Fragile Five Masih Rapuh, Tapi Tak Serapuh 6 Tahun Lalu

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 September 2019 13:01
Fragile Five Masih Rapuh, Tapi Tak Serapuh 6 Tahun Lalu
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Turki sudah resmi memasuki masa resesi. Kemudian negara-negara seperti Indonesia, India, Brasil, dan Afrika Selatan pun mengalami perlambatan ekonomi.

Pada kuartal II 2019, India membukukan pertumbuhan ekonomi 5% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 5,8%.

Sejak kuartal II-2018, pertumbuhan ekonomi Negeri Bollywood memang terus melambat. Angka kuartal II-2019 menjadi yang terlemah sejak kuartal I-2013.

Sedangkan Afrika Selatan mencatatkan pertumbuhan ekonomi 0,9% YoY pada kuartal II-2019. Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang stagnan, tetapi mencapai 1% saja sepertinya susah sekali.




Turki, Indonesia, India, Brasil, dan Afrika Selatan adalah negara-negara yang pada 2013 dikenal sebagai The Fragile Five. Negara-negara ini adalah emerging markets dengan potensi ekonomi yang luar biasa. Namun pada saat yang sama, mereka sangat rentan 'digoyang'.

Baca: Fragile Five Kembali?

Istilah The Fragile Five diperkenalkan oleh Morgan Stanley. Menurut Morgan Stanley, Indonesia cs dinilai rentan karena punya fundamental yang relatif rapuh. Fundamental itu diukur dari keseimbangan eksternal yaitu neraca pembayaran.

Di Indonesia dkk, neraca pembayaran begitu tergantung kepada arus modal di sektor keuangan alias hot money yang sangat fluktuatif. Uang panas ini bisa datang dan pergi sesuka hati, sulit untuk diharapkan bisa berdimensi jangka panjang.

Ketergantungan terhadap hot money disebabkan oleh transaksi berjalan (current account) yang masih defisit. Artinya, pasokan valas yang berjangka panjang dari ekspor-impor barang dan jasa seret.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Oleh karena itu, mata uang negara-negara The Fragile Five tertekan hebat ketika pasar keuangan global berguncang. Misalnya ketika periode Taper Tantrum pada 2013, masa-masa kegalauan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed yang membuat kesal seluruh dunia.

Selepas krisis keuangan 2007-2008, The Fed mulai berpikir bahwa perekonomian Negeri Paman Sam mulai pulih. Dilemparlah wacana dimulainya proses pengetatan kebijakan moneter, yaitu dengan menaikkan suku bunga acuan yang kala itu sudah mendekati 0%.

Ternyata masa kegalauan itu berlangsung selama nyaris tiga tahun, karena Federal Funds Rate baru dinaikkan pada Desember 2015. Selama 2013 sampai akhir 2015, The Fed maju-mundur dan melempar berbagai sinyal yang membuat pelaku pasar bingung bukan main.

Selama masa kebingungan itu, investor memburu dolar AS dengan harapan The Fed segera menaikkan suku bunga acuan. Arus modal terkonsentrasi di mata uang Negeri Adidaya, negara lain hanya kebagian remah rengginang.


Nah, karena The Fragile Five itu sangat tergantung kepada arus modal di pasar keuangan, mata uang mereka melemah sangat dalam. Mau bagaimana lagi, dari rupee India hingga rand Afrika Selatan memang kekurangan 'darah' karena devisa dari transaksi berjalan tidak bisa diharapkan.

Pada 2013, rupee anjlok 12,38% di hadapan dolar AS. Sementara lira Turki terdepresiasi 20,39%, real Brasil amblas 15,35%, rand Afrika Selatan ambrol 23,61%, dan rupiah melemah 26,27%. Luar biasa...



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Kini, resesi Turki dan perlambatan ekonomi di Indonesia, India, Brasil, dan Afrika Selatan membuat ingatan pelaku pasar kembali ke istilah The Fragile Five. Akan tetapi, sepertinya kondisi saat ini berbeda dengan 2013.

Mata uang negara-negara tersebut sudah lebih baik. Memang mayoritas masih melemah, tetapi tidak separah 2013.

Rupiah sejak awal tahun hingga kemarin menguat 1,56%. Sedangkan rupee melemah 3,46%, real minus 5,52%, lira terdepresiasi 7,15%, dan rand melemah 3,09%.

Bagaimana dengan transaksi berjalan, biang kerok dari masalah di negara-negara The Fragile Five? Well, memang masih defisit tetapi lagi-lagi ada perbaikan.

Indonesia, misalnya. Pada 2013, defisit transaksi berjalan Indonesia begitu parah hingga mencapai kisaran 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sekarang transaksi berjalan Indonesia masih tekor, tetapi sudah membaik di kisaran minus 2-3% PDB.

Turki lebih impresif lagi. Pada 2013, defisit transaksi berjalan Negeri Kebab sempat menyentuh kisaran 7% PDB dan pada kuartal II-2019 berbalik surplus 1,3% PDB.



Perbaikan di sisi transaksi berjalan membuat tekanan mata uang Indonesia cs berkurang. Bahkan rupiah berhasil menguat cukup signifikan.

Salah satu yang membuat Indonesia punya daya tawar tinggi adalah kenaikan peringkat utang dari Standard and Poor's (S&P). Pada Mei lalu, S&P menaikkan rating Indonesia dari BBB- menjadi BBB. Artinya, risiko gagal bayar (default) di Indonesia semakin minim.

Kenaikan rating itu sukses membuat arus modal asing membanjiri Indonesia. Sejak awal tahun, investor asing membukukan beli bersih Rp 57,91 triliun di pasar saham. Sementara kepemilikan asing di obligasi pemerintah bertambah Rp 117,5 triliun.

Baca: S&P Upgrade Rating RI, Siap-siap Kebanjiran Dana Asing

Jadi, oke negara-negara The Fragile Five masih mengalami masalah. Turki resesi, dan 'kawan-kawannya' mengalami perlambatan ekonomi. Mata uang negara-negara ini pun mayoritas masih melemah, dan transaksi berjalannya kebanyakan masih defisit.

The Fragile Five boleh masih rentan. Akan tetapi, kerentanan mereka sudah berkurang dibandingkan 2013. Sudah ada perbaikan di sisi transaksi berjalan, depresiasi mata uang pun tidak separah saat itu.

The Fragile Five memang masih rapuh. Namun rasanya tidak serapuh enam tahun lalu.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular