
Jokowi Tahan Revisi PP Batu Bara, BUMN Menang Lawan Swasta?
Gustidha Budiartie & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
20 June 2019 17:29

Jakarta, CNBC Indonesia- Tarik ulur revisi PP 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu semakin kencang. Sudah 9 bulan berjalan, masih belum dapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan buka-bukaan di hadapan DPR soal di balik molornya revisi beleid tersebut. Menurutnya, untuk revisi PP 23 Tahun 2010 perlu disesuaikan dengan amanat Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009.
"Yang penting kalau PP 23/2010 ini dilakukan adendum, itu wajib ikuti UU Minerba nomor 4/2009. Intinya, kalau ini dilakukan tentunya banyak hal yang harus dilakukan, misalnya ditawarkan ke BUMN atau BUMD," tambah Jonan.
Adapun, terkait PP tersebut, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, nantinya akan ada dua PP, yang pertama yakni revisi PP 23/2010, tentang pertambangannya, dan satu lagi PP baru tentang penerimaan negara yang lebih baik dari IUPK batu bara.
Imbas dari belum rampungnya revisi PP ini adalah perpanjangan kontrak PT Tanito Harum yang dibatalkan.
"Belakangan kami terima copy tembusan dari Ketua KPK kepada Pak Presiden Jokowi yang bilang kalau revisi amandemen PP 23/2010 ini pada intinya wajib mengacu pada UU Minerba 2009. Akibatnya, (perpanjangan kontrak) PKP2B atas nama PT Tanito Harum itu tidak ada. Memang kami terbitkan tapi kami batalkan atas permitaan KPK, karena amandemennya belum ada," jelas Jonan dalam rapat bersama Komisi VII DPR, di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Revisi PP ini memang membuat tegang pengusaha batu bara dan Kementerian BUMN. Mulai panasnya persaingan ini dimulai saat surat Menteri BUMN Rini Soemarno kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada 1 Maret 2019 lalu, bocor ke publik.
Dalam surat tersebut, Rini menekankan sejatinya dalam revisi PP 23 Tthun 2010 ditekankan kembali amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 yakni kekayaan sumber daya alam, termasuk mineral dan batu bara merupakan kekayaan negara yang pengusahaannya harus dilakukan secara optimal untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
"Dalam hal ini, BUMN sebagai kepanjangtanganan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam," tulis Rini dalam suratnya.
Dengan berbagai dasar hukum yang ia tuangkan, surat Rini ini kemudian membuat gaduh industri emas hitam di Tanah Air.
Pasalnya, saat negosiasi mengenai revisi PP sedang dilancarkan oleh pengusaha agar izin perpanjangan bisa disamakan dengan sektor mineral, surat ini membuat banyak pihak mulai menyoroti perpanjangan kontrak-kontrak batu bara raksasa yang akan habis dalam hitungan tahun.
Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada sebanyak tujuh perusahaan tambang batu bara yang akan habis atau terminasi dalam waktu dekat.
Ketujuh pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama itu adalah:
1. PT Tanito Harum yang habis di Januari 2019
2. PT Arutmin Indonesia pada 2020
3. PT Adaro Energy pada 2022
4. PT KPC pada 2021
5. PT Multi Harapan Utama pada 2022
6. PT Kideco Jaya Agung pada 2022
7. PT Berau Coal pada 2025.
Direktur dan Kepala Bagian Hukum Adaro Energy Moh Syah Indra Aman pernah mengatakan dari dasar hukum yang ada, Adaro dan perusahaan tambang lainnya justru memiliki hak untuk mendapat perpanjangan.
Ia menekankan hal yang sering diwacanakan belakangan seakan-akan menekankan bahwa pemegang kontrak PKP2B tidak berhak mendapat perpanjangan, dan menggunakan dasar Pasal 169 Undang-Undang Minerba.
Pasal 169 itu menyatakan bahwa Kontrak Karya yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian dan ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan.
"Padahal itu depannya saja, yang dibahas adalah IUPK. Sementara IUPK perpanjangan itu berbeda. Ada dua rezim yang berlaku, yang berlaku sekarang di batang tubuhnya itu bagian-bagian depan saja. Justru untuk IUPK perpanjangan harus lihat pasal-pasal di belakang, terutama peralihan. Bagi usaha-usaha yang sudah ada dalam PKP2B diatur dalam peralihan," jelasnya.
Indra mengatakan kontraktor PKP2B berpegang pada Pasal 112 Ayat 2 PP 77 Tahun 2014. Pasal ini mengenalkan istilah IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama. Regulasi PP itu mengatur tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Intinya pasal ini mengatur PKP2B yang berakhir masa kontraknya dan belum mendapat perpanjangan, akan berubah menjadi IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa adanya proses lelang setelah berakhirnya Kontrak Karya.
"Inilah aturan yang sering dilupakan, bahwa kami juga diatur di undang-undang untuk mendapat hak ini," ujar Indra.
(gus) Next Article Tarik Ulur Beleid Batu Bara, ESDM Akan Terbitkan Dua PP
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan buka-bukaan di hadapan DPR soal di balik molornya revisi beleid tersebut. Menurutnya, untuk revisi PP 23 Tahun 2010 perlu disesuaikan dengan amanat Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009.
"Yang penting kalau PP 23/2010 ini dilakukan adendum, itu wajib ikuti UU Minerba nomor 4/2009. Intinya, kalau ini dilakukan tentunya banyak hal yang harus dilakukan, misalnya ditawarkan ke BUMN atau BUMD," tambah Jonan.
Adapun, terkait PP tersebut, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, nantinya akan ada dua PP, yang pertama yakni revisi PP 23/2010, tentang pertambangannya, dan satu lagi PP baru tentang penerimaan negara yang lebih baik dari IUPK batu bara.
Imbas dari belum rampungnya revisi PP ini adalah perpanjangan kontrak PT Tanito Harum yang dibatalkan.
"Belakangan kami terima copy tembusan dari Ketua KPK kepada Pak Presiden Jokowi yang bilang kalau revisi amandemen PP 23/2010 ini pada intinya wajib mengacu pada UU Minerba 2009. Akibatnya, (perpanjangan kontrak) PKP2B atas nama PT Tanito Harum itu tidak ada. Memang kami terbitkan tapi kami batalkan atas permitaan KPK, karena amandemennya belum ada," jelas Jonan dalam rapat bersama Komisi VII DPR, di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Revisi PP ini memang membuat tegang pengusaha batu bara dan Kementerian BUMN. Mulai panasnya persaingan ini dimulai saat surat Menteri BUMN Rini Soemarno kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada 1 Maret 2019 lalu, bocor ke publik.
Dalam surat tersebut, Rini menekankan sejatinya dalam revisi PP 23 Tthun 2010 ditekankan kembali amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 yakni kekayaan sumber daya alam, termasuk mineral dan batu bara merupakan kekayaan negara yang pengusahaannya harus dilakukan secara optimal untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
![]() |
"Dalam hal ini, BUMN sebagai kepanjangtanganan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam," tulis Rini dalam suratnya.
Dengan berbagai dasar hukum yang ia tuangkan, surat Rini ini kemudian membuat gaduh industri emas hitam di Tanah Air.
Pasalnya, saat negosiasi mengenai revisi PP sedang dilancarkan oleh pengusaha agar izin perpanjangan bisa disamakan dengan sektor mineral, surat ini membuat banyak pihak mulai menyoroti perpanjangan kontrak-kontrak batu bara raksasa yang akan habis dalam hitungan tahun.
Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada sebanyak tujuh perusahaan tambang batu bara yang akan habis atau terminasi dalam waktu dekat.
Ketujuh pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama itu adalah:
1. PT Tanito Harum yang habis di Januari 2019
2. PT Arutmin Indonesia pada 2020
3. PT Adaro Energy pada 2022
4. PT KPC pada 2021
5. PT Multi Harapan Utama pada 2022
6. PT Kideco Jaya Agung pada 2022
7. PT Berau Coal pada 2025.
Direktur dan Kepala Bagian Hukum Adaro Energy Moh Syah Indra Aman pernah mengatakan dari dasar hukum yang ada, Adaro dan perusahaan tambang lainnya justru memiliki hak untuk mendapat perpanjangan.
Ia menekankan hal yang sering diwacanakan belakangan seakan-akan menekankan bahwa pemegang kontrak PKP2B tidak berhak mendapat perpanjangan, dan menggunakan dasar Pasal 169 Undang-Undang Minerba.
Pasal 169 itu menyatakan bahwa Kontrak Karya yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian dan ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan.
"Padahal itu depannya saja, yang dibahas adalah IUPK. Sementara IUPK perpanjangan itu berbeda. Ada dua rezim yang berlaku, yang berlaku sekarang di batang tubuhnya itu bagian-bagian depan saja. Justru untuk IUPK perpanjangan harus lihat pasal-pasal di belakang, terutama peralihan. Bagi usaha-usaha yang sudah ada dalam PKP2B diatur dalam peralihan," jelasnya.
Indra mengatakan kontraktor PKP2B berpegang pada Pasal 112 Ayat 2 PP 77 Tahun 2014. Pasal ini mengenalkan istilah IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama. Regulasi PP itu mengatur tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Intinya pasal ini mengatur PKP2B yang berakhir masa kontraknya dan belum mendapat perpanjangan, akan berubah menjadi IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa adanya proses lelang setelah berakhirnya Kontrak Karya.
"Inilah aturan yang sering dilupakan, bahwa kami juga diatur di undang-undang untuk mendapat hak ini," ujar Indra.
(gus) Next Article Tarik Ulur Beleid Batu Bara, ESDM Akan Terbitkan Dua PP
Most Popular