Padahal Turki Anggota G20, Kok Bisa Resesi Ya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 September 2019 06:43
Padahal Turki Anggota G20, Kok Bisa Resesi Ya?
Ilustrasi Warga di Depan Bendera Turki (REUTERS/Goran Tomasevic)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa situasi ekonomi global sedang penuh dengan tantangan. Risiko resesi membesar dan bisa melanda kapan saja.

"Ekonomi global telah mengalami perlambatan dan kemungkinan terjadinya resesi itu semakin besar. Itu harus kita antisipasi, hadapi, dan kita harapkan langkah-langkah antisipatif sudah benar-benar konkret kita siapkan dan berharap, perlambatan pertumbuhan ekonomi dan dampak dari resesi bisa kita hindarkan," demikian jelas Jokowi kala membuka rapat terbatas di kantor presiden kemarin.


Jokowi sama sekali tidak salah. Eks wali kota Surakarta itu memang pantas khawatir karena hawa resesi ekonomi global sepertinya sudah semakin kencang.

Bahkan ada salah satu negara emerging market anggota G20 yang sudah jatuh ke jurang resesi, yaitu Turki. Pada kuartal II-2019, ekonomi Turki terkontraksi alias negatif 1,5% year-on-year (YoY). Pada kuartal sebelumnya, kontraksi ekonomi Turki lebih dalam yaitu minus 2,4% YoY.

Definisi resesi adalah kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun secara YoY pada tahun yang sama. Mengacu pada definisi ini, Turki sudah masuk ke jurang resesi.


Sepertinya kepercayaan investor kepada Turki belum sepenuhnya pulih setelah mengalami krisis mata uang setahun lalu. Sepanjang 2018, nilai tukar lira turki anjlok 35,99% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Memasuki 2019, depresiasi lira mulai agak jinak. Namun sejinak-jinaknya, lira masih melemah 7,24%.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari sisi politik, sikap Turki yang berseberangan dengan AS membuat Negeri Kebab rawan mendapatkan sanksi ekonomi. Misalnya kala Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memutuskan untuk keluar dari program pengadaan pesawat tempur F-25 made in USA.

Erdogan bahkan 'bermain mata' dengan Rusia dengan membeli senjata dari Negeri Beruang Merah. Salah satunya sistem peluru kendali S-400.

Kongres AS yang berang dengan sikap Turki mendesak Presiden Donald Trump untuk menjatuhkan sanksi. Berdasarkan aturan Countering America's Adversaries Through Sanctions Act, pemerintah AS bisa menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang berbisnis dengan Iran, Korea Utara, dan tentu saja Rusia.

Sanksinya bisa berupa larangan bagi lembaga keuangan AS untuk menyalurkan kredit kepada entitas di Turki. Sampai yang paling ekstrem benar-benar menutup total akses entitas dari Turki untuk masuk ke pasar dan sistem keuangan Negeri Adidaya.

Hingga saat ini, Trump belum menjatuhkan sanksi apa-apa kepada Turki. Namun jika hubungan kedua negara memburuk, maka sanksi siap dijatuhkan dan Turki bisa kesulitan mengakses pembiayaan.

Sejak tahun lalu, Turki sudah merasakan pahitnya murka AS. Aluminium dan baja Turki yang masuk ke Negeri Paman Sam dikenai bea masuk masing-masing 50% dan 20%.

Baca: Ekonomi Turki Makin Tertekan, Lira Anjlok karena Bea Impor AS

Padahal baja adalah salah satu produk andalan ekspor Turki. Pada 2018, ekspor baja Turki bernilai US$ 11,6% dan menempati peringkat ketiga di bawah kendaraan bermotor (US$ 26,8 miliar) dan mesin (US$ 15,8 miliar).


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Selain itu, investor juga kurang nyaman dengan karakter kepemimpinan Erdogan yang cenderung sentralistis. Misalnya, Erdogan sering kali mengintervensi kebijakan moneter bank sentral, termasuk dalam penentuan suku bunga acuan.

"Sayangnya di negara saya, suku bunga acuan adalah 24%. Ini tidak bisa dibiarkan. Suku bunga tinggi adalah biangnya setan," tegas Erdogan pada Juni lalu, seperti diberitakan Reuters.

Well, Trump juga sering 'menyerang' The Federal Reserve/The Fed (Bank Sentral AS). Namun yang dilakukan Erdogan lebih dari sekadar mencuit di Twitter.

Baca: Karena Suku Bunga, Trump: Masalah Terbesar AS Adalah The Fed

Pada Juli, Erdogan memecat Gubernur Bank Sentral Turki (TCMB) Murat Cetinkaya dan menggantinya dengan Murat Uysal. Setelah Uysal menduduki kursi TCMB-1, suku bunga acuan dijatuhkan sampai 425 basis poin (bps).



Penentuan kebijakan moneter atas dasar intervensi dan ancaman seperti ini membuat kredibilitas bank sentral dipertanyakan. Investor tentu tidak akan memberikan apresiasi.

Tidak hanya di sektor keuangan, pengusaha di sektor riil juga masih enggan melakukan ekspansi. Sejak April 2018, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi IHS Markit-Istanbul Chamber of Industry Turki selalu di bawah 50. Artinya, para industriawan Turki tidak ekspansif, yang ada malah kontraktif.



"Tingkat pemesanan baru masih melambat, meski ada sinyal permintaan membaik. Kondisi pasar, baik di Turki maupun internasional, masih menantang sehingga menyebabkan pemesanan baru dan ekspor masih melambat. Produksi juga otomatis ikut melambat.

"Ada tambahan tenaga kerja pada Agustus seiring sinyal potensi kenaikan output. Namun secara umum, jumlah tenaga kerja tidak berubah karena perlambatan yang sudah terjadi selama 12 bulan terakhir," papar keterangan tertulis IHS Markit.

Ancaman sanksi AS, intervensi pemerintah yang kelewatan, sampai kelesuan di sektor riil menjadi beberapa contoh penyebab resesi ekonomi di Turki. Takutnya, resesi Turki akan membuat dunia menyoroti dan meragukan performa ekonomi negara emerging market lain. Kalau ini sudah terjadi, maka Indonesia bisa kena getahnya.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular