
Apa Salah Jokowi Jika Ekonomi RI Tak Penuhi Janji Manis 7%?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 July 2019 12:16

Malangnya, pemerintahan Jokowi dimulai ketika periode easy money ini hampir selesai. Pada 2013, Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserves/The Fed) mulai menimbang-nimbang untuk mengurangi dosis quantitative easing dan menaikkan suku bunga acuan secara bertahap.
Fase menimbang-nimbang, tarik-ulur, itu berlangsung sampai sekitar dua tahun dan membuat pasar keuangan global dilanda kegalauan. Fluktuasi menjadi pemandangan sehari-hari pada masa yang akrab disebut taper tantrum ini.
Akhirnya yang dinantikan baru terjadi pada akhir 2015. The Fed baru menaikkan suku bunga acuan pada Desember 2015 setelah bertahun-tahun bertahan di dekat 0%.
Selepas itu, Federal Funds Rate terus menanjak seolah tanpa rem hingga mencapai puncaknya pada akhir 2018. Selama 2015 sampai sekarang, arus modal yang awalnya membanjiri negara-negara berkembang memilih pulang kampung ke Negeri Paman Sam karena tergoda dengan kenaikan suku bunga.
Likuiditas global pun mengetat, pasar keuangan Indonesia kekurangan darah untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya jelas, ekonomi melambat.
Pengetatan likuiditas tidak hanya memperlambat ekonomi Indonesia, tetapi juga dunia. Ini menimbulkan masalah lain bagi Indonesia, yaitu penurunan harga komoditas karena kekhawatiran berkurangnya permintaan.
Salah satunya adalah produk andalan ekspor Indonesia yaitu minyak sawit mentah (CPO). Dalam lima tahun terakhir, harga CPO anjlok nyaris 23%.
Sayangnya, Indonesia masih mengandalkan komoditas sebagai penopang ekspor. Kala harga komoditas jeblok, ekspor pun mengikuti.
Ekspor yang melambat kemudian membuat investasi lesu. Investasi yang landai berarti penyerapan tenaga kerja tidak optimal sehingga konsumsi rumah tangga terkena getahnya. Ekspor, investasi, dan konsumsi rumah tangga bermasalah tentu membuat pertumbuhan ekonomi tergerus.
Well, itu adalah faktor eksternal yang membuat ekonomi Indonesia susah maju. Ini di luar kuasa pemerintah atau BI, sehingga memang tidak bisa melakukan apa-apa.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/dru)
Fase menimbang-nimbang, tarik-ulur, itu berlangsung sampai sekitar dua tahun dan membuat pasar keuangan global dilanda kegalauan. Fluktuasi menjadi pemandangan sehari-hari pada masa yang akrab disebut taper tantrum ini.
Akhirnya yang dinantikan baru terjadi pada akhir 2015. The Fed baru menaikkan suku bunga acuan pada Desember 2015 setelah bertahun-tahun bertahan di dekat 0%.
Selepas itu, Federal Funds Rate terus menanjak seolah tanpa rem hingga mencapai puncaknya pada akhir 2018. Selama 2015 sampai sekarang, arus modal yang awalnya membanjiri negara-negara berkembang memilih pulang kampung ke Negeri Paman Sam karena tergoda dengan kenaikan suku bunga.
Likuiditas global pun mengetat, pasar keuangan Indonesia kekurangan darah untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya jelas, ekonomi melambat.
Pengetatan likuiditas tidak hanya memperlambat ekonomi Indonesia, tetapi juga dunia. Ini menimbulkan masalah lain bagi Indonesia, yaitu penurunan harga komoditas karena kekhawatiran berkurangnya permintaan.
Salah satunya adalah produk andalan ekspor Indonesia yaitu minyak sawit mentah (CPO). Dalam lima tahun terakhir, harga CPO anjlok nyaris 23%.
Sayangnya, Indonesia masih mengandalkan komoditas sebagai penopang ekspor. Kala harga komoditas jeblok, ekspor pun mengikuti.
Ekspor yang melambat kemudian membuat investasi lesu. Investasi yang landai berarti penyerapan tenaga kerja tidak optimal sehingga konsumsi rumah tangga terkena getahnya. Ekspor, investasi, dan konsumsi rumah tangga bermasalah tentu membuat pertumbuhan ekonomi tergerus.
Well, itu adalah faktor eksternal yang membuat ekonomi Indonesia susah maju. Ini di luar kuasa pemerintah atau BI, sehingga memang tidak bisa melakukan apa-apa.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/dru)
Next Page
Bangkitkan Kembali Industri Nasional!
Pages
Most Popular