
Curhat Amien Sunaryadi Sebelum Pensiun dari Kepala SKK Migas
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
20 November 2018 11:46

Jakarta, CNBC Indonesia- Amien Sunaryadi resmi pensiun dari jabatannya sebagai Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) hari ini. Hal itu dikonfirmasi sendiri olehnya.
"Iya betul," jawabnya, kepada CNBC Indonesia, Selasa (20/11/2018).
Sebelum masa pensiunnya tiba, Amien sering berkata, di masa jabatannya sudah banyak lapangan-lapangan tua di Indonesia, yang membuat kinerja produksi migas belum bisa maksimal. Tak hanya itu, ia juga mengungkapkan keresahannya atas permasalahan di sektor hulu migas Indonesia. Terutama soal minimnya investasi yang masuk.
Data SKK Migas per September 2018, hanya terdapat 74 wilayah kerja (WK) migas yang sudah berproduksi, dari total 224 WK yang ada di Indonesia.
Amien Sunaryadi menuturkan, 74 WK yang sudah berproduksi tersebut mayoritas adalah WK yg sudah mature (berumur tua). Ini menyiratkan, lifting migas trennya memang sedang menurun sedangkan biaya produksi (cost recovery) trennya tidak menurun.
"Prioritas yang harus dilakukan Indonesia adalah eksplorasi. Sedangkan, eksplorasi membutuhkan capital tinggi, teknologi tinggi, dan kemampuan menghitung risiko," ujar Amien melalui keterangan resminya, Senin (15/10/2018).
Situasi ini pun membuat Amien sering "disemprot" oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan. Jonan menegurnya, mempertanyakan kenapa biaya produksi mahal, tetapi produksinya kecil.
Bagaimana tidak? Pasalnya, Indonesia dulu pernah berjaya sebagai negara pengekspor minyak mentah. Namun, seiring berjalannya waktu, kini kondisi berbalik. Indonesia pun menjadi net importir, karena banyaknya lapangan minyak di Indonesia yang usianya sudah sepuh. Akhirnya produksi pun tergerus.
Amien mengakui, lapangan minyak Indonesia saat ini memang cukup berisiko. Sebab, penemuan minyak di hulu kecil, sehingga butuh biaya yang besar untuk terus menggenjot kinerjanya.
"Sementara produksi tidak jalan, impor BBM terus naik karena populasi manusia bertambah dan konsumsi tetap," tutur Amien ketika menyampaikan sambutannya dalam sebuah diskusi energi di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Karena itu, tuturnya, dia meminta agar lapangan-lapangan tua ini diutak-atik agar tetap bisa berproduksi, selain juga sambil mencari lapangan baru yang masih hijau.
"Jika tidak begitu, ya jadi impor saja terus. Tantangan kita produksi naik, discovery besar. Jadi paling tidak, coba lapangan eksisting diutak-atik. Sebanyak 47% lapangan kita umurnya di atas 25 tahun," jelasnya.
"Mature feed kita itu dibagian buntut saja, produksi turun, cost tidak turun. Saya dimarahi terus deh sama bos saya (Jonan)," ungkap Amien.
Lebih lanjut, Amien mengungkapkan kenapa atasannya itu marah karena memang saat menjabat sebagai orang nomor satu di Kementerian ESDM ini saat lapangan-lapangan yang dimaksud sudah memasuki usia 20 tahun ke atas. Salah satu lapangan tua yang ada di Indonesia adalah Sukowati yang dikelola PT Pertamina EP.
Padahal, jika melirik lapangan yang lain, sebut Amien masih ada yang masih hijau, produksinya juga masih banyak. Amien menyebut salah satu lapangan yang produksinya masih mengalir banyak adalah di Lapangan Banyu Urip.
"Beliau jadi menterinya pas di buntut, coba di depan. Coba analisisnya di Banyu Urip, produksinya naik, cost turun. Kan enak kan, tapi coba pegang Banyu Urip kira-kira 20 tahun lagi, ya sengsara juga," tandasnya seraya diiringi tawa.
(gus) Next Article SKK Migas: Lifting Turun, RI Tak Butuh Kontraktor Dhuafa
"Iya betul," jawabnya, kepada CNBC Indonesia, Selasa (20/11/2018).
Data SKK Migas per September 2018, hanya terdapat 74 wilayah kerja (WK) migas yang sudah berproduksi, dari total 224 WK yang ada di Indonesia.
Amien Sunaryadi menuturkan, 74 WK yang sudah berproduksi tersebut mayoritas adalah WK yg sudah mature (berumur tua). Ini menyiratkan, lifting migas trennya memang sedang menurun sedangkan biaya produksi (cost recovery) trennya tidak menurun.
"Prioritas yang harus dilakukan Indonesia adalah eksplorasi. Sedangkan, eksplorasi membutuhkan capital tinggi, teknologi tinggi, dan kemampuan menghitung risiko," ujar Amien melalui keterangan resminya, Senin (15/10/2018).
Situasi ini pun membuat Amien sering "disemprot" oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan. Jonan menegurnya, mempertanyakan kenapa biaya produksi mahal, tetapi produksinya kecil.
Bagaimana tidak? Pasalnya, Indonesia dulu pernah berjaya sebagai negara pengekspor minyak mentah. Namun, seiring berjalannya waktu, kini kondisi berbalik. Indonesia pun menjadi net importir, karena banyaknya lapangan minyak di Indonesia yang usianya sudah sepuh. Akhirnya produksi pun tergerus.
Amien mengakui, lapangan minyak Indonesia saat ini memang cukup berisiko. Sebab, penemuan minyak di hulu kecil, sehingga butuh biaya yang besar untuk terus menggenjot kinerjanya.
"Sementara produksi tidak jalan, impor BBM terus naik karena populasi manusia bertambah dan konsumsi tetap," tutur Amien ketika menyampaikan sambutannya dalam sebuah diskusi energi di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Karena itu, tuturnya, dia meminta agar lapangan-lapangan tua ini diutak-atik agar tetap bisa berproduksi, selain juga sambil mencari lapangan baru yang masih hijau.
"Jika tidak begitu, ya jadi impor saja terus. Tantangan kita produksi naik, discovery besar. Jadi paling tidak, coba lapangan eksisting diutak-atik. Sebanyak 47% lapangan kita umurnya di atas 25 tahun," jelasnya.
"Mature feed kita itu dibagian buntut saja, produksi turun, cost tidak turun. Saya dimarahi terus deh sama bos saya (Jonan)," ungkap Amien.
Lebih lanjut, Amien mengungkapkan kenapa atasannya itu marah karena memang saat menjabat sebagai orang nomor satu di Kementerian ESDM ini saat lapangan-lapangan yang dimaksud sudah memasuki usia 20 tahun ke atas. Salah satu lapangan tua yang ada di Indonesia adalah Sukowati yang dikelola PT Pertamina EP.
Padahal, jika melirik lapangan yang lain, sebut Amien masih ada yang masih hijau, produksinya juga masih banyak. Amien menyebut salah satu lapangan yang produksinya masih mengalir banyak adalah di Lapangan Banyu Urip.
"Beliau jadi menterinya pas di buntut, coba di depan. Coba analisisnya di Banyu Urip, produksinya naik, cost turun. Kan enak kan, tapi coba pegang Banyu Urip kira-kira 20 tahun lagi, ya sengsara juga," tandasnya seraya diiringi tawa.
(gus) Next Article SKK Migas: Lifting Turun, RI Tak Butuh Kontraktor Dhuafa
Most Popular