
Apa Salah Jokowi Jika Ekonomi RI Tak Penuhi Janji Manis 7%?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 July 2019 12:16

Namun, ada pula faktor domestik yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tertahan. Indonesia tidak kunjung menyelesaikan pekerjaan rumah yang sudah ada sejak lama, yaitu reformasi struktural.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ekonomi Indonesia bergantung kepada komoditas. Menjual tanah-air. Kala harga komoditas jatuh, ekonomi ikut limbung.
Penyebabnya adalah industri pengolahan/manufaktur Indonesia seakan jalan di tempat. Sudah cukup lama industri pengolahan tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi umum (headline).
Akibatnya, Indonesia belum bisa lepas dari ketergantungan terhadap komoditas. Industri manufaktur yang menciptakan nilai tambah tidak kunjung bangkit dari tidur panjang.
BI sudah beberapa kali menyatakan bahwa deindustrialisasi adalah fakta yang tidak bisa dikesampingkan. Bahkan Bappenas juga pernah menyebutkan Indonesia mengalami deindustrialisasi prematur, layu sebelum berkembang.
"Indonesia belum berhasil reindustrialisasi, tetapi yang terjadi adalah deindustrialisasi prematur. Dulu sempat kontribusi industri mencapai 30% terhadap PDB, tetapi kini 20% saja," kata Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, November tahun lalu.
Baca:
Ingin lepas dari Deindustrialisasi Prematur? Ini Resep ADB!
Deindustrialisasi adalah faktor domestik yang semestinya dalam kuasa pemerintah. Tidak bisa hanya berdoa dan berharap yang terbaik, harus ada langkah kongkret untuk reindustrialisasi.
Seluruh daya, baik itu dari sisi insentif fiskal, ketersediaan lahan, pasokan energi, sumber daya manusia, sampai suku bunga perlu diarahkan ke satu tujuan yaitu membangkitkan kembali industri nasional. Memang tidak mudah, tetapi apa iya tidak bisa?
Reindustrialisasi juga akan mengobati penyakit Indonesia lainnya, yaitu defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Dengan industri nasional yang mumpuni, impor bahan baku dan barang modal bisa ditekan.
Plus pendapatan dari ekspor akan lebih tinggi, karena produk yang dijual lebih mahal. Maklum, Indonesia tidak akan lagi cuma menjual bahan mentah tetapi produk jadi atau setengah jadi.
Selama ini CAD menjadi beban perekonomian nasional, karena membuat rupiah rentan melemah. Kala rupiah melemah, BI tentu tidak bisa tinggal diam dan menempuh berbagai langkah misalnya menaikkan suku bunga acuan.
Kenaikan suku bunga acuan memang bisa membuat rupiah lebih stabil karena arus modal masuk di sektor keuangan. Namun efek sampingnya adalah menghambat ekspansi dunia usaha dan rumah tangga karena mahalnya biaya dana. Pertumbuhan ekonomi pun harus mengalah demi rupiah.
Jadi, jangan buru-buru menyalahkan faktor eksternal sebagai biang kerok perlambatan ekonomi Indonesia. Ada faktor dalam negeri yang semestinya bisa dibereskan tetapi belum kunjung tuntas yaitu pembangunan industri nasional. Jika Indonesia sudah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, industri sudah terbangun, maka dampak guncangan dari luar bisa diredam dengan lebih baik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru)
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ekonomi Indonesia bergantung kepada komoditas. Menjual tanah-air. Kala harga komoditas jatuh, ekonomi ikut limbung.
Penyebabnya adalah industri pengolahan/manufaktur Indonesia seakan jalan di tempat. Sudah cukup lama industri pengolahan tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi umum (headline).
Akibatnya, Indonesia belum bisa lepas dari ketergantungan terhadap komoditas. Industri manufaktur yang menciptakan nilai tambah tidak kunjung bangkit dari tidur panjang.
BI sudah beberapa kali menyatakan bahwa deindustrialisasi adalah fakta yang tidak bisa dikesampingkan. Bahkan Bappenas juga pernah menyebutkan Indonesia mengalami deindustrialisasi prematur, layu sebelum berkembang.
"Indonesia belum berhasil reindustrialisasi, tetapi yang terjadi adalah deindustrialisasi prematur. Dulu sempat kontribusi industri mencapai 30% terhadap PDB, tetapi kini 20% saja," kata Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, November tahun lalu.
Baca:
Ingin lepas dari Deindustrialisasi Prematur? Ini Resep ADB!
Deindustrialisasi adalah faktor domestik yang semestinya dalam kuasa pemerintah. Tidak bisa hanya berdoa dan berharap yang terbaik, harus ada langkah kongkret untuk reindustrialisasi.
Seluruh daya, baik itu dari sisi insentif fiskal, ketersediaan lahan, pasokan energi, sumber daya manusia, sampai suku bunga perlu diarahkan ke satu tujuan yaitu membangkitkan kembali industri nasional. Memang tidak mudah, tetapi apa iya tidak bisa?
Reindustrialisasi juga akan mengobati penyakit Indonesia lainnya, yaitu defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Dengan industri nasional yang mumpuni, impor bahan baku dan barang modal bisa ditekan.
Plus pendapatan dari ekspor akan lebih tinggi, karena produk yang dijual lebih mahal. Maklum, Indonesia tidak akan lagi cuma menjual bahan mentah tetapi produk jadi atau setengah jadi.
Selama ini CAD menjadi beban perekonomian nasional, karena membuat rupiah rentan melemah. Kala rupiah melemah, BI tentu tidak bisa tinggal diam dan menempuh berbagai langkah misalnya menaikkan suku bunga acuan.
Kenaikan suku bunga acuan memang bisa membuat rupiah lebih stabil karena arus modal masuk di sektor keuangan. Namun efek sampingnya adalah menghambat ekspansi dunia usaha dan rumah tangga karena mahalnya biaya dana. Pertumbuhan ekonomi pun harus mengalah demi rupiah.
Jadi, jangan buru-buru menyalahkan faktor eksternal sebagai biang kerok perlambatan ekonomi Indonesia. Ada faktor dalam negeri yang semestinya bisa dibereskan tetapi belum kunjung tuntas yaitu pembangunan industri nasional. Jika Indonesia sudah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, industri sudah terbangun, maka dampak guncangan dari luar bisa diredam dengan lebih baik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru)
Pages
Most Popular