
Pak Jokowi Jangan Lupa, Ekspor Non Migas RI Loyo Banget Loh..
Taufan Adharsyah & Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
09 July 2019 13:15

Bicara neraca dagang, sebenarnya harus dilihat untuk seluruh sektor. Bukan cuma migas, tapi juga non migas.
Kondisi defisit migas pastinya dialami oleh-oleh negara maju yang minim sumber daya alam untuk energi mereka, sebut saja Jepang, Korea Selatan, dan China. Namun, apakah ketiga negara tersebut alami defisit dagang? Jawabannya adalah tidak, karena kinerja manufaktur dan sektor non migas lainnya di negara tersebut dapat diandalkan.
Mengutip BPS, ekspor pada bulan Mei 2019 juga mengalami kontraksi, yaitu sebesar 8,99% YoY. Penurunan ekspor paling tajam memang terjadi pada sektor migas, yaitu sebesar 31,77% YoY menjadi US$ 1,11 miliar.
Penurunan ekspor migas masih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang mana mulai Februari 2019 mewajibkan Pertamina untuk membeli minyak mentah hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Hal yang perlu menjadi perhatian adalah ekspor industri pengolahan yang ikut terkontraksi sebesar 4,99% YoY menjadi US$ 11,16 miliar. Itu karena sektor industri pengolahan merupakan penyumbang terbesar atau 92,44% dari total ekspor Indonesia.
Menurut kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, penurunan ekspor utamanya disebabkan oleh penurunan harga sejumlah komoditas. Tercatat harga batu bara anjlok hingga 21,9%, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melemah 14,7%. Dua komoditas tersebut merupakan penyumbang terbesar ekspor Indonesia.
Total nilai ekspor pada periode Januari-Mei 2019 tercatat hanya sebesar US$ 68,46 miliar mengalami penurunan hingga 8,61% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Lagi-lagi, itu disebabkan karena faktor harga komoditas ekspor utama Indonesia yang berjatuhan. Pasalnya, dilihat dari volumenya, ekspor minyak sawit masih mengalami pertumbuhan sebesar 7,9% YoY. Namun faktor harga menyebabkan nilai ekspor minyak nabati (yang didominasi sawit) anjlok hingga 17,87% YoY.
Hal serupa juga dialami oleh komoditas batu bara, dengan penurunan nilai ekspor mencapai 4,59% YoY. Penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, contohnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian yang berperan dalam menstimulasi kegiatan ekspor-impor barang. Sayangnya, kinerja ekspor Indonesia sejak tahun 2014 lebih sering mengalami kontraksi ketimbang ekspansi. Tengok saja pertumbuhan ekspor sepanjang 2014-2016 yang selalu negatif alias berkurang dari tahun ke tahun.
Bahkan pada periode tersebut pertumbuhan ekspor Indonesia merupakan yang paling kecil dibanding empat negara ASEAN lainnya (Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand). Loyonya ekspor Indonesia, punya kaitan dengan kinerja manufaktur sebagai entitas yang dapat memberi nilai tambah pada produk-produk karya anak bangsa.
Namun lagi-lagi gairah industri manufaktur dalam negeri tampak makin lesu dari tahun ke tahun. Tercatat sejak tahun 2007, porsi industri manufaktur terhadap PDB Indonesia telah turun hingga 6,9 persen poin. Meskipun memang, sebagian besar negara ASEAN mengalami penurunan porsi manufaktur pada PDB di periode yang sama, namun Indonesia merupakan yang paling parah.
Artinya, dibanding negara-negara tetangga, ketergantungan Indonesia terhadap barang mentah meningkat paling pesat. Barang-barang ekspor Indonesia semakin didominasi oleh produk-produk mentah tanpa nilai tambah. Tidak heran apabila di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian, ekspor Indonesia sangat sulit untuk digenjot.
Apalagi saat harga komoditas anjlok, ekspor sudah pasti akan terdampak signifikan. Manufaktur yang semakin lesu juga memberikan dampak pada impor. Pasalnya bila produk-produk dari dalam negeri kalah saing dengan produk buatan luar negeri, maka impor menjadi hal yang sulit untuk diredam. Mau bagaimanapun juga, kebutuhan masyarakat akan terus tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu.
(gus/dob)
Kondisi defisit migas pastinya dialami oleh-oleh negara maju yang minim sumber daya alam untuk energi mereka, sebut saja Jepang, Korea Selatan, dan China. Namun, apakah ketiga negara tersebut alami defisit dagang? Jawabannya adalah tidak, karena kinerja manufaktur dan sektor non migas lainnya di negara tersebut dapat diandalkan.
Mengutip BPS, ekspor pada bulan Mei 2019 juga mengalami kontraksi, yaitu sebesar 8,99% YoY. Penurunan ekspor paling tajam memang terjadi pada sektor migas, yaitu sebesar 31,77% YoY menjadi US$ 1,11 miliar.
Penurunan ekspor migas masih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang mana mulai Februari 2019 mewajibkan Pertamina untuk membeli minyak mentah hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Hal yang perlu menjadi perhatian adalah ekspor industri pengolahan yang ikut terkontraksi sebesar 4,99% YoY menjadi US$ 11,16 miliar. Itu karena sektor industri pengolahan merupakan penyumbang terbesar atau 92,44% dari total ekspor Indonesia.
Menurut kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, penurunan ekspor utamanya disebabkan oleh penurunan harga sejumlah komoditas. Tercatat harga batu bara anjlok hingga 21,9%, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melemah 14,7%. Dua komoditas tersebut merupakan penyumbang terbesar ekspor Indonesia.
Total nilai ekspor pada periode Januari-Mei 2019 tercatat hanya sebesar US$ 68,46 miliar mengalami penurunan hingga 8,61% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Lagi-lagi, itu disebabkan karena faktor harga komoditas ekspor utama Indonesia yang berjatuhan. Pasalnya, dilihat dari volumenya, ekspor minyak sawit masih mengalami pertumbuhan sebesar 7,9% YoY. Namun faktor harga menyebabkan nilai ekspor minyak nabati (yang didominasi sawit) anjlok hingga 17,87% YoY.
Hal serupa juga dialami oleh komoditas batu bara, dengan penurunan nilai ekspor mencapai 4,59% YoY. Penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, contohnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian yang berperan dalam menstimulasi kegiatan ekspor-impor barang. Sayangnya, kinerja ekspor Indonesia sejak tahun 2014 lebih sering mengalami kontraksi ketimbang ekspansi. Tengok saja pertumbuhan ekspor sepanjang 2014-2016 yang selalu negatif alias berkurang dari tahun ke tahun.
Bahkan pada periode tersebut pertumbuhan ekspor Indonesia merupakan yang paling kecil dibanding empat negara ASEAN lainnya (Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand). Loyonya ekspor Indonesia, punya kaitan dengan kinerja manufaktur sebagai entitas yang dapat memberi nilai tambah pada produk-produk karya anak bangsa.
Namun lagi-lagi gairah industri manufaktur dalam negeri tampak makin lesu dari tahun ke tahun. Tercatat sejak tahun 2007, porsi industri manufaktur terhadap PDB Indonesia telah turun hingga 6,9 persen poin. Meskipun memang, sebagian besar negara ASEAN mengalami penurunan porsi manufaktur pada PDB di periode yang sama, namun Indonesia merupakan yang paling parah.
Artinya, dibanding negara-negara tetangga, ketergantungan Indonesia terhadap barang mentah meningkat paling pesat. Barang-barang ekspor Indonesia semakin didominasi oleh produk-produk mentah tanpa nilai tambah. Tidak heran apabila di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian, ekspor Indonesia sangat sulit untuk digenjot.
Apalagi saat harga komoditas anjlok, ekspor sudah pasti akan terdampak signifikan. Manufaktur yang semakin lesu juga memberikan dampak pada impor. Pasalnya bila produk-produk dari dalam negeri kalah saing dengan produk buatan luar negeri, maka impor menjadi hal yang sulit untuk diredam. Mau bagaimanapun juga, kebutuhan masyarakat akan terus tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular