
Impor Membaik Tapi Ekspor Migas Masih Loyo, Kenapa?
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
09 July 2019 14:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor migas lagi-lagi 'disentil' oleh Presiden Joko Widodo lantaran dinilai masih membukukan kinerja yang belum memuaskan. Jokowi kembali menyinggung soal defisit migas yang masih tinggi.
Kinerja perdagangan sektor migas sebenarnya sudah mulai membaik, terbantu oleh kebijakan pemerintah yang memberi mandat kepada Pertamina untuk membeli minyak jatah ekspor hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sebelumnya dijual ke luar negeri. Hanya saja, hal ini juga membuat ekspor migas mengalami penurunan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Mei 2019, ekspor minyak mentah RI tercatat sebesar US$ 167,9 juta, turun 5,48% (mtm) dan turun 69,63% (yoy). Sementara ekspor hasil minyak US$ 55,8 juta atau turun 52,57% (mtm) dan turun 73,64% (mtm).
Adapun, PT Pertamina (Persero) mencatat hingga Juni 2019 telah membeli 116,9 ribu barel per hari minyak mentah atau crude.
Angka ini naik signifikan sejak diinstruksikan pada 2018 lalu, yang awal-awalnya bisa menyerap 12,8 ribu barel sehari.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menjelaskan, volume minyak tersebut merupakan hasil kesepakatan dengan 37 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia.
"Dengan mengambil minyak mentah dari dalam negeri, maka semakin mendukung upaya kami untuk mengamankan pasokan bahan baku untuk kilang-kilang Pertamina," ujar Fajriyah melalui keterangan resminya, Selasa (2/7/2019).
Bahkan, hingga kini Pertamina sudah tidak lagi mengimpor minyak mentah jenis heavy dan super heavy dan hanya mengimpor jenis light and medium crude dengan kebijakan ini.
Lebih lanjut, ia mengatakan, perusahaan akan terus memperluas kerja sama berdasarkan dengan kesepakatan bersama masing-masing KKKS. Dengan semakin banyak serapan minyak mentah dan kondensat dalam negeri, lanjut Fajriyah, maka akan berdampak pada pengurangan impor minyak mentah.
Selain itu, program B20 juga berperan mengurangi kebutuhan minyak impor. Sebagai informasi, dalam program B20, pemerintah memberi ketentuan porsi campuran sawit pada biosolar sebanyak 20%.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menilai, seharusnya, ekspor yang diandalkan adalah ekspor manufaktur yang mengonsumsi gas alam serta listrik. Sektor inilah yang mestinya berperan lebih besar ketimbang migas, karena jika negara harus ekspor migas atau sumber daya alam yang dimiliki maka kebutuhan bahan bakar dalam negeri yang akan dikorbankan.
"Jika gas alam diekspor, industri dan listrik di dalam negeri mau pakai energi apa lagi saat ini?" pungkasnya.
(gus) Next Article 'Impor Memang Membaik, Tapi Defisit Migas RI Masih Akut'
Kinerja perdagangan sektor migas sebenarnya sudah mulai membaik, terbantu oleh kebijakan pemerintah yang memberi mandat kepada Pertamina untuk membeli minyak jatah ekspor hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sebelumnya dijual ke luar negeri. Hanya saja, hal ini juga membuat ekspor migas mengalami penurunan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Mei 2019, ekspor minyak mentah RI tercatat sebesar US$ 167,9 juta, turun 5,48% (mtm) dan turun 69,63% (yoy). Sementara ekspor hasil minyak US$ 55,8 juta atau turun 52,57% (mtm) dan turun 73,64% (mtm).
Angka ini naik signifikan sejak diinstruksikan pada 2018 lalu, yang awal-awalnya bisa menyerap 12,8 ribu barel sehari.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menjelaskan, volume minyak tersebut merupakan hasil kesepakatan dengan 37 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia.
"Dengan mengambil minyak mentah dari dalam negeri, maka semakin mendukung upaya kami untuk mengamankan pasokan bahan baku untuk kilang-kilang Pertamina," ujar Fajriyah melalui keterangan resminya, Selasa (2/7/2019).
Bahkan, hingga kini Pertamina sudah tidak lagi mengimpor minyak mentah jenis heavy dan super heavy dan hanya mengimpor jenis light and medium crude dengan kebijakan ini.
Lebih lanjut, ia mengatakan, perusahaan akan terus memperluas kerja sama berdasarkan dengan kesepakatan bersama masing-masing KKKS. Dengan semakin banyak serapan minyak mentah dan kondensat dalam negeri, lanjut Fajriyah, maka akan berdampak pada pengurangan impor minyak mentah.
Selain itu, program B20 juga berperan mengurangi kebutuhan minyak impor. Sebagai informasi, dalam program B20, pemerintah memberi ketentuan porsi campuran sawit pada biosolar sebanyak 20%.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menilai, seharusnya, ekspor yang diandalkan adalah ekspor manufaktur yang mengonsumsi gas alam serta listrik. Sektor inilah yang mestinya berperan lebih besar ketimbang migas, karena jika negara harus ekspor migas atau sumber daya alam yang dimiliki maka kebutuhan bahan bakar dalam negeri yang akan dikorbankan.
"Jika gas alam diekspor, industri dan listrik di dalam negeri mau pakai energi apa lagi saat ini?" pungkasnya.
(gus) Next Article 'Impor Memang Membaik, Tapi Defisit Migas RI Masih Akut'
Most Popular