Aturan di RI Ribet Bukan Main Bisa Bikin Pening

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
27 September 2019 09:12
Aturan di RI Ribet Bukan Main Bisa Bikin Pening
Foto: Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas (ratas) beserta jajaran terkait dalam rangka mengupayakan ekosistem dunia usaha yang mendukung investasi di Kantor Presiden, Jakarta, pada Rabu, (25/9/2019). (BPMI Setpres/Kris)
Jakarta, CNBC Indonesia - Internal pemerintah mengakui persoalan kerumitan aturan di Indonesia masih jadi momok yang belum terselesaikan. Di sisi lain masalah perizinan yang rumit dari aturan yang ribet juga makin merugikan posisi Indonesia dalam bersaing dengan negara lain dalam memperebutkan arus investasi masuk untuk menggerakkan ekonomi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution angkat bicara soal ruwetnya aturan perizinan yang kerap kali dikeluhkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa waktu terakhir.

Salah satu pangkal masalahnya, yaitu penyerahan kewenangan perundang-undangan kepada pemerintah daerah maupun kepada para menteri. Padahal, seharusnya hal ini berada di bawah langsung kendali presiden.

"Izin itu pelaksanaannya dari kewenangan presiden, sebagai kepala pemerintahan," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Rabu (25/9/2019).



Ia mencontohkan Undang-Undang (UU) 23/2014 tentang pemerintah daerah. Dalam payung hukum tersebut, ada sejumlah kewenangan yang disentralisasikan kepada pemerintah daerah. Keruwetan ini, tak hanya soal kewenangan di internal pemerintah, tapi terasa sampai diimplementasikan di lapangan termasuk perizinan di daerah.
 
Kalangan pengusaha juga mengakui keruwetan dalam perizinan berusaha termasuk di daerah. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat, membeberkan sejumlah perizinan yang harus diselesaikan pengusaha ketika akan membuka pabrik di daerah. Mereka harus pusing 'tujuh keliling' menghadapi ribetnya perizinan.

"Untuk mendirikan pabrik di daerah itu perlu izin lokasi. Izin lokasi ini punya syarat, yaitu izin tetangga. Radius (pabrik dan pemukiman) 1 km," kata Ade kepada CNBC Indonesia, Kamis (26/9/2019).

Untuk mendapat izin tetangga, Ade mengatakan pengusaha diharuskan untuk mendapat semua tandatangan warga. Ini menjadi kendala lantaran pengusaha perlu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

"Kalau tanda tangan seluruh warga, Anda tahu sendiri biayanya akan membengkak karena tidak ada yang gratis," tambahnya.

Selanjutnya, pengusaha harus memperoleh izin gangguan (Hinderordonnantie/HO), izin dari RT/RW dan Kelurahan. Setelah itu, izin lokasi baru bisa diproses.

"Tentu lokasinya itu sendiri harus memenuhi tata ruang (RTRW), kalau di luar RTRW, sudah pasti ditolak walaupun kita sudah memiliki izin yang lengkap," ucap Ade.

Setelah itu, pengusaha akan mengurus izin mendirikan bangunan (IMB), sertifikat laik fungsi (SLF) yang berbiaya besar, izin industri, izin perdagangan, izin pembuangan limbah, izin petir, izin limbah B3, dan izin untuk wanita yang bekerja di malam hari.

Perizinan semacam ini, kata Ade, hampir terjadi di semua Kabupaten dan Kota. Mayoritas pabrik tekstil berdiri di Pulau Jawa, sebagian di Pulau Sumatera.

"Sebetulnya, izin-izin itu asalnya rekomendasi, cuma diubah menjadi izin. Kalau rekomendasi kan hanya secuil kertas, tidak perlu macam-macam," katanya

Persoalan birokrasi perizinan yang berbelit-belit dan ribet masih jadi masalah di Tanah Air. Ribetnya mengurus perizinan bikin investor seringkali jadi pertimbangan investor untuk menentukan investasi.

Keribetan ini bisa jadi ancaman yang serius. Padahal penanaman modal asing (PMA) bisa jadi potensi untuk menciptakan lapangan kerja dan peningkatan nilai tambah hingga produk berbasis ekspor, efeknya bisa positif dalam mengatasi persoalan defisit perdagangan hingga defisit transaksi berjalan.

Masalahnya, dibanding dengan negara Asia Tenggara lainnya Indonesia termasuk yang prosedur dan waktu perizinan mendirikan bisnisnya banyak dan lama.



Menurut World Competitiveness Report yang dirilis oleh WEF tahun 2018, butuh waktu 25 hari untuk mengurusi perizinan. Jumlah prosedur yang harus dilalui ada 11 prosedur. Jumlah tersebut lebih banyak dari rata-rata negara Asia Tenggara lainnya yang hanya 8,6 prosedur.

Dalam urusan jumlah prosedur yang harus dilalui untuk mendirikan usaha, Indonesia masih kalah dengan Brunei, Laos, Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. Sementara itu apabila dilihat dari sisi waktu yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan Indonesia kalah dari Brunei, Malaysia, Singapura, serta Vietnam.

Kalau kita lihat Singapura misalnya, mereka menawarkan prosedur yang sangat efisien. Untuk mendirikan usaha di Malaysia hanya butuh melalui 3 prosedur dan dalam waktu yang sangat singkat yaitu 2,5 hari saja. Di Malaysia dan Vietnam pun prosedur dan lamanya mengurus perizinan relatif lebih singkat dibandingkan di Indonesia.

Bila suatu negara memiliki stabilitas politik yang baik, maka negara tersebut dapat dikategorikan sebagai negara yang aman untuk berinvestasi. Stabilitas politik memang jadi faktor paling fundamental dalam berinvestasi. Ya buat apa kita investasi kalau risikonya terlalu tinggi.

Selain masalah stabilitas dan keamanan aspek legal dan regulasi atau aturan serta ukuran pasar juga hal yang benar-benar investor pertimbangkan. Kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari filosofi bisnis yaitu efisiensi. Ketika regulasinya jelas, birokrasi perizinan tidak berbelit-belit dan ukuran pasarnya besar, tentu akan meningkatkan profitabilitas bisnis sehingga bagi hasil ke investor jadi lebih maksimal.



Ternyata lagi-lagi kalau faktor fundamentalnya tidak terpenuhi atau terganggu, konsekuensinya investor akan kabur. Masalah seperti kondisi makroekonomi yang tidak stabil serta ketidakpastian hukum dan politik jadi penyumbang terbesar mengapa investor cabut selain adanya perubahan strategi perusahaan. Faktor lain yang juga bikin gerah investor asing yaitu peningkatan biaya material dan tenaga kerja serta pencabutan insentif fiskal.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular