Faisal Basri vs Murka Jokowi, Kilang Mangkrak Salah Siapa?

Gustidha Budiartie & Efrem Limsan Siregar, CNBC Indonesia
19 December 2019 12:39
Faisal Basri vs Murka Jokowi, Kilang Mangkrak Salah Siapa?
Foto: Infografis/ PaK Jokowi, januari-mei 2019 impor migas turun/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia- Dalam dua bulan terakhir, Presiden Joko Widodo tak berhenti marah-marah soal kilang yang tak dibangun dalam 30 tahun terakhir. Ia menuding ada biang kerok di balik semua ini, yaitu para pemburu rente impor minyak.

Jokowi memaparkan impor minyak RI hampir 800 ribu barel sehari, berupa minyak mentah dan BBM. Di balik impor ini, bakal ada pihak-pihak yang untung banyak dan mengganggu pembangunan kilang.



"Saya cari, sudah ketemu siapa yang seneng impor sudah mengerti saya. Saya ingatkan bolak balik kamu hati-hati, saya ikuti kamu, jangan halangi orang ingin membikin batu bara jadi gas. Gara gara kamu senang impor gas. Kalau ini bisa dibikin sudah nggak ada impor gas lagi. Saya kerja apa Pak? Ya terserah kamu. Kamu sudah lama menikmati ini," tutur Jokowi dalam acara pembukaan Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/12/2019).

November lalu, Jokowi juga mengucapkan hal serupa. Ia mengklaim mengetahui orang yang 'doyan' impor minyak dan gas (migas). Ia tak segan-segan 'menggigit' mereka yang mencoba menghalangi Indonesia mengurangi impor migas. Selama ini impor migas jadi penyebab defisit neraca dagang dan CAD.

[Gambas:Video CNBC]



"Saya tahu yang impor siapa sekarang. Enggak akan selesai kalau masalah ini tidak kita selesaikan," tegas Jokowi.

Jokowi berjanji akan memberantas para penyuka impor migas. Jokowi menyinggung soal masih ramainya impor minyak dan LPG. "Ada yang senang impor tapi tidak mau diganggu impornya. Baik itu minyak maupun LPG. Ini yang akan saya ganggu," kata Jokowi.

Faisal Basri vs Murka Jokowi, Kilang Mangkrak Salah Siapa?Foto: Infografis/Pak Jokowi, Sebenarnya Impor Migas RI Sudah Turun 29% Loh.../Arie Pratama




Soal amarah-amarah Jokowi ini, ekonom seniar Indef dan juga mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri bingung bukan main.

Ia bukan bingung soal keberadaan mafia migas, toh pada 2014-2015 lalu justru Faisal Basri lah yang membongkar habis-habisan siapa dan bagaimana modus mafia migas dalam masalah impor minyak. Timnya sudah selesai bekerja, laporan sudah diserahkan ke kementerian, presiden, bahkan disampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Lantas apa yang membuat Faisal Basri bingung dengan amarah Jokowi?

Faisal Basri bingung bukan main soal pernyataan Presiden Jokowi tentang impor minyak, seakan-akan sang presiden tidak mengetahui inti masalah kenapa RI harus terus-terusan impor minyak.

Bukan cuma soal peran mafia migas di sini. Menurutnya, impor migas akan sulit dihindari selama konsumsi terus-terusan tumbuh seiring dengan penjualan kendaraan bermotor yang juga naik. Tetapi produksi migas RI memprihatinkan.

"Intinya gini, Pak Jokowi marah-marah ada mafia migas yang doyan impor migas. Terlepas ada atau tidaknya, impor akan naik terus. Kenapa? Jumlah mobil dan sepeda motor naik, produksi minyak turun. Kalau tidak impor dari mana? Gak ada urusannya dengan mafia," kata Faisal Basri di Jakarta, Rabu (18/12/2019).

Saat ini, konsumsi BBM RI bisa mencapai 1,3 juta hingga 1,4 barel sehari. Sementara rata-rata produksi dan lifting terus turun.

Lifting atau produksi minyak Indonesia tercatat terus turun. Dari rata-rata 829 ribu barel per hari di 2016 menjadi 745 ribu barel per hari di 2019. Lifting tertinggi tercatat di 2010 sebesar 953,9 ribu barel per hari.

Menurut catatan CNBC Indonesia, lifting bahkan turun sampai 21,4% dalam 10 tahun terakhir.





Jika hal ini tak segera disiasati, maka pada 2030 lifting minyak RI bisa sampai 300 ribu bpd. Padahal kebutuhan minyak tanah air terus mengalami peningkatan. Menurut data CEIC, konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,4 juta bpd. Konsumsi minyak naik 26,2% mencapai 1,78 juta bpd.

Ini artinya, percuma Jokowi teriak-teriak soal CAD sampai kapanpun kalau produksi tak bisa menutup konsumsi.

Perlu sorotan juga di sektor hulu, pembenahan tata kelola dan daya tarik investasi agar eksplorasi terus marak dan produksi migas RI bisa mulai merangkak naik.

Selain itu, Faisal juga mengatakan masalah utama CAD adalah impor yang lebih tinggi ketimbang ekspor. Bukan cuma migas, tapi Jokowi juga perlu melihat komoditas lainnya.

Salah satu andalan RI adalah ekspor sawit yang kini tengah bermasalah, dan dipakai di dalam negeri. "CPO yang biasanya ekspor sekarang dipakai di dalam negeri, ekspornya turun. Kalau digabung kan nol, ga ada efeknya."

Urusan seperti ini, jelasnya, harus ada konduktor yang tegas. Bukan cuma fokus soal menekan impor, tapi juga sumber ekspor Indonesia yang harus ditingkatkan agar tidak defisit.

"Presiden ngomong kita bingung, Menko kita bingung, menterinya juga bingung, tiba-tiba ada bibit lobster juga. Belum dua bulan aja sudah start dari nol lagi," sindir Faisal.

Soal CAD dan defisit migas, mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan juga pernah menjelaskan defisit migas tak hanya dialami Indonesia, negara-negara maju seperti Jepang, China juga alami defisit migas karena mereka terbatas sumber daya energinya. "Tapi apakah neraca perdagangan secara keseluruhan defisit? Tentu tidak kan?"

Ini, kata Jonan, karena negara-negara tersebut menggenjot ekspor sektor lainnya. Terutama sektor manufaktur yang berada di Kementerian Pertanian, Perdagangan, dan Perindustrian.

Migas, perlu ditekankan, bagaimanapun harus juga dilihat sebagai sumber energi bukan cuma sekedar komoditas. Sebagai sumber energi, keberadaan migas diperlukan untuk menggerakkan ekonomi negara.





Faisal juga menyoroti pernyataan Jokowi yang meminta agar kilang segera dibangun. Menurut Faisal, pembangunan kilang harus terintegrasi dengan petrokimia agar menarik. Sebab, margin keuntungan kilang sangat tipis hanya 2-3% saja. "Kalau jual BBM saja untungnya sedikit, untung banyak kalau produksi petrokimia begitu," jelasnya.

Dalam rekomendasinya di tim reformasi tata kelola migas kala itu, Faisal menekankan salah satu cara menekan impor dan juga membatasi gerak mafia migas adalah dengan membangun kilang. Tapi, membangun kilang memang butuh biaya yang tak sedikit dan marginnya juga kecil. Ini menurutnya salah satu yang membuat pembangunan kilang terus-terusan terhambat.



Namun, itu bisa diakali dengan membangun kilang petrokimia. "Kami usul jangan bangun kilang stand alone karena tak menarik investor. Harus terintegrasi dengan petrokimia," kata Faisal ke CNBC Indonesia, Kamis (12/12/2019).

Hal serupa juga disampaikan oleh para mantan bos PT Pertamina (Persero), yakni Martiono Hadianto dan Ari Soemarno. Pembangunan kilang BBM dan Petrokimia harus berbarengan dan dipasangkan, biar menguntungkan.

Ari Soemarno mengatakan petrokimia itu harus terintegrasi dan tidak bisa dilepaskan,"Itu kuncinya," kata dia beberapa waktu lalu.

Martiono mengatakan pembangunan kilang Petrokimia bisa menjadi kunci untuk menarik investasi bahkan menyelamatkan Pertamina. "Kalau lihat kilang BBM-nya saja tentu kecil, tapi harus ada kilang Petrokimia supaya untung."

Bukan cuma untung, menurutnya jika Pertamina benar-benar serius menggarap Petrokimia bisnis hilir perusahaan tersebut justru bisa lebih untung dan menyuntik dana ke bisnis hulu.

"Itu bukan tidak mungkin, petrokimia itu mother of industry, semua orang butuh. Kalau dikelola dengan benar, malah bisa bawa untung ke Pertamina."

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular