AS Hampir Mustahil Perang Lawan Iran, Soalnya tak Ada Ongkos

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 June 2019 14:37
AS Hampir Mustahil Perang Lawan Iran, Soalnya tak Ada Ongkos
Presiden AS Donald Trump (REUTERS/Issei Kato)
Jakarta, CNBC Indonesia - Friksi Amerika Serikat (AS) dan Iran menajam akhir-akhir ini. Sejumlah pihak memperkirakan ketegangan bisa memuncak menjadi konflik bersenjata alias perang. 

Sejak Donald Trump terpilih menjadi presiden Negeri Adidaya, hubungan Washington-Teheran memang merenggang. Atas perintah Trump, AS keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran yang dibikin kala masa pemerintahan Presiden Barack Obama. 

Trump menuding Iran masih melakukan pengayaan uranium untuk kepentingan pembuatan senjata. Selain itu, Trump juga menengarai Iran terlibat sebagai dalam konflik di sejumlah negara Timur Tengah seperti Yaman dan Libya. 

Teranyar, mulai Senin waktu Washington, AS akan menerapkan sanksi baru terhadap Negeri Persia meski belum diketahui apa bentuknya. Sanksi ini datang selepas hubungan kedua negara yang memanas akibat Iran menembak jatuh drone milik AS.  


Trump meradang karena drone tersebut ditembak jatuh di area yang diklaim AS merupakan wilayah udara internasional. Sementara Iran menegaskan drone AS terbang di atas wilayah udara mereka. 

"Kami akan mengenakan sanksi tambahan kepada Iran pada Senin. Saya menantikan saat di mana sanksi-sanksi itu dihapus, sehingga mereka bisa kembali menjadi bangsa yang produktif dan makmur," cuit Trump di Twitter. 

Namun Iran masih panas. Teheran menegaskan bakal melawan segala bentuk ancaman dari Washington. 

"Apapun keputusan yang dibuat oleh pemerintah AS, kami tidak akan membiarkan batas wilayah dilanggar. Iran akan melawan dengan tegas segala agresi dan ancaman dari AS," kata Abbas Mousavi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, mengutip Reuters. 

Apabila friksi AS-Iran terus tereskalasi, bukan tidak mungkin akan memuncak menjadi konflik bersenjata alias perang. Amit-amit, semoga tidak terjadi. Namun Trump sendiri menyatakan bahwa opsi aksi militer selalu ada di atas meja. 

Bahkan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad memperingatkan bahwa jika ketegangan AS-Iran terus tereskalasi, maka bukan tidak mungkin akan menyebabkan perang dunia ketiga. Sebuah risiko yang tidak main-main. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun melihat kondisi obyektif, apakah AS siap untuk memulai perang baru? 

Sepertinya tidak. Terakhir, perang besar yang melibatkan AS adalah Perang Teluk II di Afghanistan dan Iran pada awal milenium ketiga. Perang itu menghabiskan banyak uang. 

Mengutip laporan Badan Anggaran Kongres AS, perang Irak-Afganistan menghabiskan dana US$ 604 miliar sepanjang 2001-2007. Kemudian pada 2008-2017, anggarannya berpotensi membengkak menjadi US$ 1,05 triliun karena AS masih menempatkan pasukan di wilayah tersebut. 

Sebagai catatan, Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada 2017 adalah US$ 19,39 triliun. Artinya biaya perang Irak-Afganistan menelan dana 5,41% dari PDB Negeri Paman Sam. 

Perang itu mahal, sangat mahal. Dengan kondisi anggaran AS yang sekarang, sepertinya sulit menyisihkan duit untuk mengongkosi perang. 

Apalagi Presiden Trump sudah memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) pada akhir 2017. Artinya akan ada potensi pengurangan penerimaan pajak, yang membuat defisit anggaran semakin dalam. 

Badan Anggaran Kongres AS memperkirakan defisit anggaran AS pada akhir 2019 adalah US$ 897 miliar. Ke depan, tren defisit anggaran AS bukannya menurun tetapi stabil di atas US$ 1 triliun. 

 

Dari sisi anggaran, sudah sangat sulit bagi AS untuk membiayai perang. Ini membuat risiko perang dengan Iran bisa berkurang. 

Faktor lain yang bisa membuat AS menahan diri untuk tidak berperang dengan Iran adalah harga minyak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden Trump sangat tidak suka dengan harga minyak yang terlalu tinggi.  


Baca: Harga Minyak Tinggi, Trump Tuding OPEC 'Curangi' Dunia

Sementara jika konflik AS-Iran terus terjadi dan berujung kepada perang, maka bisa dipastikan harga si emas hitam bakal meroket. Tidak sekadar naik, tetapi meroket.   

Sebab, perang akan membuat produksi dan distribusi minyak dari Timur Tengah terhambat. Padahal wilayah ini adalah penghasil minyak terbesar di dunia. 

Kenaikan harga minyak akan membuat harga energi melonjak. Ketika harga energi naik, maka biaya hidup dunia usaha dan rumah tangga menjadi lebih berat.  

Ini bisa berujung kepada berkurangnya investasi korporasi dan konsumsi rumah tangga. Saat dua komponen ini melambat, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pasti akan melambat.

Trump, yang akan maju lagi dalam Pilpres AS tahun depan, tentu tidak ingin terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sebab, selama ini 'komoditas' yang dijual Trump adalah pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Make America Great Again

Tidak heran Trump sangat tidak suka jika harga minyak naik, karena hal itu bisa berdampak terhadap elektabilitasnya. Jadi, sangat tidak masuk akal jika Trump memulai perang terhadap Iran. 

Kesimpulannya, AS yang sekarang hampir mustahil untuk maju perang. Konsekuensinya terlalu tinggi, tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh. Trump adalah seorang pebisnis, tentu dia tahu ketika risiko lebih besar ketimbang cuan maka lebih baik mundur. Not worth it...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular