Bau Tak Sedap Subsidi Pupuk di Tangan BPK dan KPK

Hidayat Setiaji & Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
09 September 2019 18:09
Bau Tak Sedap Subsidi Pupuk di Tangan BPK dan KPK
Ilustrasi Lahan Pertanian (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pagu subsidi pupuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) rata-rata naik 10,96% selama 2014-2019. Walau anggarannya cenderung naik, tetapi bukan berarti tanpa masalah.

Pada 2014, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat realisasi subsidi pupuk sebesar Rp 21,05 triliun atau naik 19,47% dibandingkan tahun sebelumnya. Lima tahun kemudian, anggaran subsidi pupuk naik menjadi Rp 29,5 triliun.



Subsidi pupuk yang cenderung naik berkebalikan dengan luas lahan pertanian yang malah menyusut. Pada 2013, Badan Pusat Statistik mencatat luas total lahan pertanian di Indonesia adalah 14,16 juta hektare dan pada 2017 berkurang menjadi 12,02 juta hektare.




Bisa jadi salah satu penyebab ketidaksinkronan antara luas lahan pertanian dengan anggaran subsidi pupuk adalah persoalan standar operasional yang belum kunjung tersusun dengan baik. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengungkapkan itu dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I-2018.

"Satker (Satuan Kerja)/Dinas Provinsi tidak memiliki data penyaluran pupuk bersubsidi yang akuntabel untuk menentukan alokasi dan/atau realokasi pupuk bersubsidi di tingkat kabupaten/kota dalam provinsi, karena laporan verifikasi dan validasi tingkat kecamatan langsung dikirim ke Dirjen di Kementerian Pertanian," demikian sebut laporan auditor negara.

Sementara pada IHPS Semester I-2017, BPK menemukan permasalahan yang berbeda. Disebutkan bahwa belum terdapat prosedur rekonsiliasi pada akhir tahun antara Kementan dan produsen pupuk untuk memastikan volume penyaluran pupuk bersubsidi. Permasalahan tersebut mengakibatkan pelaksanaan belanja subsidi kurang optimal dan pelaporannya kurang informatif.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Bahkan subsidi pupuk turut mengundang perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 2017, komisi anti-rasywah membuat kajian khusus mengenai pos belanja yang satu ini.
 
Dalam Laporan Hasil Kajian Kebijakan Subsidi di Bidang Pertanian 2017, KPK memandang kebijakan subsidi untuk pertanian terutama pupuk masih belum efektif karena berbagai permasalahan yang ada. Belum efektifnya kebijakan subsidi pupuk menurut KPK datang dari berbagai tahap mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan.

Di level perencanaan, mekanisme perencanaan alokasi pupuk bersubsidi tidak mendukung implementasi kebijakan yang efektif dan efisien. Di level pelaksanaan, mekanisme penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP) pupuk bersubsidi masih membuka celah transaksional dan belum efisien pada produsen.

Selain itu meningkatnya beban keuangan negara sebagai akibat tertundanya pembayaran subsidi pemerintah kepada produsen dalam hal ini PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) juga menjadi faktor lain penyebab belum efisiennya kebijakan subsidi pupuk ini. Sedangkan di level pengawasan, pemerintah masih belum optimal dalam mengawasi keberjalanan program subsidi pupuk.

Bagi Kementerian Pertanian, pola perencanaan yang berjalan tidak memberikan ruang untuk menyesuaikan antara usulan kebutuhan komoditas subsidi dengan alokasi riil anggaran subsidi yang diterimanya. Dalam Program Pupuk Bersubsidi, pasca keluarnya pagu definitif anggaran, Kementerian Pertanian menyerahkan detail pembagian alokasi komoditas subsidi kepada tingkat kabupaten/kota.

Sayangnya, penetapan alokasi pupuk di level kabupaten/kota tidak menjangkau sampai level kelompok tani/petani. Penetapan yang dilakukan oleh bupati/walikota hanya membagi pupuk sampai kedalaman kecamatan.

xKPK

Adanya jurang perencanaan dengan anggaran yang dilakukan memunculkan setidaknya ada empat masalah. Pertama, tanpa panduan yang tegas dan transparan ke publik, pengurus kelompok tani rentan memanipulasi penerimaan pupuk di tingkat petani. Kedua, adanya kesenjangan di tingkat usulan dan jatah alokasi acapkali menimbulkan persepsi kelangkaan.

Ketiga, ekspektasi berlebih dari kelompok tani kepada BUMN pelaksana Public Service Obligantion (PSO) sehingga distributor rentan menerima tuntutan untuk menyediakan alokasi pupuk melebihi pasokan riil yang diterima.

Keempat, terkait persoalan integritas data penyaluran pupuk bersubsidi di tingkat kelompok tani mengingat pemerintah pusat mengacu pada data produsen dan juga pemerintah daerah. Data keduanya seringkali menghasilkan informasi dengan peruntukan informasi yang relatif berbeda.

xKPK


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Di level pelaksanaan, masalah muncul dengan adanya mekanisme HPP yang terdiri dari HPP awal yang ditetapkan Menteri Pertanian dan HPP audited hasil evaluasi BPK.

Dengan adanya dua jenis HPP ini berpotensi memunculkan adanya celah transaksional. Celah transaksional dalam proses evaluasi kerap muncul akibat komponen HPP pupuk bersubsidi relatif umum dan bersifat multitafsir.

xKPK

Mekanisme koreksi HPP juga dapat mendorong perilaku tidak efisien dengan terbukanya potensi item yang dibebankan terhadap komponen HPP pupuk bersubsidi. Produsen berpotensi untuk membebankan HPP pupuk untuk komersil ke HPP untuk pupuk bersubsidi.

x

Masalah lain yaitu adalah penundaan pembayaran subsidi pemerintah kepada produsen pupuk di lingkungan PT PIHC. Pasalnya dengan tertundanya pembayaran subsidi dapat mengakibatkan terganggunya arus kas perusahaan juga beban bunga yang ditanggung perusahaan.

xKPK


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Peningkatan HPP pupuk bersubsidi juga diakibatkan oleh meningkatnya harga gas yang diterima produsen. Gas merupakan komponen penting dalam pembuatan pupuk, sehingga peningkatan harga gas akan meningkatkan HPP pupuk.

Foto: xKPK

xKPK


Di level pengawasan, belum optimalnya mekanisme pengawasan program subsidi pupuk belum melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan. Penyusun maupun pelaksana kebijakan belum sepenuhnya melakukan upaya-upaya untuk memastikan implementasi program-program subsidi mencapai hasil sesuai tujuan yang ditetapkan.

Adapun rekomendasi yang diusulkan KPK melalui laporan tersebut antara lain:
  • Kementerian Pertanian mendesain pola penyaluran pupuk bersubsidi langsung kepada petani.
  • Pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Keuangan menetapkan single HPP sebagai acuan maupun evaluasi pembayaran.
  • Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menyelesaikan tunggakan pembayaran subsidi.
  • PIHC meningkatkan peran supervisi atas kegiatan pengadaan dan pengawasan penyaluran di tingkat anak perusahaan.
  • Kementerian pertanian meningkatkan partisipasi masyarakat guna mengawasi pelaksanaan program subsidi.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular