Pak Jokowi, Besok Data CAD Diumumkan! Jeblok Lagi Gak Ya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 November 2019 15:41
Pak Jokowi, Besok Data CAD Diumumkan! Jeblok Lagi Gak Ya?
Presiden Indonesia Joko Widodo di JICT Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (17/3). (CNBC Indonesia/Samuel Pablo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berulang kali mengemukakan kegeraman terhadap sebuah isu di perekonomian Indonesia. Isu tersebut adalah defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).

Keluhan terakhir Jokowi disampaikan pada akhir Oktober. Jokowi menyoroti impor Indonesia yang dinilainya terlalu besar sehingga membebani neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan. Misalnya impor produk-produk hasil minyak dan petrokimia.

"Tolong dilihat barang-barang yang masih kita impor ini agar dicarikan industri yang bisa memproduksi ini sehingga substitusi barang-barang impor itu bisa kita lakukan. Termasuk di dalamnya kayak petrokimia, kilang minyak juga saya kira bisa. Tolong ini betul-betul dikawal agar kita bisa segera kejar defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan," tegas Jokowi.



Besok, Jokowi dan seluruh rakyat Indonesia akan menemukan jawabannya. Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal III-2019. Salah satu pos di NPI adalah transaksi berjalan.

Apakah kinerja transaksi berjalan kuartal III-2019 membaik? Apakah masih terjadi defisit di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)?


Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan valas dari pos ini dinilai lebih stabil, lebih tahan lama, sehingga mampu menopang stabilitas nilai tukar.

Masalahnya, transaksi berjalan Indonesia terus mencatat defisit sejak 2011. Ini membuat rupiah rentan berfluktuasi cenderung melemah kala terjadi guncangan di perekonomian, sebab mata uang Tanah Air bergantung kepada pasokan devisa dari investasi portofolio di sektor keuangan yang bisa datang dan pergi kapan saja.



Saat rupiah 'bergoyang' akibat devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang seret, maka BI tentu tidak akan tinggal diam. BI tentu akan melakukan upaya untuk 'mengangkat' rupiah baik melalui intervensi harian sampai ke level kebijakan.

Salah satu kebijakan yang sangat mungkin ditempuh BI kala rupiah terus tertekan adalah menaikkan suku bunga acuan. Harapannya adalah arus modal portofolio akan masuk karena tergiur suku bunga tinggi, sehingga bisa menutup lubang di transaksi berjalan. Ini yang terjadi tahun lalu, di mana BI menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali.



Namun ketika suku bunga acuan naik, sama saja dengan mengerem ekspansi ekonomi. Sebab kenaikan suku bunga acuan hampir pasti akan direspons dengan kenaikan suku bunga perbankan. Suku bunga perbankan tinggi tentu menghambat korporasi dan rumah tangga dalam berekspansi, yang ujungnya membuat ekonomi terancam mengalami stagnasi bahkan kontraksi.

Jadi selama transaksi berjalan masih defisit, maka ada beban bagi ekonomi Indonesia untuk tumbuh. Sebab saat ada upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, yang menyebabkan impor naik (terutama untuk bahan baku dan barang modal), maka defisit transaksi berjalan bakal melebar dan direspons dengan kenaikan suku bunga acuan. Lingkaran setan ini harus diputus agar ekonomi Indonesia bisa tumbuh tinggi.

Baca: Sri Mulyani: CAD Jadi Penghalang Tumbuhnya Ekonomi RI



Pada kuartal II-2019, defisit transaksi berjalan Indonesia adalah 3,04% PDB. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 2,6%.

Pada kuartal III-2019, yang datanya diumumkan besok, ada harapan defisit transaksi berjalan membaik. Memang mustahil untuk berbalik surplus, tetapi kemungkinan bisa di bawah 3% PDB.

Dari sisi perdagangan barang, neraca perdagangan Indonesia pada kuartal III-2019 secara keseluruhan membukukan defisit US$ 140 juta. Memang minus, tetapi membaik ketimbang kuartal sebelumnya yang tekor sampai US$ 1,74 miliar.



Data Badan Pusat Statistik (BPS) memberi konfirmasi adanya perbaikan ekspor barang dan jasa. Pada kuartal III-2019, ekspor barang dan jasa tumbuh 0,02% year-on-year (YoY). Walau tumbuh alakadarnya, tetapi lebih baik ketimbang kuartal II-2019 yang terkontraksi (minus) 1,81%.

Jadi net ekspor sudah berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Walau konsumsi rumah tangga stagnan, belanja pemerintah cuma tumbuh 0,98%, dan investasi melambat, tetapi net ekspor yang positif membuat ekonomi Indonesia mampu tumbuh 5,02% pada kuartal III-2019.


Oleh karena itu, wajar kalau defisit transaksi berjalan pada kuartal III-2019 bisa di bawah 3%. Sebab memang ada perbaikan ketimbang kuartal sebelummya.

"Kami memperkirakan defisit transaksi berjalan pada kuartal III-2019 melandai menjadi 2,7% PDB," kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

Helmi Arman, Ekonom Citi, bahkan lebih optimistis lagi. Dia memperkirakan defisit transaksi berjalan akan berada di 2,5% PDB. "Transaksi berjalan akan membaik ditopang pemulihan neraca berjalan," sebutnya.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular