
Hantu CAD Gentayangan, Pak Jokowi Berani Gak Ya Naikkan BBM?
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
05 December 2019 13:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak pernah bosan menyinggung masalah defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang sudah sejak lama menghantui perekonomian Indonesia.
Di depan puluhan bos perusahaan kelas kakap, Jokowi tak ragu mengakui bahwa masalah tersebut sampai saat ini memang belum bisa terselesaikan dengan baik. Catatan Jokowi, sudah 10 tahun masalah ini hinggap di perekonomian negara.
"Ini yang berpuluh-puluh tahun tidak pernah bisa selesaikan agenda menurunkan CAD. Tidak pernah selesai," tegas Jokowi kala berbicara dalam CEO Forum 2019 beberapa waktu lalu.
Jokowi memandang, penyebab defisit transaksi berjalan tak lepas dari ketergantungan Indonesia terhadap harga komoditas strategis, serta lonjakan impor terutama di sektor minyak dan gas maupun bahan baku.
Jokowi bahkan menyinggung sejumlah oknum-oknum tertentu yang dianggap menganggu upaya pemerintah menekan impor minyak. Mereka, kata eks Gubernur DKI Jakarta itu, 'doyan' sekali mengimpor minyak.
"Saya tahu yang impor siapa sekarang. Yang sudah saya sampaikan kalau ada yang mau ganggu, pasti akan saya gigit orang itu. Enggak akan selesai kalau masalah ini tidak kita selesaikan," tegas Jokowi.
Jokowi memang tak merinci pernyataannya, tapi yang pasti selama ini yang mengimpor migas umumnya dilakukan oleh Pertamina. Namun, yang dimaksudnya tentu adalah orang-orang yang punya 'tangan' untuk membuat situasi Pertamina harus bergantung pada impor.
Indonesia selama ini menyandang status sebagai negara net importir minyak sejak 2004, yang menandakan bahwa Indonesia lebih banyak membeli minyak ketimbang menjualnya.
Saat ini kapasitas lifting minyak dalam negeri baru di angka 744 ribu barel per hari (bpd) sedangkan kebutuhan minyak bisa mencapai 1,5 juta bpd. Ada gap yang besar, sehingga membuat Indonesia harus membuka keran impor.
Bahkan, Indonesia tak hanya mengimpor minyak mentah saja, melainkan juga mengimpor produk kilang yang merupakan olahan minyak mentah seperti BBM, meskipun angkanya sudah mulai menurun seiring dengan implementasi B20.
Namun tetap saja impor migas membuat neraca dagang migas Indonesia tekor cukup dalam secara keseluruhan. Pada kuartal III-2019, Bank Indonesia (BI) mencatat neraca migas mengalami defisit US$ 2,17 miliar.
Pos ini yang menjadi salah satu biang kerok transaksi berjalan Indonesia, sebuah neraca yang menggambarkan pasokan devisa dari ekspor impor barang jasa mengalami defisit, bahkan sejak 2011 silam.
BERIKUTNYA: BERANIKAH JOKOWI NAIKKAN HARGA BBM?
Jokowi memang telah menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan masalah CAD dengan melakukan berbagai transformasi ekonomi. Mulai dari meningkatkan ekspor dan produk subtitusi impor serta menarik devisa dari pengembangan destinasi wisata prioritas.
Cara tersebut mungkin saja efektif untuk menekan impor migas, yang diharapkan memberantas hantu yang bernama CAD. Namun, tak dapat dipungkiri, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengatasi masalah ini.
"Dengan transformasi ekonomi, saya yakin kita bisa menyelesaikan ini maksimal 4 tahun. Kita akan selesaikan yang namanya CAD kita," tegas Jokowi.
Namun sebenarnya, ada satu cara praktis yang bisa dilakukan Jokowi untuk meyelesaikan masalah CAD. Mau tidak mau, suka tidak suka, harga BBM memang harus naik meskipun kebijakan tersebut sangat sulit dilakukan.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri pernah menyebut bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak menjadi solusi jitu untuk mengatasi persoalan defisit perdagangan migas yang menjadi salah satu biang kerok defisit neraca perdagangan.
Jokowi, pun sejatinya pernah melakukan hal serupa. Tercatat pada November 2014, pemerintahan menaikkan harga Premium dari Rp 6.500/liter menjadi Rp 8.500/liter. Sementara harga Solar naik dari Rp 5.500/liter menjadi Rp 7.500/liter.
Namun, eks Walikota Solo itu ternyata sedikit melunak dua bulan kemudian. Pada Januari 2015, pemerintah sedikit memangkas harga Premium menjadi Rp 7.600/liter sementara Solar menjadi Rp 7.250/liter.
Di 2016, seiring dengan turunnya harga minyak dunia Jokowi kembali menurunkan harga BBM sebagai bonus tahun baru. Harga bensin premium turun jadi Rp 7.150 untuk wilayah Jakarta dan di luar Jawa menjadi Rp 6.950 per liter. Sementara Solar Rp 5.950 per liter.
Lalu, tengah tahun 2016 harga bensin kembali diturunkan oleh Jokowi. Untuk Premium menjadi Rp 6.550 per liter dan Solar Rp 5.150 per liter. Sejak saat itu, harga Premium dan Solar belum ada kenaikan lagi meskipun harga minyak sempat merangkak dan menyentuh level US$ 77 per barel.
Harga BBM Dipastikan Tak Naik
Saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menegaskan bahwa sampai saat ini tidak ada rencana pemerintah untuk menyesuaikan harga bensin.
Arifin memahami, bahwa masalah impor migas memang kerap menjadi perhatian utama Jokowi. Namun sejauh ini, pemerintah sama sekali tidak memasukkan opsi menaikkan BBM untuk mengatasi hal tersebut.
"Aman. Aman. Enggak ada [penyesuaian harga BBM]," kata Arifin, Kamis (4/12/2019).
Harus diakui, dalam jangka pendek, kenaikan harga BBM biasanya justru akan menaikkan angka kemiskinan. Apalagi bila kenaikan harganya cukup signifikan.
Misalnya pada 2005. Saat itu pemerintahan yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menaikkan harga BBM bersubsidi sampai lebih dari 100%. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan anggaran negara dari ancaman pembengkakan defisit.
Dampak kenaikan harga BBM biasanya tidak langsung dan dibagi dalam beberapa tahap (round). Biasanya, dampak totalnya baru terlihat sekitar setahun sesudahnya.
Ketika harga BBM naik pada 2005, angka kemiskinan 2006 melonjak signifikan. Pada 2005, angka kemiskinan adalah 15,97% dan pada 2016 naik menjadi 17,75%.
Namun, kini bola ada di tangan Jokowi. Pemerintah sudah tau betul apa yang harus dilakukan untuk mengusir hantu bernama CAD.
(gus/gus) Next Article Jokowi : 'Hantu' CAD Pergi, Kita Merdeka!
Di depan puluhan bos perusahaan kelas kakap, Jokowi tak ragu mengakui bahwa masalah tersebut sampai saat ini memang belum bisa terselesaikan dengan baik. Catatan Jokowi, sudah 10 tahun masalah ini hinggap di perekonomian negara.
"Ini yang berpuluh-puluh tahun tidak pernah bisa selesaikan agenda menurunkan CAD. Tidak pernah selesai," tegas Jokowi kala berbicara dalam CEO Forum 2019 beberapa waktu lalu.
Jokowi bahkan menyinggung sejumlah oknum-oknum tertentu yang dianggap menganggu upaya pemerintah menekan impor minyak. Mereka, kata eks Gubernur DKI Jakarta itu, 'doyan' sekali mengimpor minyak.
"Saya tahu yang impor siapa sekarang. Yang sudah saya sampaikan kalau ada yang mau ganggu, pasti akan saya gigit orang itu. Enggak akan selesai kalau masalah ini tidak kita selesaikan," tegas Jokowi.
Jokowi memang tak merinci pernyataannya, tapi yang pasti selama ini yang mengimpor migas umumnya dilakukan oleh Pertamina. Namun, yang dimaksudnya tentu adalah orang-orang yang punya 'tangan' untuk membuat situasi Pertamina harus bergantung pada impor.
Indonesia selama ini menyandang status sebagai negara net importir minyak sejak 2004, yang menandakan bahwa Indonesia lebih banyak membeli minyak ketimbang menjualnya.
Saat ini kapasitas lifting minyak dalam negeri baru di angka 744 ribu barel per hari (bpd) sedangkan kebutuhan minyak bisa mencapai 1,5 juta bpd. Ada gap yang besar, sehingga membuat Indonesia harus membuka keran impor.
Bahkan, Indonesia tak hanya mengimpor minyak mentah saja, melainkan juga mengimpor produk kilang yang merupakan olahan minyak mentah seperti BBM, meskipun angkanya sudah mulai menurun seiring dengan implementasi B20.
Namun tetap saja impor migas membuat neraca dagang migas Indonesia tekor cukup dalam secara keseluruhan. Pada kuartal III-2019, Bank Indonesia (BI) mencatat neraca migas mengalami defisit US$ 2,17 miliar.
Pos ini yang menjadi salah satu biang kerok transaksi berjalan Indonesia, sebuah neraca yang menggambarkan pasokan devisa dari ekspor impor barang jasa mengalami defisit, bahkan sejak 2011 silam.
BERIKUTNYA: BERANIKAH JOKOWI NAIKKAN HARGA BBM?
![]() |
Jokowi memang telah menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan masalah CAD dengan melakukan berbagai transformasi ekonomi. Mulai dari meningkatkan ekspor dan produk subtitusi impor serta menarik devisa dari pengembangan destinasi wisata prioritas.
Cara tersebut mungkin saja efektif untuk menekan impor migas, yang diharapkan memberantas hantu yang bernama CAD. Namun, tak dapat dipungkiri, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengatasi masalah ini.
"Dengan transformasi ekonomi, saya yakin kita bisa menyelesaikan ini maksimal 4 tahun. Kita akan selesaikan yang namanya CAD kita," tegas Jokowi.
Namun sebenarnya, ada satu cara praktis yang bisa dilakukan Jokowi untuk meyelesaikan masalah CAD. Mau tidak mau, suka tidak suka, harga BBM memang harus naik meskipun kebijakan tersebut sangat sulit dilakukan.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri pernah menyebut bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak menjadi solusi jitu untuk mengatasi persoalan defisit perdagangan migas yang menjadi salah satu biang kerok defisit neraca perdagangan.
Jokowi, pun sejatinya pernah melakukan hal serupa. Tercatat pada November 2014, pemerintahan menaikkan harga Premium dari Rp 6.500/liter menjadi Rp 8.500/liter. Sementara harga Solar naik dari Rp 5.500/liter menjadi Rp 7.500/liter.
Namun, eks Walikota Solo itu ternyata sedikit melunak dua bulan kemudian. Pada Januari 2015, pemerintah sedikit memangkas harga Premium menjadi Rp 7.600/liter sementara Solar menjadi Rp 7.250/liter.
Di 2016, seiring dengan turunnya harga minyak dunia Jokowi kembali menurunkan harga BBM sebagai bonus tahun baru. Harga bensin premium turun jadi Rp 7.150 untuk wilayah Jakarta dan di luar Jawa menjadi Rp 6.950 per liter. Sementara Solar Rp 5.950 per liter.
Lalu, tengah tahun 2016 harga bensin kembali diturunkan oleh Jokowi. Untuk Premium menjadi Rp 6.550 per liter dan Solar Rp 5.150 per liter. Sejak saat itu, harga Premium dan Solar belum ada kenaikan lagi meskipun harga minyak sempat merangkak dan menyentuh level US$ 77 per barel.
Harga BBM Dipastikan Tak Naik
Saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menegaskan bahwa sampai saat ini tidak ada rencana pemerintah untuk menyesuaikan harga bensin.
Arifin memahami, bahwa masalah impor migas memang kerap menjadi perhatian utama Jokowi. Namun sejauh ini, pemerintah sama sekali tidak memasukkan opsi menaikkan BBM untuk mengatasi hal tersebut.
"Aman. Aman. Enggak ada [penyesuaian harga BBM]," kata Arifin, Kamis (4/12/2019).
Harus diakui, dalam jangka pendek, kenaikan harga BBM biasanya justru akan menaikkan angka kemiskinan. Apalagi bila kenaikan harganya cukup signifikan.
Misalnya pada 2005. Saat itu pemerintahan yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menaikkan harga BBM bersubsidi sampai lebih dari 100%. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan anggaran negara dari ancaman pembengkakan defisit.
Dampak kenaikan harga BBM biasanya tidak langsung dan dibagi dalam beberapa tahap (round). Biasanya, dampak totalnya baru terlihat sekitar setahun sesudahnya.
Ketika harga BBM naik pada 2005, angka kemiskinan 2006 melonjak signifikan. Pada 2005, angka kemiskinan adalah 15,97% dan pada 2016 naik menjadi 17,75%.
Namun, kini bola ada di tangan Jokowi. Pemerintah sudah tau betul apa yang harus dilakukan untuk mengusir hantu bernama CAD.
(gus/gus) Next Article Jokowi : 'Hantu' CAD Pergi, Kita Merdeka!
Most Popular