'Serangan' China ke RI Lewat Impor, Ayo Hajar Via Bea Masuk!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 December 2019 14:50
'Serangan' China ke RI Lewat Impor, Ayo Hajar Via Bea Masuk!
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (REUTERS/Darren Whiteside)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun lalu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan merilis Peraturan Menteri Keuangan No 112/PMK.04/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No 182/PMK.04/2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman. Batas bawah barang kiriman yang tidak kena bea masuk adalah tidak lebih dari US$ 75.

Awalnya, pembebasan bea masuk dikenakan atas pengiriman tidak lebih dari US$ 100. Tujuan perubahan ini adalah melindungi kepentingan nasional sehubungan dengan meningkatnya volume impor barang melalui mekanisme impor barang kiriman dan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri.

Kini, ada wacana pemerintah bakal kembali menurunkan ambang batas tersebut. Kalau diturunkan, maka barang pengiriman yang murah sekali pun bakal kena bea masuk.

"Mungkin kita revisi, karena (batas) US$ 75 mengganggu produk dalam negeri," tegas Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, kemarin.



Jika benar pemerintah akan menurunkan ambang batas pengiriman yang kena bea masuk, maka bisa berdampak positif terhadap industri dalam negeri. Impor yang dimudahkan, terutama buat barang konsumsi, menyebabkan persaingan yang tidak sehat yang bisa mematikan industri nasional.

Jika industri nasional mati suri karena terpukul barang impor, maka setiap kenaikan permintaan tidak akan bisa dipenuhi dari dalam negeri. Lagi-lagi harus impor, bahkan untuk barang yang remeh-temeh.

Pembengkakan impor membuat devisa yang 'terbakar' semakin banyak sehingga neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) tertekan. Akibatnya, fondasi rupiah menjadi rapuh dan mata uang Tanah Air cenderung melemah.




Kala rupiah melemah, Bank Indonesia (BI) tentu tidak tinggal diam. Salah satu upaya yang dilakukan BI adalah menaikkan suku bunga acuan untuk menarik arus modal di sektor keuangan agar bisa menambal 'lubang' yang menganga di pos ekspor-impor barang dan jasa.

Kenaikan suku bunga acuan mungkin bisa menstabilkan rupiah. Namun yang menjadi tumbal adalah konsumsi dan investasi, karena suku bunga kredit perbankan tentu akan ikut terkerek. Biaya ekspansi menjadi mahal, sehingga pertumbuhan ekonomi sulit dipacu lebih kencang.

Baca: Sri Mulyani: CAD Jadi Penghalang Tumbuhnya Ekonomi RI


Ditambah Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin baru mengumumkan bahwa neraca perdagangan November 2019 mengalami defisit US$ 1,33 miliar, terdalam sejak April.



Pada November, impor turun 9,24% year-on-year (YoY). Impor yang penting bagi industri dalam negeri yaitu bahan baku/penolong dan barang modal terkontraksi masing-masing 13,23% YoY dan 3,55% YoY.


Malangnya, impor barang konsumsi malah naik 16,28% YoY. Ini patut diwaspadai karena barang konsumsi adalah produk yang habis dipakai tanpa menimbulkan dampak ekonomi. Tidak ada perputaran uang lanjutan dari impor barang konsumsi.

Patut dikhawatirkan pula jangan-jangan kemudahan impor membuat dunia usaha memilih jadi pedagang ketimbang industriawan. Lebih gampang menjual barang jadi daripada memproduksi.

Ini tentu sangat tidak diharapkan. Indonesia hanya akan menjadi pasar tanpa mampu menikmati nilai tambah. Apalagi industri manufaktur adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yaitu 19,62% pada kuartal III-2019.

Sayangnya, sang kontributor terbesar ini sedang melambat. Sejak 2012, pertumbuhan industri manufaktur selalu di bawah laju pertumbuhan ekonomi umum.




Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mendorong tumbuhnya industri nasional harus didukung. Selain bisa memperbaiki defisit transaksi berjalan dan menstabilkan nilai tukar rupiah, pertumbuhan industri manufaktur juga akan menciptakan lapangan kerja yang kemudian menurunkan angka kemiskinan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular