
Galau Cukai Rokok, Ini Yang Bisa Dilakukan Pemerintah
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
08 November 2018 08:20

Dihadapkan pada trade-off yang begitu dilematis, lantas apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah? Jika Presiden Jokowi memang konsisten dengan cita-cita pembangunan sumber daya manusia di tahun depan, maka kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas. Untuk urusan ini, kebijakan kenaikan cukai rokok sebenarnya sudah tidak bisa ditawar lagi.
Apalagi, melihat bahwa harga eceran rokok di RI sebenarnya masih lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Mengutip data dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada tahun 2016, harga eceran rokok dengan merek paling populer di Indonesia berada di kisaran US$ 1,42-US$ 1,49/bungkus, masih di bawah Brunei (US$ 5,1/bungkus), Malaysia (US$ 2,15 – 4,17/bungkus), Thailand (US$ 1,94 - 3,28/bungkus), dan Singapura (US$ 9,62/bungkus).
Artinya, sebenarnya masih ada ruang untuk pemerintah meningkatkan cukai rokok lebih tinggi. Dengan kenaikan cukai rokok, tentunya penerimaan pemerintah dari sisi perpajakan juga akan melambung.
Namun, kita tidak bisa hanya berfokus dari segi “penerimaan” saja, tapi juga perlu mempertimbangkan segi “pemanfaatan cukai rokok”. Segi yang terakhir disebut sejauh ini masih jarang dielaborasi oleh pemerintah.
Memang seperti sudah dijelaskan sebelumnya, Jokowi sudah menegaskan penggunaan cukai rokok untuk peningkatan pelayanan kesehatan dan penolong defisit BPJS Kesehatan. Akan tetapi, pemanfaatan cukai hasil tembakau sebenarnya punya potensi penggunaan yang lebih luas, misalnya ditujukan untuk industri rokok skala kecil dan rokok.
Sudah waktunya industri pengolahan tembakau skala kecil dan mikro, yang terus tertekan dalam beberapa tahun terakhir, mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Penerimaan negara yang berasal dari kenaikan cukai rokok dapat dialokasikan sebagai insentif dan bantuan bagi pelaku industri tembakau skala kecil, misalnya dalam bentuk informasi pasar, pengembangan teknologi dan inovasi, dan fasilitasi ekspor.
Hal yang sama juga bisa dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani tembakau, misalnya dengan memberikan bantuan subsidi pupuk atau penyediaan bahan baku/barang modal lainnya. Atau bahkan sampai membuka lapangan pekerjaan baru yang lebih baik, untuk para petani tembakau maupun pekerja industri pengolahan tembakau skala kecil dan mikro.
Indonesia mungkin bisa mencontoh ikhtiar pemerintah Filipina yang menggunakan 15% penerimaan cukai produk rokok yang secara eksklusif digunakan untuk mempromosikan mata pencaharian alternatif untuk para petani tembakau.
Seandainya sistem di atas dapat berjalan secara mumpuni, pemerintah seharusnya sudah tidak perlu lagi galau setiap menghadapi keputusan kenaikan cukai tembakau.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/roy)
Apalagi, melihat bahwa harga eceran rokok di RI sebenarnya masih lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Mengutip data dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada tahun 2016, harga eceran rokok dengan merek paling populer di Indonesia berada di kisaran US$ 1,42-US$ 1,49/bungkus, masih di bawah Brunei (US$ 5,1/bungkus), Malaysia (US$ 2,15 – 4,17/bungkus), Thailand (US$ 1,94 - 3,28/bungkus), dan Singapura (US$ 9,62/bungkus).
Artinya, sebenarnya masih ada ruang untuk pemerintah meningkatkan cukai rokok lebih tinggi. Dengan kenaikan cukai rokok, tentunya penerimaan pemerintah dari sisi perpajakan juga akan melambung.
Namun, kita tidak bisa hanya berfokus dari segi “penerimaan” saja, tapi juga perlu mempertimbangkan segi “pemanfaatan cukai rokok”. Segi yang terakhir disebut sejauh ini masih jarang dielaborasi oleh pemerintah.
Memang seperti sudah dijelaskan sebelumnya, Jokowi sudah menegaskan penggunaan cukai rokok untuk peningkatan pelayanan kesehatan dan penolong defisit BPJS Kesehatan. Akan tetapi, pemanfaatan cukai hasil tembakau sebenarnya punya potensi penggunaan yang lebih luas, misalnya ditujukan untuk industri rokok skala kecil dan rokok.
Sudah waktunya industri pengolahan tembakau skala kecil dan mikro, yang terus tertekan dalam beberapa tahun terakhir, mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Penerimaan negara yang berasal dari kenaikan cukai rokok dapat dialokasikan sebagai insentif dan bantuan bagi pelaku industri tembakau skala kecil, misalnya dalam bentuk informasi pasar, pengembangan teknologi dan inovasi, dan fasilitasi ekspor.
Hal yang sama juga bisa dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani tembakau, misalnya dengan memberikan bantuan subsidi pupuk atau penyediaan bahan baku/barang modal lainnya. Atau bahkan sampai membuka lapangan pekerjaan baru yang lebih baik, untuk para petani tembakau maupun pekerja industri pengolahan tembakau skala kecil dan mikro.
Indonesia mungkin bisa mencontoh ikhtiar pemerintah Filipina yang menggunakan 15% penerimaan cukai produk rokok yang secara eksklusif digunakan untuk mempromosikan mata pencaharian alternatif untuk para petani tembakau.
Seandainya sistem di atas dapat berjalan secara mumpuni, pemerintah seharusnya sudah tidak perlu lagi galau setiap menghadapi keputusan kenaikan cukai tembakau.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/roy)
Pages
Most Popular