Pak Jokowi Jangan Lupa, Ekspor Non Migas RI Loyo Banget Loh..

Taufan Adharsyah & Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
09 July 2019 13:15
Pak Jokowi Jangan Lupa, Ekspor Non Migas RI Loyo Banget Loh..
Foto: CNBC Indonesia TV
Jakarta, CNBC Indonesia- Defisit migas lagi-lagi jadi sorotan gegara Presiden Joko Widodo menyinggung soal neraca dagang yang masih tekor hingga Mei kemarin.

Jokowi mewanti-wanti para menteri, terutama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno yang dinilai punya peranan kunci untuk mengendalikan impor migas yang masih bernilai jumbo.

"Coba dicermati angka-angka ini, kenapa impor begitu sangat tinggi. Migas naiknya gede sekali, hati-hati di migas Pak Menteri ESDM, Bu Menteri BUMN yang terkait dengan ini," singgung Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (8/7/2019).



Jokowi memang tidak keliru menilai bahwa defisit migas masih jadi penyumbang terbesar defisit neraca dagang RI. Sebab, menurut data Badan Pusat Statistik impor bahan bakar ini masih menyentuh angka US$ 2,9 miliar di Mei 2019.

Tapi, apa bisa sektor migas terus-terusan disalahkan jadi biang kerok defisit neraca dagang?
Perlu dicatat, Indonesia alami defisit migas sejak 2002. Artinya sudah berjalan selama 17 tahun sampai saat ini, agak kurang adil jika dalam setahun dua tahun disebut sebagai biang kerok defisit neraca dagang.

Kondisi migas RI di mana konsumsi lebih besar dibanding produksi sudah terjadi puluhan tahun, ibarat penyakit sudah masuk tahap kronis dan perlu pengobatan jangka panjang.

Berdasar data Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), produksi minyak RI terus merosot dari capaian emas di atas 1 juta barel sehari kini hanya di kisaran 750 ribu barel sehari. Sementara konsumsi BBM bisa mencapai 1,6 juta barel sehari.



Untuk memenuhi kebutuhan ini, RI harus impor minyak berupa crude (minyak mentah) dan BBM hingga 800 ribu sehari.

Selama bertahun-tahun, alih-alih mengatasi masalah ini yang terjadi adalah pembiaran dengan; tak berjalannya pembangunan dan perluasan kilang, kebijakan diversifikasi energi yang bergonta-ganti, menerapkan harga murah untuk bensin beroktan rendah, dan hal lainnya yang membuat konsumsi makin tinggi.

Mengutip pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani April lalu, tingginya konsumsi memang tak bisa dihindari. "Kita tidak bisa meminta supaya volume turun, karena dengan pertumbuhan di atas 5% tidak akan mungkin permintaan terhadap energi turun, pasti akan meningkat," katanya saat dijumpai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sementara dari sisi produksi terus melorot karena tak ada eksplorasi blok raksasa dan temuan cadangan migas masih minim. Dari hulu ke hilir, perbaikan ini tak bisa dilakukan dalam masa satu atau dua tahun saja.



Upaya Turunkan Impor
Dari Januari hingga Mei 2019, impor migas tercatat menurun hingga 23,77%. Lebih lanjut penurunan impor migas disebabkan oleh turunnya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah US$1.766,5 juta (43,74%), hasil minyak US$1.043,1 juta (15,44%), dan gas US$24,2 juta (2,14%).

Tetapi, memang masih terdapat impor yang naik signifikan yakni minyak mentah atau crude sebanyak 38,59%. Impor minyak mentah di Mei 2019 naik jadi US$ 645,4 juta dari sebelumnya US$ 465,7.

Sebenarnya sektor migas sudah menunjukkan perbaikan. Pada empat bulan pertama tahun 2019, defisit neraca migas hanya sebesar US$ 2,76 miliar, sudah mengecil dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$ 3,89 miliar.

Kinerja perdagangan sektor migas terbantu oleh kebijakan pemerintah yang memberi mandat kepada Pertamina untuk membeli minyak jatah ekspor hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sebelumnya dijual ke luar negeri.

Selain itu, program B20 juga berperan mengurangi kebutuhan minyak impor. Sebagai informasi, dalam program B20, pemerintah memberi ketentuan porsi campuran sawit pada biosolar sebanyak 20%.

Namun demikian hingga saat ini Indonesia masih menjadi negara net-importir minyak untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Dengan begitu neraca migas kemungkinan besar akan selalu defisit.

Bicara neraca dagang, sebenarnya harus dilihat untuk seluruh sektor. Bukan cuma migas, tapi juga non migas. 

Kondisi defisit migas pastinya dialami oleh-oleh negara maju yang minim sumber daya alam untuk energi mereka, sebut saja Jepang, Korea Selatan, dan China. 
Namun, apakah ketiga negara tersebut alami defisit dagang? Jawabannya adalah tidak, karena kinerja manufaktur dan sektor non migas lainnya di negara tersebut dapat diandalkan. 



Mengutip BPS, ekspor pada bulan Mei 2019 juga mengalami kontraksi, yaitu sebesar 8,99% YoY. Penurunan ekspor paling tajam memang terjadi pada sektor migas, yaitu sebesar 31,77% YoY menjadi US$ 1,11 miliar.

Penurunan ekspor migas masih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang mana mulai Februari 2019 mewajibkan Pertamina untuk membeli minyak mentah hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). 
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah ekspor industri pengolahan yang ikut terkontraksi sebesar 4,99% YoY menjadi US$ 11,16 miliar. Itu karena sektor industri pengolahan merupakan penyumbang terbesar atau 92,44% dari total ekspor Indonesia. 

Menurut kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, penurunan ekspor utamanya disebabkan oleh penurunan harga sejumlah komoditas. Tercatat harga batu bara anjlok hingga 21,9%, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melemah 14,7%. Dua komoditas tersebut merupakan penyumbang terbesar ekspor Indonesia.

Total nilai ekspor pada periode Januari-Mei 2019 tercatat hanya sebesar US$ 68,46 miliar mengalami penurunan hingga 8,61% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Lagi-lagi, itu disebabkan karena faktor harga komoditas ekspor utama Indonesia yang berjatuhan.  Pasalnya, dilihat dari volumenya, ekspor minyak sawit masih mengalami pertumbuhan sebesar 7,9% YoY. Namun faktor harga menyebabkan nilai ekspor minyak nabati (yang didominasi sawit) anjlok hingga 17,87% YoY.



Hal serupa juga dialami oleh komoditas batu bara, dengan penurunan nilai ekspor mencapai 4,59% YoY.
Penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, contohnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian yang berperan dalam menstimulasi kegiatan ekspor-impor barang. Sayangnya, kinerja ekspor Indonesia sejak tahun 2014 lebih sering mengalami kontraksi ketimbang ekspansi. Tengok saja pertumbuhan ekspor sepanjang 2014-2016 yang selalu negatif alias berkurang dari tahun ke tahun.

Bahkan pada periode tersebut pertumbuhan ekspor Indonesia merupakan yang paling kecil dibanding empat negara ASEAN lainnya (Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand).
Loyonya ekspor Indonesia, punya kaitan dengan kinerja manufaktur sebagai entitas yang dapat memberi nilai tambah pada produk-produk karya anak bangsa.

Namun lagi-lagi gairah industri manufaktur dalam negeri tampak makin lesu dari tahun ke tahun.
Tercatat sejak tahun 2007, porsi industri manufaktur terhadap PDB Indonesia telah turun hingga 6,9 persen poin. Meskipun memang, sebagian besar negara ASEAN mengalami penurunan porsi manufaktur pada PDB di periode yang sama, namun Indonesia merupakan yang paling parah.



Artinya, dibanding negara-negara tetangga, ketergantungan Indonesia terhadap barang mentah meningkat paling pesat. Barang-barang ekspor Indonesia semakin didominasi oleh produk-produk mentah tanpa nilai tambah. Tidak heran apabila di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian, ekspor Indonesia sangat sulit untuk digenjot.

Apalagi saat harga komoditas anjlok, ekspor sudah pasti akan terdampak signifikan.
Manufaktur yang semakin lesu juga memberikan dampak pada impor. Pasalnya bila produk-produk dari dalam negeri kalah saing dengan produk buatan luar negeri, maka impor menjadi hal yang sulit untuk diredam. Mau bagaimanapun juga, kebutuhan masyarakat akan terus tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu.
 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular