Pantaskah Harga Gula Tinggi, Saat RI Rajin Impor Beras?

Roy Franedya, CNBC Indonesia
12 January 2019 18:59
Indonesia perlu melakukan perbaikan pada pabrik gula agar harga bisa lebih murah.
Foto: Seorang buruh membawa karung berisi gula ke truk pasokan di pasar grosir di Kolkata, India, 14 November 2018. REUTERS / Rupak De Chowdhuri
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior Faisal Basri kembali mengkritik tata niaga pangan pemerintah. Kali ini sasarannya diarahkan pada impor gula yang tinggi dan tingginya harga eceran gula.

Faisal Basri menyebut selama periode 2017/2018, Indonesia sudah mengimpor gula sekitar 4,45 juta metrik ton gula. Volume ini melebihi impor gula China sebesar 4,2 juta metrik ton dan AS yang mencapai 3,11 juta metrik ton. Indonesia pun didapat sebagai negara pengimpor gula terbesar di dunia.


"Praktek rente gila-gilaan seperti ini berkontribusi memperburuk defisit perdagangan," tulisnya seperti dikutip CNBC Indonesia, Sabtu (12/1/2019).

Dia bahkan mengatakan pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk menekan defisit neraca dagang, kecuali memerangi praktek ini dan memecat Menteri Perdagangan.

Tidak hanya hari ini, kemarin Faisal juga menyoroti harga eceran gula di Indonesia yang menurutnya lebih mahal 2,4-3,4 kali lipat dibandingkan harga gula dunia sepanjang Januari 2017 - November 2018.

"Impor gula rafinasi membanjir. Pemburu rente meraup triliunan rupiah. Mengapa semua diam?" cuitnya.

Dia menunjukkan perbandingan pergerakan harga gula dunia yang bersumber dari data Bank Dunia dengan harga gula di pasar domestik yang bersumber dari data BPS. 


Data tersebut menunjukkan, harga eceran gula dunia bergerak turun dari US$ 0,45 per kg di Januari 2017 ke level US$ 0,28 per kg di November tahun lalu.

Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen tak mempermasalahkan sorotan Faisal Basri. "Yang jadi permasalahan petani, gula itu diimpor tidak tepat waktu. Jumlahnya perlu dikaji. Periodenya itu. Tanpa impor omomg kosong penuhi kebutuhan dalam negeri," katanya.

Menurut Soemitro, Indonesia memang membutuhkan impor gula. Akan tetapi, semua pihak juga harus mengusahakan agar swasembada gula terwujud. 

APTRI memperkirakan produksi gula dalam negeri mencapai 2,2 juta ton. Sedangkan kebutuhan gula untuk konsumsi berada pada rentang 2,6 juta ton sampai dengan 2,8 juta ton. "Jadi kalau kita ngomong produksi gula nasional dibandingkan kebutuhan kita kurang. Tapi jangan mau panen kita malah impor," ujar Soemitro.

Soemitro Samadikoen menilai harga gula yang dinilai kemahalan dapat dinilai dari dua sudut pandang. Dari sisi konsumen atau produsen. 

Namun, terlepas dari sudut pandang itu, harga gula dapat lebih murah, asal ada perbaikan pada pabrik gula.

Sekadar gambaran, rendemen atau tingkat ekstraksi tebu di Indonesia hanya 7,50%, menurut Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). Angka itu berada di bawah Filipina (9,20%) dan Thailand (10,70%).

CIPS melaporkan, apabila ketiga negara itu memproduksi gula dalam jumlah yang sama, Indonesia perlu panen 22,67% lebih banyak dari Filipina dan 42,67% lebih banyak dari pada Thailand.

"Kalau rendemen bisa naik dari 7% menjadi 14%, maka HET (harga eceran tertinggi) gula bisa menjadi Rp 7.000 per kg, bahkan Rp 6.000 per kg. Selama rendemen 7%, petani baru impas kalau harga Rp 12.000 per kg, kalau harga Rp 7.000 per kg masih susah," ujar Soemitro.

[Gambas:Video CNBC]


(roy/roy) Next Article RI yang Gemar Impor dan Harga Gula nan Tinggi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular