KPK, Surat Rini, & Harap-Harap Cemas 7 Taipan Batu Bara
Gustidha Budiartie & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
25 June 2019 11:18

Nusa Dua, CNBC Indonesia- Belum selesainya revisi PP 23 tahun 2010 terkait nasib perpanjangan operasi tambang batu bara ditambah dengan kejadian yang menimpa salah satu tambang raksasa batu bara, PT Tanito Harum, membuat cemas taipan-taipan emas hitam.
Perpanjangan izin PT Tanito Harum yang sudah diberikan pemerintah pada Januari lalu, tiba-tiba dibatalkan lantaran revisi PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang tak kunjung menemui titik terangnya.
Pembahasan beleid buntu di Kementerian Sekretariat Negara akibat surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditembuskan ke Presiden Joko Widodo. Surat tersebut menekankan pentingnya mengikuti prinsip Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 di revisi PP.
Surat KPK ini bukan tanpa alasan, komisi anti rasuah ini tampaknya gemas dengan surat yang dikeluarkan oleh Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Januari lalu yang memutuskan untuk memperpanjang operasi tambang Tanito Harum, yang memang kebetulan jatuh tempo saat itu.
Informasi yang diterima CNBC Indonesia, KPK menilai pemberian perpanjangan dan perubahan rezim Tanito Harum dari PKP2B ke IUPK tidak wajar di saat PP 23 Tahun 2010 dirumuskan. Dirjen Minerba Bambang Gatot pun diminta keterangannya ke komisi untuk menjelaskan duduk perkaran.
Saat itu, Bambang berkeras keputusannya sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Januari 2019, di hadapan Komisi VII DPR RI, Bambang juga menegaskan keyakinannya.
Bambang mengatakan, dasar hukum untuk memberikan perpanjangan kepada Tanito Harum mengacu pada PP Nomor 77 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam pasal 112 ayat 2a pada PP tersebut, dikatakan, pemegang Kontrak Karya (KK) dan PKP2B dapat diperpanjang menjadi IUPK Operasi Produksi perpanjangan pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya kontrak dan dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan kecuali mengenai penerimaan negara yang lebih menguntungkan.
Dengan begitu, kata Bambang, pada dasarnya izin yang dikeluarkan untuk Tanito Harum tidak perlu menunggu revisi PP terbit.
Hadirnya Surat Rini
Komisi anti rasuah sebenarnya bisa saja tidak begitu mengendus ketidakwajaran perpanjangan izin Tanito Harum, seandainya Menteri BUMN Rini Soemarno tidak mengirimkan surat pada Mensekneg pada Maret lalu.
Surat Rini hadir di tengah-tengah pembahasan revisi PP yang rancangannya bahkan sudah selesai sejak November 2018.
Dalam suratnya ke Menteri Pratikno, Rini menekankan soal pengutamaan peran BUMN dalam mengelola aset tambang negara sesuai UU Minerba. Dari sini, kegaduhan berlanjut sampai sekarang.
Lain Dulu Lain Sekarang Lantas bagaimana dengan sikap ESDM?
Suara Dirjen Minerba Bambang Gatot tak selantang Januari lalu saat menjelaskan soal pemberian izin perpanjangan ke Tanito Harum.
Amsyong, surat KPK berimbas pada pembatalan izin perpanjangan yang diberikan pada Tanito sebelumnya.
Bambang Gatot mengatakan, lantaran tidak lagi memiliki PKP2B maka otomatis Tanito Harum tidak lagi beroperasi. Namun, ketika ditanya soal nasib bekas tambang Tanito itu, dia mengaku tidak tahu.
"Saya tidak tahu (status lahan eks Tanito) karena ini kan bisa jadi WPN (wilayah pencadangan negara) atau WIUPK (wilayah izin usaha pertambangan khusus) atau lainnya," kata Bambang saat dijumpai dalam gelaran Coaltrans Asia Conference 2019, di Nusa Dua, Bali, Senin (24/6/2019).
Memang, berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 2009 soal pertambangan mineral dan batu bara, terdapat dua opsi kelanjutan operasi dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B).
Pertama, setelah kontrak berakhir, lahan bekas tambang bisa diusulkan ke DPR untuk dijadikan WPN kemudian ditawarkan kembali ke perusahaan. Hal ini tercantum Pasal 27 dan 74 Undang-Undang Minerba. Kedua, setelah berakhirnya kontrak, lahan tersebut otomatis menjadi WIUPK untuk langsung ditawarkan ke perusahaan. Ketentuan soal WIUPK ini diatur dalam Ketentuan Peralihan Pasal 169 dan 171 Undang-Undang Minerba, serta Pasal 112B angka 9 PP 77/2014.
Namun hingga kini, pemerintah belum memutuskan opsi mana yang diambil. Pasalnya, pemerintah masih memproses revisi keenam PP 23/2010.
7 Taipan Batu Bara Harap-Harap Cemas
Adapun, berdasarkan data Kementerian ESDM, selain Tanito Harum, terdapat beberapa PKP2B lain yang segera berakhir dalam lima tahun mendatang, yakni PT Kendilo Coal Indonesia pada pada 2021, PT Kaltim Prima Coal pada 2021, PT Multi Harapan Utama pada 2022, PT Arutmin Indonesia pada 2020, PT Adaro Indonesia pada 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 2023, serta PT Berau Coal pada 2025.
Bambang mengatakan, sejauh ini, belum ada perusahaan yang mengajukan perpanjangan PKP2B. Meski regulasi masih diproses, perusahaan tetap dapat mengajukan perpanjangan. "Silahkan saja (ajukan perpanjangan). Kami juga tidak menolak," ujarnya.
Di sisi lain, ditemui di kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P Sjahrir mengatakan, isu kelanjutan operasi PKP2B yang hampir berakhir menjadi perhatian pengusaha.
"Kami terus berdiskusi dengan pemerintah agar memperoleh solusi yang saling menguntungkan," pungkasnya.
Para PKP2B yang terkait juga enggan berkomentar lebih jauh dengan alasan isu terlalu sensitif.
Hendra Sinadia menuturkan, sampai saat ini para pengusaha batu bara memang masih dibuat menunggu kejelasan dari pemerintah terkait revisi PP tersebut, dan berharap bisa segera ditandangtangani demi kejelasan nasib PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama yang akan diterminasi.
Ditambah lagi, lanjut Hendra, PKP2B generasi pertama itu yang berkontribusi sekitar separuh dari produksi batu bara nasional dan sekitar 70% dari pasokan batu bara ke PLN serta penyumbang terbesar PNBP subsektor batu bara.
"Kami harapkan revisi PP bisa segera ditandatangani karena penting untuk kepastian investasi jangka panjang bagi pemegang PKP2B generasi pertama," ujar Hendra saat dijumpai dalam gelaran Coaltrans Asia 2019, di Nusa Dua, Bali, Senin (24/6/2019).
Kendati demikian, ditemui di kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung Kurnia Ariawan mengatakan, memang dengan menggunakan revisi PP 23/2010 tersebut, penerimaan negara akan lebih tinggi. Sehingga, pada dasarnya, industri batu bara terbuka untuk berdiskusi dengan pemerintah terkait hal tersebut.
"Ya, pada akhirnya, memang ini yang terbaik buat Indonesia," pungkas Kurnia.
(gus/gus) Next Article 7 Tambang Raksasa Terminasi, KPK Soroti Revisi PP Batu Bara
Perpanjangan izin PT Tanito Harum yang sudah diberikan pemerintah pada Januari lalu, tiba-tiba dibatalkan lantaran revisi PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang tak kunjung menemui titik terangnya.
Pembahasan beleid buntu di Kementerian Sekretariat Negara akibat surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditembuskan ke Presiden Joko Widodo. Surat tersebut menekankan pentingnya mengikuti prinsip Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 di revisi PP.
Surat KPK ini bukan tanpa alasan, komisi anti rasuah ini tampaknya gemas dengan surat yang dikeluarkan oleh Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Januari lalu yang memutuskan untuk memperpanjang operasi tambang Tanito Harum, yang memang kebetulan jatuh tempo saat itu.
Informasi yang diterima CNBC Indonesia, KPK menilai pemberian perpanjangan dan perubahan rezim Tanito Harum dari PKP2B ke IUPK tidak wajar di saat PP 23 Tahun 2010 dirumuskan. Dirjen Minerba Bambang Gatot pun diminta keterangannya ke komisi untuk menjelaskan duduk perkaran.
Saat itu, Bambang berkeras keputusannya sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Januari 2019, di hadapan Komisi VII DPR RI, Bambang juga menegaskan keyakinannya.
Bambang mengatakan, dasar hukum untuk memberikan perpanjangan kepada Tanito Harum mengacu pada PP Nomor 77 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam pasal 112 ayat 2a pada PP tersebut, dikatakan, pemegang Kontrak Karya (KK) dan PKP2B dapat diperpanjang menjadi IUPK Operasi Produksi perpanjangan pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya kontrak dan dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan kecuali mengenai penerimaan negara yang lebih menguntungkan.
Dengan begitu, kata Bambang, pada dasarnya izin yang dikeluarkan untuk Tanito Harum tidak perlu menunggu revisi PP terbit.
Hadirnya Surat Rini
Komisi anti rasuah sebenarnya bisa saja tidak begitu mengendus ketidakwajaran perpanjangan izin Tanito Harum, seandainya Menteri BUMN Rini Soemarno tidak mengirimkan surat pada Mensekneg pada Maret lalu.
Surat Rini hadir di tengah-tengah pembahasan revisi PP yang rancangannya bahkan sudah selesai sejak November 2018.
Dalam suratnya ke Menteri Pratikno, Rini menekankan soal pengutamaan peran BUMN dalam mengelola aset tambang negara sesuai UU Minerba. Dari sini, kegaduhan berlanjut sampai sekarang.
![]() |
Lain Dulu Lain Sekarang Lantas bagaimana dengan sikap ESDM?
Suara Dirjen Minerba Bambang Gatot tak selantang Januari lalu saat menjelaskan soal pemberian izin perpanjangan ke Tanito Harum.
Amsyong, surat KPK berimbas pada pembatalan izin perpanjangan yang diberikan pada Tanito sebelumnya.
Bambang Gatot mengatakan, lantaran tidak lagi memiliki PKP2B maka otomatis Tanito Harum tidak lagi beroperasi. Namun, ketika ditanya soal nasib bekas tambang Tanito itu, dia mengaku tidak tahu.
"Saya tidak tahu (status lahan eks Tanito) karena ini kan bisa jadi WPN (wilayah pencadangan negara) atau WIUPK (wilayah izin usaha pertambangan khusus) atau lainnya," kata Bambang saat dijumpai dalam gelaran Coaltrans Asia Conference 2019, di Nusa Dua, Bali, Senin (24/6/2019).
Memang, berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 2009 soal pertambangan mineral dan batu bara, terdapat dua opsi kelanjutan operasi dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B).
Pertama, setelah kontrak berakhir, lahan bekas tambang bisa diusulkan ke DPR untuk dijadikan WPN kemudian ditawarkan kembali ke perusahaan. Hal ini tercantum Pasal 27 dan 74 Undang-Undang Minerba. Kedua, setelah berakhirnya kontrak, lahan tersebut otomatis menjadi WIUPK untuk langsung ditawarkan ke perusahaan. Ketentuan soal WIUPK ini diatur dalam Ketentuan Peralihan Pasal 169 dan 171 Undang-Undang Minerba, serta Pasal 112B angka 9 PP 77/2014.
Namun hingga kini, pemerintah belum memutuskan opsi mana yang diambil. Pasalnya, pemerintah masih memproses revisi keenam PP 23/2010.
7 Taipan Batu Bara Harap-Harap Cemas
Adapun, berdasarkan data Kementerian ESDM, selain Tanito Harum, terdapat beberapa PKP2B lain yang segera berakhir dalam lima tahun mendatang, yakni PT Kendilo Coal Indonesia pada pada 2021, PT Kaltim Prima Coal pada 2021, PT Multi Harapan Utama pada 2022, PT Arutmin Indonesia pada 2020, PT Adaro Indonesia pada 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 2023, serta PT Berau Coal pada 2025.
Bambang mengatakan, sejauh ini, belum ada perusahaan yang mengajukan perpanjangan PKP2B. Meski regulasi masih diproses, perusahaan tetap dapat mengajukan perpanjangan. "Silahkan saja (ajukan perpanjangan). Kami juga tidak menolak," ujarnya.
Di sisi lain, ditemui di kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P Sjahrir mengatakan, isu kelanjutan operasi PKP2B yang hampir berakhir menjadi perhatian pengusaha.
"Kami terus berdiskusi dengan pemerintah agar memperoleh solusi yang saling menguntungkan," pungkasnya.
Para PKP2B yang terkait juga enggan berkomentar lebih jauh dengan alasan isu terlalu sensitif.
Hendra Sinadia menuturkan, sampai saat ini para pengusaha batu bara memang masih dibuat menunggu kejelasan dari pemerintah terkait revisi PP tersebut, dan berharap bisa segera ditandangtangani demi kejelasan nasib PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama yang akan diterminasi.
Ditambah lagi, lanjut Hendra, PKP2B generasi pertama itu yang berkontribusi sekitar separuh dari produksi batu bara nasional dan sekitar 70% dari pasokan batu bara ke PLN serta penyumbang terbesar PNBP subsektor batu bara.
"Kami harapkan revisi PP bisa segera ditandatangani karena penting untuk kepastian investasi jangka panjang bagi pemegang PKP2B generasi pertama," ujar Hendra saat dijumpai dalam gelaran Coaltrans Asia 2019, di Nusa Dua, Bali, Senin (24/6/2019).
Kendati demikian, ditemui di kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung Kurnia Ariawan mengatakan, memang dengan menggunakan revisi PP 23/2010 tersebut, penerimaan negara akan lebih tinggi. Sehingga, pada dasarnya, industri batu bara terbuka untuk berdiskusi dengan pemerintah terkait hal tersebut.
"Ya, pada akhirnya, memang ini yang terbaik buat Indonesia," pungkas Kurnia.
(gus/gus) Next Article 7 Tambang Raksasa Terminasi, KPK Soroti Revisi PP Batu Bara
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular