Mari Resapi Kenapa #PecatBudiKarya Bisa Sampai Menggema

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
08 May 2019 12:50
Mari Resapi Kenapa #PecatBudiKarya Bisa Sampai Menggema
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Rasa tidak suka masyarakat dunia maya (netizen) Indonesia terhadap Menteri Perhubungan Indonesia Budi Karya Sumadi tampaknya kian menjadi-jadi. Bahkan pada platform media sosial Twitter, tagar #PecatBudiKarya sempat menjadi trending pada hari Selasa (7/5/2019).

Sebagai informasi, trending di Twitter berarti tagar tersebut banyak digunakan oleh netizen dalam postingan mereka. Namun mengapa netizen sampai merasa Budi Karya pantas dipecat dari jabatannya sebagai pucuk pimpinan regulator bidang transportasi di Indonesia.

Setidaknya ada beberapa alasan yang agaknya berhubungan dengan hal tersebut.



Harga Tiket Pesawat yang Meroket

Sudah bukan rahasia umum bahwa harga tiket pesawat masih bisa dibilang mahal. Sudah sejak tahun lalu harga tiket memang agaknya sulit dijangkau oleh masyarakat.

Bayangkan saja, harga tiket Jakarta-Padang untuk keberangkatan Kamis (9/5/2019) paling murah saja mencapai Rp 1.266.800 untuk orang dewasa (penelusuran situs Traveloka, 8 Mei 2019 pukul 11:00 WIB). Padahal harga tiket serupa hanya berkisar Rp 600.000-an pada tahun-tahun sebelumnya.

Padahal harga minyak global tahun ini masih relatif lebih rendah. Rata-rata harga minyak Brent sepanjang kuartal I-2019 tercatat lebih rendah hingga 5,04% dibanding rata-rata kuartal I-2018. Diketahui komponen bahan bakar memiliki andil yang paling besar dalam pembentukan biaya operasional penerbangan.



Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan sudah tiga bulan berturut-turut (Februari-April) mengalami inflasi. Sebagaimana diketahui, komponen harga tiket pesawat memiliki andil yang cukup besar dalam pembentukan indeks harga konsumen di kelompok tersebut.

Bahkan dalam beberapa kesempatan konferensi pers, Kepala BPS, Suhariyanto juga mengungkapkan asalan inflasi di kelompok tersebut utamanya adalah kenaikan harga tiket pesawat.

Dampaknya juga dapat dilihat dengan kasat mata. Masih dari BPS, jumlah penumpang angkutan udara domestik sepanjang kuartal I-2019 anjlok hingga 17,66% dibanding kuartal I-2018. Ini memperlihatkan semakin banyak orang yang tidak lagi dapat menikmati layanan penerbangan udara.

Tak berhenti sampai di situ, dampaknya juga meluas ke Tingkat Penghunian Hotel (TPK). Tercatat selama 3 bulan pertama 2019 (Januari, Februari, Maret), TPK di Indonesia selalu berada jauh di bawah tahun sebelumnya. Rata-rata TPK Indonesia sepanjang kuartal I-2019 hanya sebesar 52,26% yang mana turun 2,8 persen poin dibanding kuartal I-2018 yang mencapai 55,07%.



Artinya bukan hanya konsumen yang kemungkinan besar tidak suka kepada Budi Karya, namun pelaku industri pariwisata pun demikian.

Memang, sudah ada kebijakan penetapan tarif batas atas dan tarif batas bawah untuk membuat persaingan usaha antar maskapai penerbangan lebih sehat. Tapi kenyataannya kebijakan tersebut tidak memiliki dampak yang signifikan, karena ternyata tarif batas atas yang ditetapkan dinilai masih terlalu tinggi.

Hingga saat ini, memang harus diakui bahwa Budi Karya masih belum berhasil menjawab tantangan harga tiket mahal.

BERLANJUT KE HALAMAN SELANJUTNYA >> 'Gonjang-Ganjing Tarif Ojol'

Gonjang-Ganjing Tarif Ojek Online (Ojol)

Tak hanya tarif pesawat. Tarif ojek online pun dibuat bak roller coaster oleh Kementerian Perhubungan kita.

Atas dasar meningkatkan kesejahteraan pengemudi, Kementerian Perhubungan telah menetapkan tarif batas atas dan tarif batas bawah, serta tarif minimal untuk ojol. Penetapan tarif baru pun bervariasi dengan rincian sebagai berikut:

Zonasi I
Tarif Batas Bawah : Rp 1.850/Km
Tarif Batas Atas : Rp 2.300/Km
Biaya Jasa Minimal : Rp 7.000-Rp 10.000/Km

Zonasi II
Tarif Batas Bawah : Rp 2.000/Km
Tarif Batas Atas : Rp 2.500/Km
Biaya Jasa Minimal : Rp 8.000-Rp 10.000/Km

Zonasi III
Tarif Batas Bawah : Rp 2.100/Km
Tarif Batas Atas : Rp 2.600/Km
Biaya Jasa Minimal : Rp 7.000-Rp 10.000/Km

- Zonasi I adalah Sumatera, Bali, Jawa minus Jabodetabek
- Zonasi II adalah Jabodetabek
- Zonasi III adalah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.

Dengan adanya tarif tersebut, pengemudi memang berpotensi meningkatkan pendapatan sekitar 30%. Namun begitu pula biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna. Dampaknya tentu saja akan menurunkan permintaan (demand). Bahkan salah satu aplikator ojol, Gojek, secara terang-terangan mengatakan bahwa terjadi penurunan permintaan yang membuat perusahaan tersebut sempat tidak lagi memakai tarif baru.

Sebagai informasi, seharusnya ada masa uji coba tarif baru selama satu minggu mulai tanggal 1 Mei 2019. Namun setelah tiga hari diterapkan, Gojek memutuskan memakai tarif lama tanggal 4 Mei 2019. Satu hari berselang, Gojek secara tiba-tiba mengumumkan penggunaan (lagi) tarif baru yang ditetapkan oleh pemerintah.

Artinya memang keputusan peningkatan tarif bukan hal yang mudah, baik bagi pengguna maupun aplikator. Di satu sisi memang penghasilan pengemudi berpotensi meningkat, karena harga yang dihasilkan dari satu perjalanan bisa bertambah.

Tapi perlu diingat bahwa dalam dunia usaha ada hubungan yang tidak searah antara permintaan dengan harga suatu produk. Bila harga yang ditetapkan jauh di atas harga keseimbangan (equilibrium), alih-alih keuntungan meningkat, yang ada malah rugi karena sepi permintaan.

Kecuali kalau memang tujuan kementerian adalah untuk mengalihkan pengguna transportasi ke moda yang lain, seperti busway, angkot, atau kereta.

Selain itu, tarif yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan juga hanya sebatas himbauan. Artinya aplikator memiliki kewenangan penuh atas tarif yang akan digunakan. Bila tidak mengikuti ketetapan pemerintah, ya tidak ada konsekuensi yang konkret.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular