
Jokowi, Jonan, dan Impor Migas yang Begitu Tinggi
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
09 July 2019 08:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyentil kinerja Menteri ESDM Ignasius Jonan. Jokowi menyinggung soal impor migas yang masih tinggi. Demikian disampaikan kepala negara dalam sidang kabinet di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (8/7/2019).
"Coba dicermati angka-angka ini, kenapa impor begitu sangat tinggi. Migas naiknya gede sekali, hati-hati di migas Pak Menteri ESDM, Bu Menteri BUMN yang terkait dengan ini," singgung Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (8/7/2019).
Melalui pesan tertulis yang diterima CNBC Indonesia, Jonan pun memberikan penjelasan. Jonan menuturkan, impor minyak kian naik seiring dengan konsumsi BBM yang juga cenderung naik.
Ini didorong salah satunya karena pembangunan ruas jalan yang meningkat, sementara produksi tidak bisa serta merta naik begitu saja karena membutuhkan upaya eksplorasi yang besar. Upaya ini, lanjutnya, sedang dilakukan dan ditingkatkan lagi setelah sekian lama sempat terhenti.
"Dan upaya ini juga akan banyak bergantung dari komitmen para kontraktor (KKKS) besar termasuk Pertamina," ujarnya.
Lebih lanjut, Jonan menyebutkan, total produksi minyak saat ini mencapai 775 ribu barel sehari dan konsumsi minyak harian sekitar 1,3 juta barel sehari. Konsumsi naik seiring pertumbuhan kendaraan bermotor. Oleh sebab itu, kata Jonan, ESDM sangat berharap bisa segera ada insentif untuk mobil listrik.
Sementara untuk gas alam, produksinya kini capai 1,2 juta BOEPD, yang mana 65% sudah diserap untuk dalam negeri.
"Jika mayoritas gas alam diekspor seperti sebelum tahun 2000, maka saya yakin neraca migas tidak akan defisit," imbuh Jonan.
Seharusnya, lanjut dia, ekspor yang diandalkan adalah ekspor manufaktur yang mengonsumsi gas alam serta listrik. Sektor inilah yang mestinya berperan lebih besar ketimbang migas, karena jika negara harus ekspor migas atau sumber daya alam yang dimiliki maka kebutuhan bahan bakar dalam negeri yang akan dikorbankan.
"Jika gas alam diekspor, industri dan listrik di dalam negeri mau pakai energi apa lagi saat ini?," kata Jonan.
Defisit migas tak hanya dialami Indonesia, negara-negara maju seperti Jepang, China juga alami defisit migas karena mereka terbatas sumber daya energinya.
"Tapi apakah neraca perdagangan secara keseluruhan defisit? Tentu tidak kan?," ujar eks dirut PT KAI itu.
Mencontoh Jepang juga, agar ini bisa dikendalikan kementerian energi, perdagangan, dan perindustrian dijadikan satu oleh pemerintahnya yakni kementerian METI yang meliputi energy, trade, dan industry. "Di RRT juga ada national energy administrator."
Adapun, jika menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Mei 2019, neraca dagang Indonesia memang masih defisit US$ 2,14 miliar. Namun angka ini sebenarnya membaik dibanding periode serupa tahun lalu yang mencapai US$ 2,86 miliar.
Bahkan, untuk Mei sendiri, neraca dagang Indonesia justru tercatat surplus. Diketahui, surplusnya neraca dagang di Mei salah satunya karena faktor penurunan impor yang tajam, termasuk impor migas.
Dari Januari hingga Mei 2019, impor migas tercatat menurun hingga 23,77%. Lebih lanjut penurunan impor migas disebabkan oleh turunnya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah US$1.766,5 juta (43,74%), hasil minyak US$1.043,1 juta (15,44%), dan gas US$24,2 juta (2,14%).
Di sisi lain, kalau melihat data Pertamina, impor untuk Januari-Mei 2019 juga turun signifikan dibanding periode serupa tahun lalu. Rincinya adalah sebagai berikut:
Total Impor Crude, Product dan LPG :
2019 = US$ 7,3 miliar
2018 = US$ 9,6 miliar
Turun 24%.
Impor Crude
2019 = US$ 2,2 miliar
2018 = US$ 4,3 miliar
Turun 49%.
Product (gasoline, avgas, avtur, gasoil).
2019 = US$ 3,9 miliar
2018 = US$ 4,2 miliar
Turun 6%.
LPG
2019 = US$ 1,2 miliar
2018 = US$ 1,1 miliar
Naik 7%.
Secara total, impor seluruh produk migas baik minyak mentah, BBM, dan LPG adalah turun 24%.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Disindir Jokowi, Begini Sebenarnya Realita Kondisi Migas RI
"Coba dicermati angka-angka ini, kenapa impor begitu sangat tinggi. Migas naiknya gede sekali, hati-hati di migas Pak Menteri ESDM, Bu Menteri BUMN yang terkait dengan ini," singgung Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (8/7/2019).
Melalui pesan tertulis yang diterima CNBC Indonesia, Jonan pun memberikan penjelasan. Jonan menuturkan, impor minyak kian naik seiring dengan konsumsi BBM yang juga cenderung naik.
Ini didorong salah satunya karena pembangunan ruas jalan yang meningkat, sementara produksi tidak bisa serta merta naik begitu saja karena membutuhkan upaya eksplorasi yang besar. Upaya ini, lanjutnya, sedang dilakukan dan ditingkatkan lagi setelah sekian lama sempat terhenti.
Lebih lanjut, Jonan menyebutkan, total produksi minyak saat ini mencapai 775 ribu barel sehari dan konsumsi minyak harian sekitar 1,3 juta barel sehari. Konsumsi naik seiring pertumbuhan kendaraan bermotor. Oleh sebab itu, kata Jonan, ESDM sangat berharap bisa segera ada insentif untuk mobil listrik.
Sementara untuk gas alam, produksinya kini capai 1,2 juta BOEPD, yang mana 65% sudah diserap untuk dalam negeri.
"Jika mayoritas gas alam diekspor seperti sebelum tahun 2000, maka saya yakin neraca migas tidak akan defisit," imbuh Jonan.
![]() |
Seharusnya, lanjut dia, ekspor yang diandalkan adalah ekspor manufaktur yang mengonsumsi gas alam serta listrik. Sektor inilah yang mestinya berperan lebih besar ketimbang migas, karena jika negara harus ekspor migas atau sumber daya alam yang dimiliki maka kebutuhan bahan bakar dalam negeri yang akan dikorbankan.
"Jika gas alam diekspor, industri dan listrik di dalam negeri mau pakai energi apa lagi saat ini?," kata Jonan.
Defisit migas tak hanya dialami Indonesia, negara-negara maju seperti Jepang, China juga alami defisit migas karena mereka terbatas sumber daya energinya.
"Tapi apakah neraca perdagangan secara keseluruhan defisit? Tentu tidak kan?," ujar eks dirut PT KAI itu.
Mencontoh Jepang juga, agar ini bisa dikendalikan kementerian energi, perdagangan, dan perindustrian dijadikan satu oleh pemerintahnya yakni kementerian METI yang meliputi energy, trade, dan industry. "Di RRT juga ada national energy administrator."
Adapun, jika menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Mei 2019, neraca dagang Indonesia memang masih defisit US$ 2,14 miliar. Namun angka ini sebenarnya membaik dibanding periode serupa tahun lalu yang mencapai US$ 2,86 miliar.
Bahkan, untuk Mei sendiri, neraca dagang Indonesia justru tercatat surplus. Diketahui, surplusnya neraca dagang di Mei salah satunya karena faktor penurunan impor yang tajam, termasuk impor migas.
Dari Januari hingga Mei 2019, impor migas tercatat menurun hingga 23,77%. Lebih lanjut penurunan impor migas disebabkan oleh turunnya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah US$1.766,5 juta (43,74%), hasil minyak US$1.043,1 juta (15,44%), dan gas US$24,2 juta (2,14%).
Di sisi lain, kalau melihat data Pertamina, impor untuk Januari-Mei 2019 juga turun signifikan dibanding periode serupa tahun lalu. Rincinya adalah sebagai berikut:
Total Impor Crude, Product dan LPG :
2019 = US$ 7,3 miliar
2018 = US$ 9,6 miliar
Turun 24%.
Impor Crude
2019 = US$ 2,2 miliar
2018 = US$ 4,3 miliar
Turun 49%.
Product (gasoline, avgas, avtur, gasoil).
2019 = US$ 3,9 miliar
2018 = US$ 4,2 miliar
Turun 6%.
LPG
2019 = US$ 1,2 miliar
2018 = US$ 1,1 miliar
Naik 7%.
Secara total, impor seluruh produk migas baik minyak mentah, BBM, dan LPG adalah turun 24%.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Disindir Jokowi, Begini Sebenarnya Realita Kondisi Migas RI
Most Popular