Apa Salah Jokowi Jika Ekonomi RI Tak Penuhi Janji Manis 7%?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 July 2019 12:16
Apa Salah Jokowi Jika Ekonomi RI Tak Penuhi Janji Manis 7%?
Aktivitas Bongkar-Muat di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia lagi-lagi belum bisa melaju kencang. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sama-sama melontarkan proyeksi yang pesimistis soal prospek pertumbuhan ekonomi tahun ini. 

Kemarin, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 akan melandai atau hampir sama dengan kuartal sebelumnya. Kira-kira di kisaran 5,07%, atau kalau mau dibulatkan ya 5,1%. 

Bank sentral masih mempertahankan proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019, yaitu di batas tengah-bawah kisaran 5-5,4%. Artinya, paling mentok ekonomi Tanah Air tumbuh 5,2-5,3%.


Hawa kurang pede juga disampaikan pemerintah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 maksimal 5,3%. Itu pun sudah dengan extra effort. 


Sebenarnya apa yang salah? Mengapa sulit sekali mencapai pertumbuhan 6% seperti era Susilo Bambang Yudhoyono, apalagi bisa 7% seperti janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi)? 

Sebenarnya ada dua faktor, eksternal dan domestik. Dari sisi eksternal, pemerintahan Jokowi memang bisa dibilang kebagian apes karena bertepatan dengan berakhirnya era pelonggaran moneter global. 

Selepas krisis keuangan global, berbagai bank sentral menurunkan suku bunga acuan dan memborong surat berharga untuk memompa likuiditas ke sistem perekonomian (quantitative easing). Suku bunga rendah membuat likuiditas melimpah, plus ada gelontoran uang dari bank sentral. Uang menjadi mudah didapat, easy money, dan menyebar ke berbagai penjuru termasuk ke Indonesia. 

Gelontoran uang ini berhasil menopang pertumbuhan ekonomi domestik hingga ke kisaran 6%. Puncaknya adalah pada 2011 di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5%, tertinggi pasca Orde Baru. 





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Malangnya, pemerintahan Jokowi dimulai ketika periode easy money ini hampir selesai. Pada 2013, Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserves/The Fed) mulai menimbang-nimbang untuk mengurangi dosis quantitative easing dan menaikkan suku bunga acuan secara bertahap.

Fase menimbang-nimbang, tarik-ulur, itu berlangsung sampai sekitar dua tahun dan membuat pasar keuangan global dilanda kegalauan. Fluktuasi menjadi pemandangan sehari-hari pada masa yang akrab disebut taper tantrum ini.

Akhirnya yang dinantikan baru terjadi pada akhir 2015. The Fed baru menaikkan suku bunga acuan pada Desember 2015 setelah bertahun-tahun bertahan di dekat 0%. 

 

Selepas itu, Federal Funds Rate terus menanjak seolah tanpa rem hingga mencapai puncaknya pada akhir 2018. Selama 2015 sampai sekarang, arus modal yang awalnya membanjiri negara-negara berkembang memilih pulang kampung ke Negeri Paman Sam karena tergoda dengan kenaikan suku bunga. 

Likuiditas global pun mengetat, pasar keuangan Indonesia kekurangan darah untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya jelas, ekonomi melambat. 

Pengetatan likuiditas tidak hanya memperlambat ekonomi Indonesia, tetapi juga dunia. Ini menimbulkan masalah lain bagi Indonesia, yaitu penurunan harga komoditas karena kekhawatiran berkurangnya permintaan. 

Salah satunya adalah produk andalan ekspor Indonesia yaitu minyak sawit mentah (CPO). Dalam lima tahun terakhir, harga CPO anjlok nyaris 23%. 



Sayangnya, Indonesia masih mengandalkan komoditas sebagai penopang ekspor. Kala harga komoditas jeblok, ekspor pun mengikuti. 

Ekspor yang melambat kemudian membuat investasi lesu. Investasi yang landai berarti penyerapan tenaga kerja tidak optimal sehingga konsumsi rumah tangga terkena getahnya. Ekspor, investasi, dan konsumsi rumah tangga bermasalah tentu membuat pertumbuhan ekonomi tergerus. 

Well, itu adalah faktor eksternal yang membuat ekonomi Indonesia susah maju. Ini di luar kuasa pemerintah atau BI, sehingga memang tidak bisa melakukan apa-apa. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun, ada pula faktor domestik yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tertahan. Indonesia tidak kunjung menyelesaikan pekerjaan rumah yang sudah ada sejak lama, yaitu reformasi struktural. 

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ekonomi Indonesia bergantung kepada komoditas. Menjual tanah-air. Kala harga komoditas jatuh, ekonomi ikut limbung. 

Penyebabnya adalah industri pengolahan/manufaktur Indonesia seakan jalan di tempat. Sudah cukup lama industri pengolahan tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi umum (headline). 

 

Akibatnya, Indonesia belum bisa lepas dari ketergantungan terhadap komoditas. Industri manufaktur yang menciptakan nilai tambah tidak kunjung bangkit dari tidur panjang.  

BI sudah beberapa kali menyatakan bahwa deindustrialisasi adalah fakta yang tidak bisa dikesampingkan. Bahkan Bappenas juga pernah menyebutkan Indonesia mengalami deindustrialisasi prematur, layu sebelum berkembang. 

"Indonesia belum berhasil reindustrialisasi, tetapi yang terjadi adalah deindustrialisasi prematur. Dulu sempat kontribusi industri mencapai 30% terhadap PDB, tetapi kini 20% saja," kata Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, November tahun lalu.

Baca:
Ingin lepas dari Deindustrialisasi Prematur? Ini Resep ADB!

Deindustrialisasi adalah faktor domestik yang semestinya dalam kuasa pemerintah. Tidak bisa hanya berdoa dan berharap yang terbaik, harus ada langkah kongkret untuk reindustrialisasi.  

Seluruh daya, baik itu dari sisi insentif fiskal, ketersediaan lahan, pasokan energi, sumber daya manusia, sampai suku bunga perlu diarahkan ke satu tujuan yaitu membangkitkan kembali industri nasional. Memang tidak mudah, tetapi apa iya tidak bisa? 

Reindustrialisasi juga akan mengobati penyakit Indonesia lainnya, yaitu defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Dengan industri nasional yang mumpuni, impor bahan baku dan barang modal bisa ditekan.

Plus pendapatan dari ekspor akan lebih tinggi, karena produk yang dijual lebih mahal. Maklum, Indonesia tidak akan lagi cuma menjual bahan mentah tetapi produk jadi atau setengah jadi. 

Selama ini CAD menjadi beban perekonomian nasional, karena membuat rupiah rentan melemah. Kala rupiah melemah, BI tentu tidak bisa tinggal diam dan menempuh berbagai langkah misalnya menaikkan suku bunga acuan. 

Kenaikan suku bunga acuan memang bisa membuat rupiah lebih stabil karena arus modal masuk di sektor keuangan. Namun efek sampingnya adalah menghambat ekspansi dunia usaha dan rumah tangga karena mahalnya biaya dana. Pertumbuhan ekonomi pun harus mengalah demi rupiah. 

Jadi, jangan buru-buru menyalahkan faktor eksternal sebagai biang kerok perlambatan ekonomi Indonesia. Ada faktor dalam negeri yang semestinya bisa dibereskan tetapi belum kunjung tuntas yaitu pembangunan industri nasional. Jika Indonesia sudah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, industri sudah terbangun, maka dampak guncangan dari luar bisa diredam dengan lebih baik.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular