Masalah RI Bukan Cuma Neraca Dagang Tekor, Lebih dari Itu!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 December 2019 12:15
Masalah RI Bukan Cuma Neraca Dagang Tekor, Lebih dari Itu!
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (REUTERS/Darren Whiteside)
Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia membukukan defisit yang lumayan dalam pada November 2019. Namun bukan cuma neraca perdagangan, tetapi Indonesia patut khawatir dengan sesuatu yang lebih jauh lagi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor pada November 2019 adalah US$ 14,01 miliar atau turun 5,67% year-on-year (YoY). Kemudian impor tercatat US$ 15,34 miliar, terkontraksi 9,25% YoY. Hasilnya, neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 1,33 miliar. Ini adalah defisit perdagangan terdalam sejak April. 




Dengan penurunan pada November, berarti ekspor sudah negatif dalam 13 bulan beruntun. Selama koreksi impor terjadi selama lima bulan berturut-turut.



Penurunan ekspor adalah sesuatu yang sulit dihindari dan di luar kendali pembuat kebijakan. Apa boleh buat, harga komoditas ekspor andalan Indonesia memang turun.

Sepanjang Januari-November 2019, ekspor Indonesia masih mengandalkan dua komoditas utama yaitu bahan bakar mineral (terutama batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (utamanya minyak sawit mentah/CPO). Harga batu bara, misalnya, amblas 33,2% dalam setahun terakhir.

"Ekspor bahan bakar mineral turun 9,67% selama Januari-November 2019, dengan catatan kuantitas ekspor batu bara sebenarnya masih naik 7,56%. Namun karena harga turun 2,76% MoM bahkan YoY turun 33%, bisa dipahami mengapa terjadi penurunan ekspor," kata Suhariyanto, Kepala BPS, dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (16/12/2019).



Akan tetapi, kekhawatiran yang perlu mendapat perhatian sebenarnya adalah di sisi impor. Bukankah impor turun itu bagus ya?

Belum tentu. Apalagi kalau yang turun adalah bahan baku/penolong dan barang modal. Apesnya, ini yang sekarang terus terjadi.

Sepanjang Januari-November 2019, impor bahan baku/penolong amblas 13,23% YoY. Kemudian impor barang modal turun 3,55% YoY.

Bahan baku/penolong dan barang modal digunakan oleh dunia usaha untuk modal memproduksi barang dan jasa. Ketika impor bahan baku/penolong dan barang modal naik, maka pertanda dunia usaha sedang bergairah dan siap menggenjot ekspansi.

Sekarang kondisinya bahan baku/penolong dan barang modal turun. Artinya dunia usaha sedang menahan diri, enggan melakukan ekspansi, yang ada malah terkontraksi. Jangan berharap investasi bisa tumbuh kencang jika impor bahan baku/penolong dan barang modal masih seperti ini.



Sikap dunia usaha yang menahan diri juga tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI). Pada November, PMI manufaktur Indonesia berada di 48,2.



PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Apabila angkanya di bawah 50, berarti dunia usaha pesimistis dan cenderung kontraktif. Tidak ada ekspansi.

Sudah lima bulan PMI manufaktur Indonesia berada di bawah 50. Kelesuan dunia usaha membuat impor terus turun, yang menandakan investasi masih lemah.


Lebih apes lagi, impor barang konsumsi malah naik. Barang konsumsi adalah yang habis tanpa menimbulkan nilai tambah, tidak melahirkan perputaran uang di sistem perekonomian.

Ini menimbulkan pertanyaan. Apakah pengusaha kini lebih memilih menjadi pedagang ketimbang menjadi industriawan?

Kalau benar, maka ini berbahaya. Indonesia hanya akan menjadi pasar produk konsumsi dari luar, tidak bisa membangun industri dalam negeri. Penciptaan lapangan kerja semakin terbatas, sehingga angka kemiskinan bisa naik.

Oleh karena itu, sebenarnya masalah yang datang dari rilis BPS hari ini bukan cuma soal tekornya neraca perdagangan. Data ini juga memberi konfirmasi bahwa investasi ke depan masih suram.

[Gambas:Video CNBC]



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular