RI Butuh Iron Man, Eh Tony Stark, untuk Tuntaskan CAD

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 November 2019 06:27
RI Butuh Iron Man, Eh Tony Stark, untuk Tuntaskan CAD
Foto: Ilustrasi aktivitas bongkar muat di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepertinya gemas betul dengan satu 'penyakit' di perekonomian Indonesia yang bernama defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Sudah sulit untuk dihitung berapa kali eks gubernur DKI Jakarta itu menyinggung masalah ini.

Teranyar, Jokowi menyoroti impor Indonesia yang dinilainya terlalu besar sehingga membebani neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan. Misalnya impor produk-produk hasil minyak dan petrokimia.

"Tolong dilihat barang-barang yang masih kita impor ini agar dicarikan industri yang bisa memproduksi ini sehingga substitusi barang-barang impor itu bisa kita lakukan. Termasuk di dalamnya kayak petrokimia, kilang minyak juga saya kira bisa. Tolong ini betul-betul dikawal agar kita bisa segera kejar defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan," tegas Jokowi.


Pada periode Januari-September 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor migas Indonesia mencapai US$ 15,86 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 10,01 miliar di antaranya (63,11%) adalah impor hasil minyak yang tentunya bisa dikurangi jika kilang minyak dan industri petrokimia domestik kuat.

Apabila keduanya belum terbangun, maka kemungkinan defisit transaksi berjalan akan terus menghantui perekonomian Indonesia. Ini menjadi beban ketika Indonesia ingin memacu pertumbuhan ekonomi lebih kencang lagi.


Pasalnya, mendorong pertumbuhan ekonomi dalam kondisi saat ini pasti akan berdampak kepada peningkatan ekspor karena itu tadi, industri dalam negeri belum bisa memenuhi kenaikan permintaan. Akibatnya, neraca perdagangan dan transaksi berjalan bakal mengalami defisit.

Situasi seperti ini akan membuat nilai tukar rupiah sangat rentan melemah, karena minimnya pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa. Kalau rupiah sampai melemah, apalagi cukup dalam, maka Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuan untuk menarik arus modal asing di sektor keuangan alias hot money.

Inilah yang terjadi pada tahun lalu. Nilai tukar rupiah melemah 5,97% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang memaksa BI menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali.



Namun, kenaikan suku bunga acuan berarti mengerem ekspansi dunia usaha dan rumah tangga karena suku bunga kredit akan ikut naik. Tanpa ekspansi konsumsi dan investasi, hasilnya adalah perlambatan ekonomi.


Defisit transaksi berjalan memang masalah pelik yang obatnya adalah mengubah struktur perekonomian. Indonesia harus berubah dari sekadar produsen dan penjual sumber daya alam menjadi industriawan.

Masalahnya, pertumbuhan industri pengolahan terus dalam tren melambat. Sudah cukup lama laju pertumbuhan industri manufaktur selalu di bawah pertumbuhan ekonomi umum.

 

Oleh karena itu, Indonesia harus mengubah deindustrialisasi menjadi reindustrialisasi. Upaya ini butuh segalanya, mulai dari waktu, tenaga, pikiran, dan tentu saja uang.


Well, orang bilang superhero bisa menyelesaikan semua masalah. Namun apakah superhero juga mampu mengusir 'hantu' defisit transaksi berjalan di Indonesia?

Kalau superhero seperti Thor atau Captain America tentu sulit (atau bahkan mustahil) mampu menyelamatkan Indonesia dari defisit transaksi berjaalan. Thor bisa memanggil petir, Captain America punya fisik yang kuat. Bagaimana kekuatan-kekuatan itu ditranslasikan menjadi modal untuk membangun industri manufaktur?



Namun sebenarnya superhero (andai mereka ada) mungkin bisa menjadi jawaban. Indonesia butuh Iron Man. Eh, bukan Iron Man, tetapi alter ego-nya yaitu Anthony Edward 'Tony' Stark. Sang miliuner, jenius, playboy, filantropis.

Menurut taksiran Forbes, Tony Stark punya kekayaan senilai US$ 9,3 miliar. Lalu apakah Tony Stark harus menyerahkan kekayaannya untuk membayari impor Indonesia?

Bukan begitu caranya, bung. Tony Stark adalah pemilik Stark Industries, perusahaan dengan banyak unit usaha yang bergerak di berbagai bidang. Undang saja anak-anak usaha Stark Industries untuk berinvestasi di Indonesia sehingga impor bisa dikurangi.

Kebetulan Stark Industries punya beberapa anak usaha yang cocok untuk ikut membangun industri manufaktur di Indonesia. Misalnya di industri petrokimia yang disebut Jokowi, Stark Industries membawahi Geffen-Meyer Chemical yang saat ini (menurut Marvel Universe) memiliki kawasan industri petrokimia di daerah Manhattan, New York.

Stark Industries juga punya anak usaha Barstow Electronics, yang bergerak di bidang produksi alat dan komponen produk elektronik. Kalau perusahaan yang berbasis di California ini berinvestasi di Indonesia, harapannya impor produk elektronik bisa berkurang. Sepanjang Januari-September 2019, BPS mencatat impor mesin dan alat elektronik mencapai US$ 14,29 miliar.

Namun, perlu diingat bahwa ini semua hanya angan-angan. Tidak ada Tony Stark dan Stark Industries di dunia nyata. Kalau pun ada, tidak semudah itu membuat mereka tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Bisa saja mereka lebih memilih Vietnam.


Oleh karena itu, pemerintah lah yang harus bekerja untuk menarik investasi ke Indonesia. Investasi yang datang juga sebaiknya berkualitas, yang menghasilkan nilai tambah. Jangan lagi-lagi hanya mengeksploitasi sumber daya alam.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular