


The Fed cabang New York dan Cleveland secara berkala memproyeksi probabilitas resesi di Negeri Paman Sam. Pembacaan terbaru layak dikhawatirkan.

The Fed Cleveland memperkirakan kemungkinan resesi di AS pada Februari 2021 adalah 32,89%, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 27,36%. Sementara The Fed New York meramal kans resesi pada Februari 2021 adalah 30,73%, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 25,2%.

 

Probabilitas resesi memang semakin tinggi. Survei Reuters yang melibatkan 40 ekonom pada 19 Maret menunjukkan peluang resesi di AS dalam 12 bulan ke depan mencapai 80%. Padahal survei serupa dua minggu sebelumnya hanya menghasilkan median 30%.

Reuters
 
"Kami malah meyakini AS saat ini sudah resesi. Meski kontraksi ekonomi sepertinya akan signifikan, tetapi sifatnya temporer. Kami memperkirakan ekonomi akan kembali tumbuh pada kuartal III-2020," kata Michelle Meyer, Ekonom Bank of America Merrill Lynch, seperti dikutip dari Reuters.



Masalahnya, AS adalah perekonomian terbesar di dunia. AS adalah sang kepala naga. Kala kepala naga masuk ke air, lambat laun seluruh badannya akan mengikuti. Saat AS resesi, dunia akan merasakan dampaknya.

Ini terjadi pada saat krisis keuangan global 2008-2009, yang memang berpusat di Negeri Adidaya. Krisis yang disebabkan meletusnya gelembung investasi properti (sub-prime mortgage) itu membuat perekonomian AS terkontraksi atau tumbuh negatif selama dua tahun beruntun.

Resesi AS kemudian menyeret perekonomian dunia ke zona merah. Pada 2009, ekonomi global mengalami kontraksi -1,68%.

Indonesia juga ikut merasakannya. Pada 2009, Indonesia membukukan pertumbuhan ekonomi 4,63% yang merupakan laju terlemah sejak 2002.




Bagi Indonesia, AS adalah negara yang teramat penting. Dari sisi ekspor, AS adalah salah satu negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Pada 2019, nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai US$ 17,72 miliar. AS menempati urutan kedua, hanya kalah dari China.



AS juga memainkan peran penting sebagai pemasok bahan baku/penolong bagi industri Tanah Air. Pada 2019, impor terbesar Indonesia dari AS adalah minyak nabati yang digunakan untuk ekstraksi.

Berikut adalah sejumlah produk/komoditas yang paling banyak didatangkan dari AS:



Sedangkan dari sisi investasi di sektor riil, AS juga merupakan salah satu penanam modal terbesar di Indonesia. Pada 2019, investasi AS tercatat senilai US$ 989,3 juta yang tersebar di 788 proyek.




Belum lagi resesi di AS tentu akan membawa sentimen negatif di pasar keuangan. Pada 2008 dan 2009, kala AS resesi, investor asing memang masih membukukan beli bersih (net buy) di pasar saham Indonesia. Namun dalam jumlah yang lebih sedikit ketimbang 2007.



Jadi, risiko resesi di AS bakal punya dampak signifikan bagi Indonesia. Ada baiknya para pengambil kebijakan, pelaku pasar, dan dunia usaha mulai memasukkan risiko ini dalam kalkulasi mereka.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular