Jakarta, CNBC Indonesia - Iran melakukan serangan rudal ke pangkalan udara gabungan AS-Irak di Ayn al-Asad, Irak Barat, Rabu (8/1/2020). Serangan itu merupakan balasan atas kematian pemimpin Pasukan Quds, sayap eksternal Garda Revolusi Iran, Jenderal Qasem Soleimani, pekan lalu.
Serangan itu juga telah dikonfirmasi oleh Garda Revolusi Iran.
"Garda Revolusi Iran mengumumkan kepada AS bahwa balasan ini akan penuh dengan 'rasa sakit' dan 'kehancuran'," tulis Garda Revolusi Iran seperti dilaporkan Bloomberg, Rabu.
Iran sebelumnya memang telah mengumumkan rencana serangan balasan ke AS yang diusung Presiden Donald Trump itu. Kepala Komite Pengamanan Nasional Iran Ali Shamkhani menegaskan hal itu pada Selasa . Bahkan, ia mengatakan hal itu bisa menjadi "mimpi buruk bersejarah" bagi AS.
Setelah serangan dilakukan, Iran mengklaim setidaknya ada 80 tentara AS tewas dalam serangan menggunakan puluhan rudal itu itu.
"Setidaknya 80 personil militer terbunuh di serangan ini," kata televisi pemerintah, mengutip Garda Revolusi Iran, sebagaimana dilansir dari AFP.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memberi pidato kepada rakyat Iran beberapa jam pasca serangan dilancarkan.
Mengutip laporan CNN, Khamenei mengatakan serangan di markas Amerika Serikat (AS) sukses dilakukan.
"Tadi malam, tamparan di wajah telah disampaikan (kepada AS)," kata Khamenei dalam pidato yang disiarkan langsung di televisi pemerintah, sebagaimana dilaporkan AFP.
Selain Khamenei, kelompok Hizbullah juga buka suara terkait serangan ini. Mereka mengancam akan menyerang Israel jika Amerika Serikat (AS) membalas serangan rudal yang dilakukan oleh Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC) di pangkalan militer AS di Irak Rabu pagi tadi.
"Kami sama sekali tidak menganggap rezim Zionis (Israel) terpisah dari rezim kriminal AS dalam kejahatan ini," kata IRGC dalam sebuah pernyataan, sebagaimana dilaporkan kantor berita Tasnim Iran.
"Kami memperingatkan Setan Besar, rezim haus darah dan arogan AS, bahwa tindakan jahat baru atau agresi lebih lanjut (terhadap Iran) akan menghasilkan respons yang lebih menyakitkan dan menghancurkan," tegas IRGC, mengutip laporan Jerusalem Post.
Hizbullah yang memiliki arti 'Partai Allah', adalah organisasi politik dan militer di Lebanon yang sebagian besar terdiri dari kaum Syi'ah.
Hizbullah muncul dengan dukungan keuangan dari Iran pada awal 1980-an dan memulai perjuangan untuk mengusir pasukan Israel dari Lebanon.
Pasca serangan Iran terjadi, Presiden AS Donald Trump merespons melalui pidato resminya. Ia mencoba menenangkan suasana.
Pertama, Trump membantah klaim pemerintah Iran yang mengatakan bahwa ada 80 tentara AS yang tewas dalam serangan tersebut. "Tidak ada warga AS terluka dalam serangan rudal Iran," ujar presiden itu di Gedung Putih sebagaimana dilansir AFP, Kamis (9/1/2020).
Ia pun menyakini serangan ini adalah serangan terakhir dari Iran. "Iran tampaknya akan mundur, yang mana ini baik untuk semua pihak yang terkait," katanya.
Kedua, Trump menegaskan tidak akan menyerang balik Iran. Hal ini diutarakannya dengan menyebut meski memiliki kekuatan militer terbaik, AS tak selamanya harus menggunakan itu.
"Kekuatan Amerika, baik itu militer maupun ekonomi, adalah pencegahan yang baik," ujarnya. "Fakta bahwa kita memiliki militer dan peralatan terhebat ini, tidak berarti membuat kita harus menggunakannya."
Ketiga, Trump menjatuhkan sanksi ekonomi baru untuk Iran. Sanksi yang tidak dijelaskan detail ini, disebut Trump, akan berlaku sampai Iran mengubah perilakunya terutama soal pengembangan nuklir.
"Iran harus meninggalkan ambisi nuklirnya dan mengakhiri dukungannya untuk terorisme," sebut Trump.
"Dunia.. harus mengirimkan pesan yang jelas pada rezim Iran. Kampanye kalian (Iran) tentang teror, pembunuhan dan kekacauan tidak bisa ditoleransi. Hal itu tidak boleh diizinkan terus terjadi."
Keempat, Trump meminta negara The North Atlantic Treaty Organization (NATO) untuk hadir di Timur Tengah. Hal ini, ditulis BBC, merupakan signal Trump kepada sejumlah negara NATO yang menentang aksi Trump terhadap Iran.
Di Rabu malam waktu AS, ia juga sempat berkomentar santai dalam twitternya @realDonaldTrump.
"Semua baik-baik saja! Rudal diluncurkan dari Iran di dua pangkalan militer yang berlokasi di Irak. Pengecekan korban & kerusakan sedang dilakukan sekarang. Sejauh ini baik! Sejauh ini, kita memiliki militer yang paling kuat dan lengkap di seluruh dunia! Saya akan membuat pernyataan besok pagi," tulis Trump di Twitternya.
Menurut seorang kolumnis di media Inggris the Guardian, Nesrine Malik, perang antara AS-Iran mungkin terjadi. Namun, bukan sejenis perang besar yang bisa disebut Perang Dunia III. Ini dikarenakan Iran terlalu lemah untuk AS dan Iran akan menjadi negara yang semakin tertindas apabila perang meletus.
"Jauh dari diskusi para analis Barat yang menyatakan pembunuhan ini akan mempengaruhi pemilihan ulang atau pemakzulan Presiden Trump, atau dari pertanyaan moral apakah perburuan adalah alat sah kebijakan luar negeri, kehidupan akan menjadi semakin berbahaya bagi jutaan orang di Timur Tengah."
"Tetapi pembunuhannya akan memiliki hasil yang asimetris - nyawa Amerika akan berjalan seperti biasa, sementara Timur Tengah akan semakin tidak stabil." jelasnya dalam tulisannya berjudul "To believe there'll be world war three is to swallow US propaganda" yang dimuat di Guardian, Senin.
Lebih lanjut, dalam tulisan itu Malik mengatakan bahwa kematian Soleimani memang benar akan menjadi pengalihan, sebagaimana yang banyak dikatakan analis Barat. Namun, itu hanya bersifat sementara.
Ia juga kembali menegaskan bahwa ketegangan yang meningkat tidak akan menjelma menjadi Perang Dunia III.
"Pembunuhan Suleimani dapat memecahkan masalah sementara, nyata atau dikhususkan untuk tujuan Public Relations Gedung Putih, tetapi pukulan balik tidak akan dirasakan oleh mereka yang membuat tren "perang dunia ketiga" di media sosial."
"Ini tidak akan menjadi perang dunia baru - pembicaraan semacam itu hanya menunjukkan seberapa efektif mesin propaganda Amerika dalam memproduksi kesan bahwa ada ancaman pemusnahan dari Teheran."
Sejalan dengan Malik, analis Stan Grant juga mengatakan kemunculan Perang Dunia III akibat ketegangan AS-Iran terlalu berlebihan. Ia menyebut peran media sosial dan pemberitaan media yang tiada henti telah membuat ketakutan yang menyebar menjadi berlebihan.
"Zaman kita dikutuk oleh hiperbola, histeria, dan ke-alay-an. Menyalahkan keadaan di media sosial dan siklus pemberitaan selama 24 hari dalam 7 hari, di mana satu komentar ekstrim memancing komentar yang lainnya." katanya dalam tulisannya yang berjudul "Could tension between the US and Iran spark World War 3?" yang diposting di ABC News, Selasa.
"Demikian pula dengan perselisihan Amerika-Iran. Ini telah menghasilkan tagar Twitter: #WorldWarThree."
Grant menyatakan, sebuah kelucuan untuk berpikir Perang Dunia III akan lahir dari perselisihan kedua negara, mengingat baik dari segi populasi maupun ekonomi dan kekuatan militer, Iran kalah jauh dari AS.
"Populasinya adalah seperempat ukuran Amerika, ekonominya tidak sampai 2% ekonomi AS. Senjata-senjatanya yang ketinggalan jaman bukan tandingan kekuatan militer terkuat yang pernah ada di dunia." jelasnya, merujuk pada kekuatan militer Negeri Paman Sam.
"Konflik dengan Iran saja tidak akan mengakhiri abad dominasi Amerika - AS tetap menjadi ekonomi terbesar di dunia dan sejauh ini militernya yang paling kuat."