
Dilema Pertamina, Produksi Gas Jeblok tapi Cost Recovery Naik
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
20 November 2018 08:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) mencatat performa produksi gas Pertamina yang melempem. Berdasarkan data SKK Migas yang diterima CNBC Indonesia, produksi blok Mahakam yang sebelumnya bisa mencapai di atas 1.000 mmscfd, setelah dikelola Pertamina sejak awal tahun ini terus merosot.
Per 17 November 2018, produksi gas di blok Mahakam oleh Pertamina Hulu Mahakam (PHM) hanya 851 mmscfd atau 76,7% dari target.
Begitu juga dengan produksi gas oleh anak usaha Pertamina lainnya seperti Pertamina EP, Pertamina Hulu Sanga-Sanga, WMO, dan ONWJ. Untuk PHE ONWJ juga sangat lesu produksinya, yakni hanya mencapai 63% target atau hanya 85,2 mmscfd.
Untuk performa PHE ONWJ ini juga menjadi catatan tersendiri di produksi minyaknya. Dari target produksi 33 ribu barel per hari, rata-rata produksi hingga saat ini hanya 29.521 barel per hari atau 89,46% dari target.
Penurunan juga terlihat untuk produksi Pertamina EP, yang rata-ratanya hanya mencapai 78 ribu barel per hari, masih 91,57% dari target 85 ribu barel per hari.
Tetapi di tengah produksi yang turun, ongkos biaya produksi atau cost recovery Pertamina justru membengkak. Dari data SKK Migas, Pertamina masuk sebagai 15 kontraktor dengan biaya ongkos produksi terbesar.
Rata-rata cost recoverable yang dihitung oleh SKK untuk produksi migas di 15 kontraktor adalah US$ 19 per barel setara minyak. Namun untuk Pertamina, hampir semuanya di atas rata-rata.
Cost recoverable Pertamina Hulu Mahakam diketahui US$ 23,1 per barel setara minyak, PT Pertamina EP US$ 23,3, dan PT PHE WMO lebih tinggi lagi yakni US$ 40,6 per barel setara minyak.
Hal ini membuat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan geram. "Pertamina harusnya menjadi cost leadership di hulu migas Indonesia," ujar Jonan dalam pesan tertulisnya, Senin (19/11/2018).
Tanggapan serupa juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Djoko Siswanto. Ia mengatakan, capaian yang jauh di bawah target harusnya para pengurusnya fokus.
"Cari solusinya atau mundur saja kalau tidak bisa mencapai target yang telah disepakati," kata Djoko. Apalagi, lanjut Djoko, ongkosnya naik terus tapi produksinya jauh di bawah target.
Pertamina buka suara akan hal tersebut. Senior Vice President Upstream Strategic Planning and Operation Evaluation Pertamina Meidawati menuturkan, jauhnya realisasi tersebut utamanya disebabkan oleh penurunan produksi (decline) dari lapangan-lapangan Pertamina yang mayoritas merupakan lapangan sepuh.
"Untuk ONWJ, run rate di awal terlalu tinggi, terus ada juga decline yang cukup besar untuk gas, sekitar 20%. Sedangkan Mahakam, juga mengalami decline sangat tinggi, sekitar 50%. Decline adalah hal wajar, apalagi itu adalah blok-blok sepuh," terang Meidawati kepada CNBC Indonesi saat dihubungi, Senin (19/11/2018).
Lebih lanjut, ia mengatakan, tentu pihaknya terus berupaya menjaga agar produksi meningkat dan menahan penurunan. Misalnya dengan melakukan well intervention dan pengeboran baru.
"Kami terus melakukan upaya-upaya untuk menaikkan produksi dan menahan decline, utamanya mengurangi decline. Kami lakukan well intervention, bahkan pengeboran," pungkas Meidawati.
(hps) Next Article Pertamina: Perlu Insentif Agar Harga Gas Industri US$ 6
Per 17 November 2018, produksi gas di blok Mahakam oleh Pertamina Hulu Mahakam (PHM) hanya 851 mmscfd atau 76,7% dari target.
Begitu juga dengan produksi gas oleh anak usaha Pertamina lainnya seperti Pertamina EP, Pertamina Hulu Sanga-Sanga, WMO, dan ONWJ. Untuk PHE ONWJ juga sangat lesu produksinya, yakni hanya mencapai 63% target atau hanya 85,2 mmscfd.
Untuk performa PHE ONWJ ini juga menjadi catatan tersendiri di produksi minyaknya. Dari target produksi 33 ribu barel per hari, rata-rata produksi hingga saat ini hanya 29.521 barel per hari atau 89,46% dari target.
Tetapi di tengah produksi yang turun, ongkos biaya produksi atau cost recovery Pertamina justru membengkak. Dari data SKK Migas, Pertamina masuk sebagai 15 kontraktor dengan biaya ongkos produksi terbesar.
Rata-rata cost recoverable yang dihitung oleh SKK untuk produksi migas di 15 kontraktor adalah US$ 19 per barel setara minyak. Namun untuk Pertamina, hampir semuanya di atas rata-rata.
Cost recoverable Pertamina Hulu Mahakam diketahui US$ 23,1 per barel setara minyak, PT Pertamina EP US$ 23,3, dan PT PHE WMO lebih tinggi lagi yakni US$ 40,6 per barel setara minyak.
Hal ini membuat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan geram. "Pertamina harusnya menjadi cost leadership di hulu migas Indonesia," ujar Jonan dalam pesan tertulisnya, Senin (19/11/2018).
Tanggapan serupa juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Djoko Siswanto. Ia mengatakan, capaian yang jauh di bawah target harusnya para pengurusnya fokus.
"Cari solusinya atau mundur saja kalau tidak bisa mencapai target yang telah disepakati," kata Djoko. Apalagi, lanjut Djoko, ongkosnya naik terus tapi produksinya jauh di bawah target.
Pertamina buka suara akan hal tersebut. Senior Vice President Upstream Strategic Planning and Operation Evaluation Pertamina Meidawati menuturkan, jauhnya realisasi tersebut utamanya disebabkan oleh penurunan produksi (decline) dari lapangan-lapangan Pertamina yang mayoritas merupakan lapangan sepuh.
"Untuk ONWJ, run rate di awal terlalu tinggi, terus ada juga decline yang cukup besar untuk gas, sekitar 20%. Sedangkan Mahakam, juga mengalami decline sangat tinggi, sekitar 50%. Decline adalah hal wajar, apalagi itu adalah blok-blok sepuh," terang Meidawati kepada CNBC Indonesi saat dihubungi, Senin (19/11/2018).
Lebih lanjut, ia mengatakan, tentu pihaknya terus berupaya menjaga agar produksi meningkat dan menahan penurunan. Misalnya dengan melakukan well intervention dan pengeboran baru.
"Kami terus melakukan upaya-upaya untuk menaikkan produksi dan menahan decline, utamanya mengurangi decline. Kami lakukan well intervention, bahkan pengeboran," pungkas Meidawati.
(hps) Next Article Pertamina: Perlu Insentif Agar Harga Gas Industri US$ 6
Most Popular