AS Hampir Mustahil Perang Lawan Iran, Soalnya tak Ada Ongkos

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 June 2019 14:37
Defisit Anggaran AS Sudah Bengkak
Presiden AS Donald Trump (REUTERS/Carlos Barria)
Namun melihat kondisi obyektif, apakah AS siap untuk memulai perang baru? 

Sepertinya tidak. Terakhir, perang besar yang melibatkan AS adalah Perang Teluk II di Afghanistan dan Iran pada awal milenium ketiga. Perang itu menghabiskan banyak uang. 

Mengutip laporan Badan Anggaran Kongres AS, perang Irak-Afganistan menghabiskan dana US$ 604 miliar sepanjang 2001-2007. Kemudian pada 2008-2017, anggarannya berpotensi membengkak menjadi US$ 1,05 triliun karena AS masih menempatkan pasukan di wilayah tersebut. 

Sebagai catatan, Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada 2017 adalah US$ 19,39 triliun. Artinya biaya perang Irak-Afganistan menelan dana 5,41% dari PDB Negeri Paman Sam. 

Perang itu mahal, sangat mahal. Dengan kondisi anggaran AS yang sekarang, sepertinya sulit menyisihkan duit untuk mengongkosi perang. 

Apalagi Presiden Trump sudah memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) pada akhir 2017. Artinya akan ada potensi pengurangan penerimaan pajak, yang membuat defisit anggaran semakin dalam. 

Badan Anggaran Kongres AS memperkirakan defisit anggaran AS pada akhir 2019 adalah US$ 897 miliar. Ke depan, tren defisit anggaran AS bukannya menurun tetapi stabil di atas US$ 1 triliun. 

 

Dari sisi anggaran, sudah sangat sulit bagi AS untuk membiayai perang. Ini membuat risiko perang dengan Iran bisa berkurang. 

Faktor lain yang bisa membuat AS menahan diri untuk tidak berperang dengan Iran adalah harga minyak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden Trump sangat tidak suka dengan harga minyak yang terlalu tinggi.  

Baca: Harga Minyak Tinggi, Trump Tuding OPEC 'Curangi' Dunia

Sementara jika konflik AS-Iran terus terjadi dan berujung kepada perang, maka bisa dipastikan harga si emas hitam bakal meroket. Tidak sekadar naik, tetapi meroket.   

Sebab, perang akan membuat produksi dan distribusi minyak dari Timur Tengah terhambat. Padahal wilayah ini adalah penghasil minyak terbesar di dunia. 

Kenaikan harga minyak akan membuat harga energi melonjak. Ketika harga energi naik, maka biaya hidup dunia usaha dan rumah tangga menjadi lebih berat.  

Ini bisa berujung kepada berkurangnya investasi korporasi dan konsumsi rumah tangga. Saat dua komponen ini melambat, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pasti akan melambat.

Trump, yang akan maju lagi dalam Pilpres AS tahun depan, tentu tidak ingin terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sebab, selama ini 'komoditas' yang dijual Trump adalah pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Make America Great Again

Tidak heran Trump sangat tidak suka jika harga minyak naik, karena hal itu bisa berdampak terhadap elektabilitasnya. Jadi, sangat tidak masuk akal jika Trump memulai perang terhadap Iran. 

Kesimpulannya, AS yang sekarang hampir mustahil untuk maju perang. Konsekuensinya terlalu tinggi, tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh. Trump adalah seorang pebisnis, tentu dia tahu ketika risiko lebih besar ketimbang cuan maka lebih baik mundur. Not worth it...

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/prm)

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular