AS di Tangan Trump, Apakah Memang Great Again?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 December 2019 07:57
AS di Tangan Trump, Apakah Memang Great Again?
Presiden Amerika Serikat Donald Trump (AP Photo/Andrew Harnik)
Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) tengah berkubang dalam gaduh politik skala besar. Tidak main-main, Presiden AS Donald Trump sedang menghadapi ancaman pemakzulan alias impeachment.

Adalah House of Representatives yang mengajukan proposal pelengeseran Trump. Maklum, dalam Pemilu sela tahun lalu kubu oposisi Partai Demokrat berhasil meraih meraih kursi mayoritas.

Pendongkelan Trump masih harus melalui Senat, yang dikuasai Partai Republik pendukung pemerintah. Namun posisi Trump belum aman, karena Grand Old Party hanya menduduki 53 dari 100 kursi di Senat. Ada yang membelot sedikit saja, maka Trump bisa terusir dari Gedung Putih.


Impeachment terhadap Trump diajukan setelah tudingan konspirasi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy. Berbicara melalui sambungan telepon pada 25 Juli 2019, Trump ditengarai meminta pemerintahan Zelenskiy untuk melakukan penyelidikan atas bisnis migas keluarga Joe Biden di negara pecahan Uni Soviet tersebut. Demokrat menuding Trump menjanjikan bantuan senilai US$ 400 juta dalam bentuk asistensi militer.

Biden, eks wakil presiden pada masa pemerintahan Barack Obama, adalah salah satu kandidat kuat calon presiden Partai Demokrat untuk pemilihan tahun depan. Langkah Trump diduga sebagai upaya menjegal Biden dalam kontestasi politik Negeri Adidaya.

Demokrat menilai Trump melanggar sumpah jabatan karena menjanjikan sesuatu yang terkait dengan wewenangnya untuk menguntungkan diri sendiri atau golongan tertentu. Trump juga dianggap membahayakan keamanan nasional.

Trump berkeras tidak ada bukti soal persekongkolannya itu. Dalam cuitan di Twitter, eks taipan properti itu menegaskan dirinya tidak bersalah.

"Apakah Anda bisa percaya bahwa hari ini saya akan dimakzulkan oleh para radikal kiri yang tidak berbuat apa-apa yaitu Demokrat. SAYA TIDAK MELAKUKAN KESALAHAN. Buruk seklai. Bacalah transkrip (percakapan Trump dengan Zelinskiy). Ini tidak boleh terjadi lagi kepada presiden berikutnya. BERDOALAH!" cuit Trump.


[Gambas:Video CNBC]

Sejak menjadi presiden sebagai pemenang Pemilu 2016, Trump membuat AS terbelah. Tidak sedikit, bahkan banyak yang meragukan kemenangannya. Apalagi ada selentingan campur tangan Rusia dalam Pemilu AS.

Perangai Trump yang impulsif pun dinilai kebablasan sebagai seorang presiden AS, manusia yang secara de facto adalah orang paling berkuasa di planet bumi. Gonta-ganti personel kabinet, terang-terangan mencerca kebijakan bank sentral (The Federal Reserve/The Fed) yang merupakan badan independen, mengecap sejumlah media sebagai penyebar berita palsu (fake news), dan sebagainya menjadi contoh perilaku Trump yang kalau dalam bahasa Betawi disebut seenak jidat.

Belum lagi kebijakannya yang tidak kalah kontroversial. Keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran, menarik diri dari Perjanjian Paris, membubarkan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), sampai menyulut perang dagang dengan China dan Uni Eropa adalah gambaran betapa ekstremnya pandangan sang presiden.

Akan tetapi, tidak sedikit pula yang mendukung Trump. Bagi para pendukungnya, Trump dipandang sebagai sosok yang konsisten mewujudkan janji kampanyenya. Make America Great Again



Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Pada pemerintahan Trump, AS berhasil mencapai hal-hal yang sulit diwujudkan presiden-presiden sebelumnya. Mungkin Trump memang sedang di arah yang tepat untuk menjadikan AS berjaya kembali.

Trump beberapa kali membanggakan soal rekor di bursa saham New York. Harus diakui bahwa Wall Street melaju kencang pada masa pemerintahan Trump. Indeks S&P 500 melonjak 40,67% sejak Trump mulai berkantor di Gedung Putih pada 20 Januari 2017.



Baca: Ketika Trump Pamer: New Stock Market Record!

Salah satu faktor yang membuat Wall Street (dan perekonomian AS secara keseluruhan) penuh gairah adalah stimulus perpajakan. Pada masa-masa awal pemerintahannya, Trump menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) baik untuk orang pribadi maupun badan.

US Internal Revenue Service

Hasilnya luar biasa. Investasi korporasi tumbuh pesat dan konsumsi rumah tangga meningkat tajam. Laju pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam pun melesat ke posisi terbaik sejak 2015.

 

Pemotongan tarif PPh membuat perusahaan menambah investasi yang otomatis menciptakan lapangan kerja. Angka pengangguran AS terus turun ke titik terendah sejak 1969.



Baca: Ekonomi Melesat, Pengangguran AS Terendah Dalam 50 Tahun


Akan tetapi, Trump bukan tanpa cela. Kebijakannya yang kontroversial, terutama mengajak perang dagang dengan China, memakan korban yaitu perekonomian AS sendiri.

Tujuan Trump mengenakan bea masuk terhadap produk-produk China adalah untuk mengendalikan impor dari Negeri Tirai Bambu. Pada 2016, tahun terakhir sebelum Trump menjabat, defisit perdagangan AS dengan China adalah US$ 346,82 miliar.

Dalam upaya membatasi derasnya impor yang membuat neraca perdagangan tekor, Trump mulai mengenakan bea masuk terhadap importasi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk made in China. Namun bukannya berkurang, defisit perdagangan AS dengan China malah semakin dalam. Tahun lalu, total defisit perdagangan AS dengan China membengkak jadi US$ 419,53 miliar.



Baca: Penyebab Perang Dagang karena AS Takut Dikalahkan China?

Barang dari China yang masuk ke AS kini lebih mahal karena kena bea masuk. Trump kerap membusungkan dada bahwa pemerintah AS menikmati miliaran dolar dari pembayaran bea masuk tersebut.

Namun namanya perang dagang, China tentu tidak terima dengan perlakuan Trump. Sebagai balasan, Beijing mengenakan bea masuk bagi importasi produk made in the USA senilai hampir US$ 200 miliar.

Akibatnya, produk AS juga kesulitan menembus pasar China. Padahal China adalah negara tujuan ekspor ketiga terbesar.

Penurunan permintaan dari China membuat dunia usaha di AS mengendurkan pedal gas. Produksi industrial AS terus turun hingga ke -0,75% year-on-year (YoY) pada November 2019.



Perang dagang yang berlangsung selama hampir dua tahun ini membuat pengusaha di AS pesimistis dalam mengarungi bahtera perekonomian. Pesimisme dunia usaha tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI) yang terus bergerak ke selatan.

Pada November 2019, PMI manufaktur AS versi Institute of Supply Management (ISM) berada di 48,1 PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50, berarti dunia usaha tidak melakukan ekspansi. PMI manufaktur AS sudah berada di bawah 50 selama empat bulan beruntun.

 

Gara-gara perang dagang, pertumbuhan ekonomi AS melambat. Capaian pada 2018 yang impresif akibat stimulus pajak menguap begitu saja memasuki 2019 karena ekspor dan investasi yang nyungsep.

Apesnya, tidak cuma AS yang mengalami perlambatan ekonomi. Peran dagang AS-China berdampak buruk pada perekonomian global. Hampir seluruh negara merasakan kontraksi (pertumbuhan negatif) ekspor karena rantai pasok yang terganggu.


"Ketidakpastian yang tinggi, terutama terkait tensi perdagangan, menyebabkan tergerusnya keyakinan dunia usaha dan konsumen sehingga berdampak terhadap perlambatan ekonomi. Perdagangan dunia melambat dengan tajam dan permintaan di berbagai negara bergerak turun. Restriksi dagang yang dimulai tahun lalu menyeret pertumbuhan ekonomi ke bawah, juga investasi dan standar hidup, terutama bagi rumah tangga berpendapatan rendah," sebut laporan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

So, bagaimana kesimpulannya? Apakah Trump berhasil dalam misi Make America Great Again? Atau malah lebih menimbulkan mudarat ketimbang manfaat?

Sepertinya sulit untuk mencari jawabannya. Sebab seperti halnya di Indonesia, hasil Pilpres bisa menciptakan kubu-kubuan di level akar rumput. Bagi kubu pendukung, Trump selalu benar dan bagi yang antipati ya Trump salah terus.

Namun ada satu hal yang bisa dipetik dari kepemimpinan Trump. Kapan lagi kita bisa menyaksikan Presiden AS yang kepemimpinannya bergaya koboi seperti ini... 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular