Duh! Subsidi Pupuk Naik Terus, Buat Apa Saja Ya?

Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
09 September 2019 13:13
Duh! Subsidi Pupuk Naik Terus, Buat Apa Saja Ya?
Ilustrasi Pupuk Urea
Jakarta, CNBC Indonesia - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 mengalokasikan subsidi pupuk senilai Rp 29,5 triliun. Subsidi itu digunakan untuk alokasi pupuk bersubsidi 9,55 juta ton.

Berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2019, anggaran untuk pupuk bersubsidi sebesar 9,55 juta ton meliputi 4,1 juta ton urea, 850.000 ton SP 36, 1,05 juta ton ZA, 2,55 juta ton NPK, dan 1 juta ton pupuk organik.

Volume pupuk bersubsidi naik dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 47/2018, volume pupuk bersubsidi adalah 8,87 juta ton dengan rincian 3,82 juta ton pupuk urea, 779.000 ton SP 36, 996.000 ton ZA, 2,226 juta ton NPK, dan 948.000 ton pupuk organik.

Perbedaan tersebut terjadi karena alokasi DIPA berdasarkan serapan tahun-tahun sebelumnya, sedangkan Permentan berdasarkan perhitungan luas lahan. Alokasi pupuk bersubsidi Permentan jauh lebih sedikit karena terjadi penurunan luas lahan pertanian.

Masalah pupuk bersubsidi memang hal yang hangat diperbincangkan terutama di kalangan petani. Alasan utama pemberian pupuk bersubsidi adalah untuk mendongkrak produktivitas pertanian. 

Namun bukan berarti kebijakan ini mulus tanpa ada kendala. Contohnya, pada 2017 terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi di sejumlah daerah. Padahal produksi dan stok pupuk telah dihitung mencukupi. Ternyata ada indikasi oknum distributor nakal dan juga penjualan pupuk bersubsidi yang tidak tepat sasaran.


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pertanian merupakan sektor yang strategis untuk negara tropis seperti Indonesia yang dianugerahi keanekaragaman hayati yang tinggi. Sampai saat ini, sektor pertanian memang masih menjadi penggerak ekonomi Indonesia. 

Pada kuartal II-2019, sektor ini berkontribusi sekitar 13% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Menempati peringkat kedua, hanya kalah dari industri pengolahan yang menyumbang sekitar 19%.



Mengingat pentingnya sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia, maka pupuk bersubsidi diharapkan dapat mendongkrak produktivitas pertanian. Sayangnya, masih banyak masalah yang perlu diselesaikan supaya kebijakan ini lebih terasa dampaknya.

Terkait pupuk bersubsidi, pemerintah (dalam hal ini Kementan) masih perlu fokus pada perhitungan alokasi jumlah pupuk bersubsidi tiap tahunnya. Pasalnya masih terdapat ketidaksesuaian data Kementan dan data lapangan.

Sebagai contoh menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak 2013-2018, terdapat penyusutan lahan pertanian sebesar 689.519 hektare. Sedangkan setelah dikonfirmasi ke pemerintah daerah di seluruh Indonesia penyusutan lahan mencapai 865.063 hektare pada periode yang sama. 

Ke depan, harus ada perbaikan sistem dalam hal sinkronisasi pencatatan luas lahan pertanian dan koordinasi antar lembaga yang lebih baik (Kementan, Kementerian ATR/BPN, BPS, Pemerintah Daerah,dll). Jika hal terus berlanjut, maka besar kemungkinan bahwa kebijakan yang diambil pun tidak tepat sasaran.

Masalah juga datang dari jalur distribusi pupuk bersubsidi. Peningkatan dan pengetatan pengawasan terutama pada distributor serta segmen petani yang disasar mutlak diperlukan agar kasus kelangkaan pupuk bersubsidi tidak terjadi lagi seperti pada 2017. Pemerintah juga harus menindak tegas oknum-oknum yang menyelewengkan pupuk bersubsidi sehingga berpotensi besar menyebabkan alokasi pupuk bersubsidi yang tidak tepat sasaran. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Alokasi dan realisasi anggaran untuk pupuk bersubsidi juga naik tiap tahun. Sejak 2011-2015 tercatat alokasi anggaran untuk subsidi pupuk naik sebesar 81,4%. Sedangkan realisasi anggaran di periode yang sama nilainya naik 59,4%.




Walaupun alokasi tiap tahun semakin tinggi, tetapi luas lahan baku pertanian semakin menurun. Data yang dilansir dari BPS menyebutkan bahwa sejak 2013-2018, luas lahan baku pertanian turun sebesar 8,4% dari awalnya 7,75 juta hektare pada 2013 menjadi 7,1 juta hektare pada 2018.



Dilansir dari data Bank Dunia, pada 2017 sebanyak 31,5% luas lahan Indonesia digunakan untuk aktivitas pertanian atau setara dengan 570.000 km2. Sebagai perbandingan, menurut Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Study (CIPS), Thailand memiliki lahan pertanian seluas 221.000 km2 (43,3% dari total lahan). Sementara, Australia dan China menggunakan masing-masing 4 juta km2 dan 5 juta km2, lebih dari 50% luas lahan mereka. 

Artinya luas lahan pertanian per kapita orang Indonesia pada tahun 2017 adalah 0,22 hektare/orang. Diperoleh dari 570 juta hektare dibagi jumlah penduduk Indonesia diasumsikan 260 juta orang. Angka ini masih kalah dengan luas lahan pertanian per kapita Thailand yang mencapai 0,32 hektare/orang, Australia 16,67 hektare/orang, atau China 0,35 hektare/orang.

Hal ini jadi masalah yang serius, pemerintah harus benar-benar memperhatikan aktivitas konversi lahan. Dengan derasnya arus pembangunan infrastruktur akhir-akhir ini, banyak lahan yang dikonversi menjadi jalan, bandara dan infrastruktur lain.

Proses pembebasan lahan juga menawarkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dari pendapatan dari bertani. Ditambah 45% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor jasa.

Pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang dapat menstimulasi aktivitas pertanian di samping dengan upaya perbaikan melalui intensifikasi. Pasalnya jika lahan pertanian terus menurun dan produktivitas pertanian naik tidak signifikan, akan ada ancaman di sektor pangan Indonesia mengingat populasi penduduk Indonesia bertambah setiap tahunnya.


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)



Jika dibandingkan dengan China dan Thailand laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata dalam 5 tahun terakhir lebih tinggi di angka 1,22% per tahun. Sedangkan Thailand di angka 0,37%, China di angka 0,51% dan Australia paling tinggi di angka 1,55%.



Dengan kondisi ini, tampaknya swasembada pengan Indonesia akan sulit tercapai. Belum lagi peningkatan anggaran untuk pupuk bersubsidi yang naik tiap tahun tetapi lahan yang semakin sempit, ini akan membahayakan kedepannya. 

Pasalnya pengetahuan petani di Indonesia dengan dosis penggunaan pupuk harus diperhatikan. Jangan sampai petani menggunakan pupuk melebihi dosis yang direkomendasikan yang dapat merusak kesuburan tanah jangka panjang dan berakibat pada praktik pertanian yang tidak berkelanjutan.Edukasi dan sosialisasi ke masyarakat harus ditingkatkan. Tidak hanya edukasi dan sosialisasi, peningkatan pengawasan penggunaan pupuk juga harus jadi agenda.

Kesimpulannya, masih banyak pekerjaan rumah untuk membenahi sektor pertanian. Tanpa perbaikan, kenaikan anggaran subsidi pupuk tidak akan cukup untuk menggenjot pertumbuhan sektor ini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular