
Investasi China di Tengah Pusaran Pilpres 2019
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
16 April 2019 17:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang pemilihan umum presiden (pilpres), Rabu (17/4/2019), masalah nasionalisme ekonomi dan agama banyak digemakan.
Dalam pemilu kali ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemilihan presiden dan para anggota legislatif akan dilakukan serentak.
Pada pemilu 2019, akan dipilih sepasang presiden dan wakil presiden, 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPR Provinsi, dan 17.610 anggota DPRD Kota/Kabupaten.
Presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) akan bertarung untuk meraih masa jabatan kedua, bersaing dengan Prabowo Subianto, pensiunan jenderal dan bekas menantu mantan Presiden Suharto.
Memperhitungkan China
Seperti pemilihan umum baru-baru ini di banyak negara berkembang, masalah pengaruh China terhadap politik dan bisnis lokal juga menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Kandidat presiden nomor dua, Prabowo, sangat menentang adanya pengaruh asing di Indonesia.
"Prabowo adalah seorang ultra-nasionalis yang selama kampanye pemilu telah berulang kali menyalahkan investor asing dan negara-negara lain atas penyakit yang dihadapi Indonesia," kata Peter Mumford, kepala praktik Asia Tenggara dan Selatan di Grup Eurasia, sebuah lembaga konsultasi risiko, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu Jokowi, selama masa jabatannya aktif menarik investasi dari China untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur besar di seluruh Indonesia.
Beberapa proyek yang ada investasi China di dalamnya, termasuk kereta api berkecepatan tinggi berbiaya miliaran yang menghubungkan Jakarta dan Bandung, serta proyek-proyek lain seperti pembangkit listrik. Proyek-proyek itu banyak dikritik.
"Prabowo sangat kritis terhadap investasi China di Indonesia, dan para pendukungnya telah berulang kali membangkitkan sentimen China," kata Mumford.
Prabowo sering kali menggemakan kritik, menyebut perusahaan China menetapkan bunga yang terlalu tinggi, menyebabkan utang, dan kurangnya lapangan kerja lokal dari proyek-proyek tersebut.
Beberapa perusahaan China ada yang mengirimkan karyawan tingkat rendah dari China untuk mengerjakan proyek-proyek Indonesia dan bukannya merekrut penduduk setempat, kata Made Supriatma, yang merupakan rekan tamu di program Studi Indonesia di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Indonesia.
Prabowo mengatakan dalam debat di televisi dengan Jokowi, Sabtu, bahwa pembangunan infrastruktur besar-besaran adalah jalan satu arah.
"Negara ini tidak menghasilkan apa pun, negara hanya menerima produk negara lain," katanya, menurut laporan Nikkei Asian Review.
Sebagai balasannya, Jokowi mengatakan Indonesia "tidak bisa hanya mengekspor barang tanpa membangun infrastruktur yang diperlukan."
Meski begitu, tidak jelas apakah Prabowo memiliki dendam yang mendalam pada China.
Faktanya, sebuah survei musim panas 2018 yang dilakukan oleh Pew Research Center menemukan bahwa 53% orang Indonesia memiliki pandangan yang baik tentang ekonomi terbesar di Asia itu. Namun, angka itu turun dari 66% pada 2014 ketika pemilihan terakhir diadakan.
Prabowo telah melahirkan kekhawatiran bahwa pengaruh China sangat besar dan Indonesia menjadi tergantung secara ekonomi. Dia berjanji untuk meninjau investasi China dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Perdana Menteri Malaysia saat ini, Mahathir Mohamad, dalam kampanye dulu.
Retorika itu menimbulkan ketidaknyamanan bagi investor asing.
Sekarang ada "kegelisahan atas nasionalisme ekonomi agresif Prabowo. Dia telah berbicara tentang meninjau kembali proyek-proyek investasi China di negara itu, yang dapat menyebabkan perlambatan belanja infrastruktur," kata Capital Economics dalam catatan riset baru-baru ini.
Secara khusus, "hubungan dengan China mungkin lebih buruk di bawah pimpinan Prabowo dibandingkan masa jabatan presiden Jokowi yang kedua," kata Mumford dari Eurasia.
Di samping retorika, pragmatisme mungkin akan mencuat begitu Prabowo berkuasa, dan seandainya ia memenangkan pemilihan, kata Mumford.
Itu terutama karena bisnis keluarga Prabowo telah membentuk usaha patungan dengan perusahaan asing, "jadi dia jelas tidak sepenuhnya menolak investasi dari luar negeri," kata Mumford.
Namun demikian, Mumford menambahkan, "Prabowo akan menjadi sumber sentimen negatif bagi investor asing, terutama karena ia juga akan lebih mempersempit jalan pertumbuhan bisnis dengan merampingkan perizinan dan persetujuan izin, dibanding Jokowi."
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Bidang lain yang menarik bagi pengamat pemilu adalah bahwa Jokowi dan Prabowo berhadapan dalam kampanye yang semakin berfokus pada agama, menurut Supriatma.
"Kedua kandidat tidak begitu berbeda dalam hal pendekatan (umum) mereka terhadap ekonomi dan kebijakan, sehingga mereka mencoba membuat perbedaan di antara mereka melalui agama," kata Supriatma.
Prabowo, khususnya, menantang kepresidenan Jokowi dengan memposisikan dirinya sebagai "pembela" Islam, kata Supriatma.
Mantan jenderal itu telah membentuk pakta pra-pemilihan dengan kelompok-kelompok Islam garis keras, yang mencakup janji untuk merehabilitasi Rizieq Shihab, pemimpin kelompok ekstremis FPI atau Front Pembela Islam, yang saat ini dalam pengasingan di Arab Saudi.
Jokowi sendiri telah memilih seorang ulama Muslim konservatif sebagai calon wakilnya untuk meningkatkan kepercayaan agamanya sendiri. Hal itu telah mengecewakan beberapa pendukungnya ketika Jokowi berkampanye sebagai seorang progresif pada tahun 2014.
Itu terjadi setelah mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kalah dalam pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017. Dia telah menyulut serangkaian protes dan dipenjara karena dianggap menghina Islam dan kemudian dinyatakan bersalah atas penistaan agama.
Meskipun terlihat ada ketegangan di Indonesia terhadap warga etnis Tionghoa, namun dalam kasus Ahok, ia banyak dikecam karena beragama Kristen, menurut Supriatma.
"Pemilihan ini akan menentukan peran Islam di Indonesia," kata Supriatma, mengutip CNBC International.
Jika Jokowi menang, negara Asia Tenggara itu kemungkinan akan melanjutkan jalannya sebagai negara mayoritas Muslim dengan kecenderungan moderat, ramalnya. Ia juga menambahkan bahwa pemerintahan Prabowo akan kurang dapat diprediksi.
"Islamisasi politik kemungkinan akan tetap menjadi masalah di bawah kepresidenan Jokowi atau Prabowo, bahkan jika tidak menjadi ancaman besar bagi demokrasi sekuler Indonesia," kata Mumford.
Saksikan video Prabowo yang sindir impor produk pertanian berikut ini.
(prm) Next Article Prabowo Vs Jokowi di Pilpres 2019 Bikin Penjualan Mobil Lesu?
Dalam pemilu kali ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemilihan presiden dan para anggota legislatif akan dilakukan serentak.
Pada pemilu 2019, akan dipilih sepasang presiden dan wakil presiden, 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPR Provinsi, dan 17.610 anggota DPRD Kota/Kabupaten.
Memperhitungkan China
Seperti pemilihan umum baru-baru ini di banyak negara berkembang, masalah pengaruh China terhadap politik dan bisnis lokal juga menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Kandidat presiden nomor dua, Prabowo, sangat menentang adanya pengaruh asing di Indonesia.
"Prabowo adalah seorang ultra-nasionalis yang selama kampanye pemilu telah berulang kali menyalahkan investor asing dan negara-negara lain atas penyakit yang dihadapi Indonesia," kata Peter Mumford, kepala praktik Asia Tenggara dan Selatan di Grup Eurasia, sebuah lembaga konsultasi risiko, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu Jokowi, selama masa jabatannya aktif menarik investasi dari China untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur besar di seluruh Indonesia.
Beberapa proyek yang ada investasi China di dalamnya, termasuk kereta api berkecepatan tinggi berbiaya miliaran yang menghubungkan Jakarta dan Bandung, serta proyek-proyek lain seperti pembangkit listrik. Proyek-proyek itu banyak dikritik.
![]() |
"Prabowo sangat kritis terhadap investasi China di Indonesia, dan para pendukungnya telah berulang kali membangkitkan sentimen China," kata Mumford.
Prabowo sering kali menggemakan kritik, menyebut perusahaan China menetapkan bunga yang terlalu tinggi, menyebabkan utang, dan kurangnya lapangan kerja lokal dari proyek-proyek tersebut.
Beberapa perusahaan China ada yang mengirimkan karyawan tingkat rendah dari China untuk mengerjakan proyek-proyek Indonesia dan bukannya merekrut penduduk setempat, kata Made Supriatma, yang merupakan rekan tamu di program Studi Indonesia di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Indonesia.
Prabowo mengatakan dalam debat di televisi dengan Jokowi, Sabtu, bahwa pembangunan infrastruktur besar-besaran adalah jalan satu arah.
"Negara ini tidak menghasilkan apa pun, negara hanya menerima produk negara lain," katanya, menurut laporan Nikkei Asian Review.
Sebagai balasannya, Jokowi mengatakan Indonesia "tidak bisa hanya mengekspor barang tanpa membangun infrastruktur yang diperlukan."
Meski begitu, tidak jelas apakah Prabowo memiliki dendam yang mendalam pada China.
Faktanya, sebuah survei musim panas 2018 yang dilakukan oleh Pew Research Center menemukan bahwa 53% orang Indonesia memiliki pandangan yang baik tentang ekonomi terbesar di Asia itu. Namun, angka itu turun dari 66% pada 2014 ketika pemilihan terakhir diadakan.
Prabowo telah melahirkan kekhawatiran bahwa pengaruh China sangat besar dan Indonesia menjadi tergantung secara ekonomi. Dia berjanji untuk meninjau investasi China dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Perdana Menteri Malaysia saat ini, Mahathir Mohamad, dalam kampanye dulu.
Retorika itu menimbulkan ketidaknyamanan bagi investor asing.
Sekarang ada "kegelisahan atas nasionalisme ekonomi agresif Prabowo. Dia telah berbicara tentang meninjau kembali proyek-proyek investasi China di negara itu, yang dapat menyebabkan perlambatan belanja infrastruktur," kata Capital Economics dalam catatan riset baru-baru ini.
Secara khusus, "hubungan dengan China mungkin lebih buruk di bawah pimpinan Prabowo dibandingkan masa jabatan presiden Jokowi yang kedua," kata Mumford dari Eurasia.
Di samping retorika, pragmatisme mungkin akan mencuat begitu Prabowo berkuasa, dan seandainya ia memenangkan pemilihan, kata Mumford.
![]() |
Itu terutama karena bisnis keluarga Prabowo telah membentuk usaha patungan dengan perusahaan asing, "jadi dia jelas tidak sepenuhnya menolak investasi dari luar negeri," kata Mumford.
Namun demikian, Mumford menambahkan, "Prabowo akan menjadi sumber sentimen negatif bagi investor asing, terutama karena ia juga akan lebih mempersempit jalan pertumbuhan bisnis dengan merampingkan perizinan dan persetujuan izin, dibanding Jokowi."
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Bidang lain yang menarik bagi pengamat pemilu adalah bahwa Jokowi dan Prabowo berhadapan dalam kampanye yang semakin berfokus pada agama, menurut Supriatma.
"Kedua kandidat tidak begitu berbeda dalam hal pendekatan (umum) mereka terhadap ekonomi dan kebijakan, sehingga mereka mencoba membuat perbedaan di antara mereka melalui agama," kata Supriatma.
![]() |
Prabowo, khususnya, menantang kepresidenan Jokowi dengan memposisikan dirinya sebagai "pembela" Islam, kata Supriatma.
Mantan jenderal itu telah membentuk pakta pra-pemilihan dengan kelompok-kelompok Islam garis keras, yang mencakup janji untuk merehabilitasi Rizieq Shihab, pemimpin kelompok ekstremis FPI atau Front Pembela Islam, yang saat ini dalam pengasingan di Arab Saudi.
![]() |
Jokowi sendiri telah memilih seorang ulama Muslim konservatif sebagai calon wakilnya untuk meningkatkan kepercayaan agamanya sendiri. Hal itu telah mengecewakan beberapa pendukungnya ketika Jokowi berkampanye sebagai seorang progresif pada tahun 2014.
Itu terjadi setelah mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kalah dalam pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017. Dia telah menyulut serangkaian protes dan dipenjara karena dianggap menghina Islam dan kemudian dinyatakan bersalah atas penistaan agama.
Meskipun terlihat ada ketegangan di Indonesia terhadap warga etnis Tionghoa, namun dalam kasus Ahok, ia banyak dikecam karena beragama Kristen, menurut Supriatma.
"Pemilihan ini akan menentukan peran Islam di Indonesia," kata Supriatma, mengutip CNBC International.
Jika Jokowi menang, negara Asia Tenggara itu kemungkinan akan melanjutkan jalannya sebagai negara mayoritas Muslim dengan kecenderungan moderat, ramalnya. Ia juga menambahkan bahwa pemerintahan Prabowo akan kurang dapat diprediksi.
"Islamisasi politik kemungkinan akan tetap menjadi masalah di bawah kepresidenan Jokowi atau Prabowo, bahkan jika tidak menjadi ancaman besar bagi demokrasi sekuler Indonesia," kata Mumford.
Saksikan video Prabowo yang sindir impor produk pertanian berikut ini.
(prm) Next Article Prabowo Vs Jokowi di Pilpres 2019 Bikin Penjualan Mobil Lesu?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular