Rupiah Loyo di Kurs Tengah BI, Terlemah Asia di Pasar Spot

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2019 10:35
Rupiah Loyo di Kurs Tengah BI, Terlemah Asia di Pasar Spot
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun kesulitan menghadapi dolar AS di perdagangan pasar spot. 

Pada Kamis (15/8/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.296. Rupiah melemah 0,44% dibandingkan posisi hari sebelumnya. 

Sedangkan di pasar spot, rupiah juga melemah di hadapan greenback. Pada pukul 10:13 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.280 di mana rupiah melemah 0,28% dibandingkan posisi penutupan perdagangan kemarin. 

Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,14%. Seiring perjalanan, depresiasi rupiah semakin dalam meski dolar AS masih bisa dijaga di bawah Rp 14.300. 


Rupiah tidak sendirian di zona merah, berbagai mata uang utama Asia pun melemah terhadap dolar AS. Yuan China, yen Jepang, ringgit Malaysia, dan peso Filipina menjadi teman rupiah. 

Namun depresiasi 0,28% membuat rupiah sah menjadi yang terlemah di Asia. Padahal kemarin performa rupiah begitu apik sehingga menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning. 


Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:17 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Faktor domestik membuat beban rupiah semakin berat sehingga menjadi penghuni dasar klasemen mata uang utama Asia. Investor tengah menantikan rilis data perdagangan yang rencananya keluar pada pukul 11:00 WIB. 

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor pada Juli terkontraksi alias turun 11,59% year-on-year (YoY) dan impor negatif 19,38% YoY. Sementara neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 384,5 juta. 

Defisit neraca perdagangan kali terakhir terjadi pada April, bahkan kala itu sangat dalam mencapai US$ 2,29 miliar. Kemudian pada Mei, neraca perdagangan mampu berbalik surplus US$ 210 juta dan sebulan kemudian kembali surplus US$ 200 juta. 




Jika neraca perdagangan Juli benar-benar defisit, maka akan menjadi beban dalam mengarungi perekonomian kuartal III. Kalau sepanjang kuartal III neraca perdagangan terus-terusan tekor, maka defisit transaksi berjalan bakal semakin dalam dan menyulitkan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan penurunan suku bunga acuan. 

Penurunan suku bunga adalah salah satu 'obat kuat' bagi perekonomian nasional. Ekspor tidak bisa diandalkan karena dampak perang dagang AS-China yang merusak rantai pasok global. Belum lagi ada ancaman resesi yang tentu akan menurunkan permintaan. 

Oleh karena itu, satu-satunya harapan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi domestik. Caranya adalah melalui penurunan suku bunga acuan yang diharapkan mampu menekan suku bunga kredit perbankan sehingga ada ruang untuk ekspansi ekonomi. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Padahal beban rupiah sudah berat karena sentimen eksternal yang tidak mendukung. Hari ini, sentimen ancaman resesi menghantui pikiran pelaku pasar setelah serangkaian data ekonomi yang mengecewakan. 

Kemarin, produksi industri China periode Juli tercatat tumbuh 4,8% YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 6,3% dan merupakan laju terlemah sejak Februari 2002. 

Sementara penjualan ritel di Negeri Tirai Bambu pada Juli tumbuh 7,6% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 9,8% YoY. Kemudian penjualan mobil di China pada Juli turun 2,6% YoY, padahal bulan sebelumnya melonjak 17,2% YoY. 

Beralih ke Jerman, pertumbuhan ekonomi Negeri Panser pada kuartal II-2019 adalah 0,4% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,9% YoY.  


Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa, perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi satu benua. Benar saja, pada kuartal II-2019 ekonomi Zona Euro tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,2% YoY. 

Isu resesi menebal kala imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS mengalami inversi, yield jangka pendek lebih tinggi dari jangka panjang. Inversi berarti yield obligasi jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Investor meminta jaminan lebih untuk instrumen jangka pendek karena merasa ada risiko besar di depan mata. 


Jadi, jangan berharap banyak pasar keuangan Indonesia bakal kedatangan arus modal yang deras hari ini. Akibatnya, sangat sulit bagi rupiah untuk kembali menguat. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular