Jokowi Setop Ekspor Batu Bara? Ngeri-ngeri Sedap Buat CAD RI

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 December 2019 12:18
Jokowi Setop Ekspor Batu Bara? Ngeri-ngeri Sedap Buat CAD RI
Presiden Joko Widodo (Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepertinya tidak main-main soal pengelolaan barang tambang nasional. Ekspor bijih (ore) nikel tahun depan mulai dihentikan, ekspor bauksit pun diwacanakan bakal disetop.

Kini, ada ekspor komoditas pertambangan lainnya yang kemungkinan bakal dibatasi, atau bahkan mungkin dilarang. Batu bara.

"Kita atur, ritmenya kita atur. Nikel, bauksit, batu bara, semuanya. Satu-satu," ungkap Jokowi awal pekan ini.

Jika penghentian ekspor bauksit sepertinya tidak banyak berpengaruh, lain cerita dengan batu bara. Kalau benar Jokowi betul-betul berani menyetop ekspor si batu hitam dengan kondisi saat ini, maka dampaknya bakal sangat signifikan.


Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor batu bara Indonesia sepanjang Januari-September 2019 adalah US$ 14,25 miliar. Jumlah ini mencapai 12,42% dari total ekspor non-migas dan berada di urutan pertama.



Jadi kalau situasinya masih seperti sekarang, kalau Indonesia masih sangat bergantung kepada batu bara, maka penghentian keran ekspor bakal sangat telak memukul perekonomian Indonesia. Satu sumber devisa utama akan tertutup, dan Indonesia bakal sangat kesulitan menyelesaikan masalah defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).

Baca: Sri Mulyani: CAD Jadi Penghalang Tumbuhnya Ekonomi RI

Akibatnya, fondasi rupiah menjadi rapuh dan mata uang Tanah Air cenderung melemah. Kala rupiah melemah, Bank Indonesia (BI) tentu tidak tinggal diam. Salah satu upaya yang dilakukan BI adalah menaikkan suku bunga acuan untuk menarik arus modal di sektor keuangan agar bisa menambal 'lubang' yang menganga di pos ekspor-impor barang dan jasa.

Kenaikan suku bunga acuan mungkin bisa menstabilkan rupiah. Namun yang menjadi tumbal adalah konsumsi dan investasi, karena suku bunga kredit perbankan tentu akan ikut terkerek. Biaya ekspansi menjadi mahal, sehingga pertumbuhan ekonomi sulit dipacu lebih kencang.


Namun penghentian ekspor batu bara tidak selamanya negatif. Ada sisi positif yang bila dimanfaatkan bisa mendatangkan manfaat besar.

Sesuai mandat UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), pemerintah memang sudah tidak lagi mengizinkan barang tambang dijual mentah. Harus ada proses lebih lanjut yang menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Jangan lagi Indonesia menjual tanah air begitu saja.

"Bahwa mineral dan batu bara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan," demikian bunyi konsideran huruf a UU Minerba.

Baca: Menjual 'Tanah Air' Demi Menyelamatkan Rupiah

Ini sesuai dengan keinginan Jokowi. Eks Gubernur DKI Jakarta itu berkali-kali menegaskan bahwa Indonesia harus sembuh dari ketergantungan terhadap komoditas. Perekonomian domestik harus lebih produktif dengan mengedepankan industri pengolahan alias manufaktur.

Memangnya batu bara bisa diolah menjadi apa? Bukankah kalau menjual batu bara memang masih dalam bentuk bongkahan atau serpihan?

Jokowi menawarkan solusi yaitu gasifikasi. Batu bara bisa diproses menjadi gas dan menjadi bahan bakar baru pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG).

"Batu bara bisa disubstitusi menjadi gas, sehingga nggak perlu impor LPG. Bisa dibuat dari batu bara kita yang melimpah, kok kita impor?" tegas Jokowi.


Nice one, Mister President. Impor LPG memang lumayan besar sehingga kalau dikurangi tentu bisa membantu meringankan beban transaksi berjalan.

Pada Januari-September 2019, impor LPG atau Liquefied Propane and Butane mencapai US$ 1,86 miliar. Berikut sejumlah negara tempat Indonesia mengimpor komoditas tersebut:

 


Selain itu, harus diakui bahwa mengekspor batu bara sekarang semakin susah. Batu bara adalah sumber energi yang kurang ramah lingkungan. Apalagi dengan isu emisi dan polusi yang semakin mengemuka, rasanya batu bara kian sulit mendapat tempat.

Saat ini, dua negara tujuan ekspor batu bara terbesar Indonesia adalah India dan China. Pada Januari-September 2019, ekspor batu bara ke dua negara tersebut masing-masing adalah US$ 3,56 miliar dan US$ 2,38 miliar.

Mengutip data AirVisual, tujuh dari 10 kota paling berpolusi di dunia pada 2018 berada di India. China 'menyumbang' satu kota yaitu Hotan yang berada di daerah Xinjiang.

AirVisual
 

India kemungkinan akan menurunkan impor batu bara karena produksi dalam negeri yang meningkat. Pada tahun fiskal 2019-2020, pemerintah India menargetkan produksi batu bara berada di kisaran 660 juta ton. Angka ini naik 8,7% dibandingkan tahun sebelumnya.

Negeri Bollywood juga berkomitmen terhadap Perjanjian Paris dengan berupaya menurunkan emisi. Caranya adalah dengan mengenakan pungutan Rs 400/ton batu bara yang dibayarkan kepada National Clean Energy Fund untuk membiayai pengembangan sumber energi ramah lingkungan.

Sementara International Energy Agency (IEA) memperkirakan permintaan batu bara China akan turun 2,8% menjadi 2,6 miliar ton pada 2023 dari posisi tahun ini yaitu 2,7 miliar ton. Isunya apalagi kalau bukan polusi.

Oleh karena itu, IEA memprediksi ekspor batu bara Indonesia akan turun sampai 15,7% pada 2023 dari posisi sekarang. Dengan situasi yang semakin sulit ini, maka Indonesia harus mulai serius untuk tidak lagi mengandalkan batu bara sebagai sumber utama devisa ekspor non-migas.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular