
Galau Cukai Rokok, Ini Yang Bisa Dilakukan Pemerintah
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
08 November 2018 08:20

Bagi Indonesia, kebijakan cukai adalah satu-satunya instrumen pengendalian tembakau, setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengekor pendahulunya yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan menjadikan Indonesia sebagai 1 dari 15 negara dunia yang tak meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
FCTC adalah perjanjian untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif konsumsi dan paparan rokok. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang menolak meratifikasi perjanjian itu, sebarisan dengan beberapa negara lainnya termasuk "negara gagal" seperti Somalia dan Sudan Selatan.
Dengan memilih menjauh dari pergaulan dunia di FCTC, Indonesia dinisbatkan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menjadi negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga dunia setelah China dan India, dengan jumlah perokok sebesar 36,3% dari populasi atau 94 juta orang. Artinya, satu dari tiga orang Indonesia adalah perokok.
Sebenarnya wajar saja jika jumlah perokok sebegitu masifnya di tanah air. Mengacu survei BPS per Maret 2018, persentase rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok rokok dan tembakau masih cukup mendominasi, yakni mencapai 11,75% dari total pengeluaran untuk komoditas makanan.
Porsi itu berada di posisi ke-3 tertinggi, nyaris sama dengan persentase pengeluaran untuk padi-padian/beras (12,02%) di posisi ke-2. Meski demikian, apabila ditinjau secara historis, persentase pengeluaran untuk rokok sebenarnya sudah menurun dari beberapa tahun sebelumnya.
Per Maret 2016 saja, persentasenya masih sebesar 24,82%, berada di posisi ke-2 tertinggi, bahkan lebih besar dari persentase pengeluaran untuk padi-padian/beras (23,97%).
Penurunan persentase tersebut nampaknya tidak lepas dari kenaikan cukai rokok secara bertahap dalam beberapa tahun berakhir. Meski hingga hari ini masih terjadi perdebatan apakah rokok merupakan barang elastis atau inelastis (mengingat sifatnya yang adiktif), perlu diakui bahwa kebijakan kenaikan cukai rokok memang perlu dilakukan demi mengurangi konsumsi.
Mengapa konsumsi perlu dikurangi? Pada Hari Tembakau Sedunia tahun ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa 3 juta orang mengalami kematian dini setiap tahunnya terkait konsumsi tembakau yang menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke, penyebab kematian utama di dunia. Kematian tersebut termasuk 890.000 kematian para perokok pasif.
Berdasarkan laporan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, penyakit jantung memang menjadi insiden penyakit kronis yang menjadi beban bagi defisit keuangan lembaga tersebut. Sebagai catatan, defisit BPJS pada 2017 sudah mencapai Rp 6,74 triliun, turun jauh dari surplus ratusan juta rupiah di tahun sebelumnya.
Kemudian, dalam rapat kerja bersama tentang Bailout BPJS Kesehatan, Senin (17/9/2018) BPJS Kesehatan mencatatkan defisit arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 Rp 16,5 triliun. Komposisinya, defisit RKAT 2018 sebesar Rp 12,1 triliun dan carry over 2017 sebesar Rp 4,4 triliun.
Selama periode Januari-Agustus 2018, beban biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan untuk penyakit jantung mencapai Rp 6,67 triliun (51,99% dari total klaim) tertinggi dari penyakit lainnya. Sementara itu, penyakit stroke bertengger di posisi ke-4 dengan besaran klaim mencapai Rp 1,62 triliun (12,65%).
Untuk membiayai defisit yang sebegitu besar, pemerintah akhirnya turun tangan. Presiden Jokowi sudah mengambil langkah strategis untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan yang merupakan Jaminan Kesehatan Nasional seluruh masyarakat.
"BPJS Kesehatan sudah saya keluarkan (aturan) untuk operasional," kata Jokowi di Istana Negara, Rabu (19/9/2018).
Setidaknya ada 4 langkah yang diambil Presiden, di antaranya 50% penerimaan cukai rokok akan digunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat, plus defisit BPJS Kesehatan juga akan ditutup melalui penerimaan cukai rokok.
Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau memang amat besar, dan terus meningkat secara gradual. Mengacu pada data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (audited), penerimaan cukai hasil tembakau meningkat 7,09% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada tahun 2017, menjadi sebesar Rp 147,72 triliun.
Realisasi tersebut lantas berkontribusi sebesar 96,37% bagi total penerimaan cukai RI, sekaligus menyumbang 11% dari total penerimaan pajak RI di tahun lalu.
Penerimaan cukai hasil tembakau sebesar itu jelas tidak hanya mampu menutupi defisit BPJS Kesehatan, namun mampu membiayai agenda pembangunan nasional lainnya.
Oleh karena itu, ditahannya kenaikan cukai rokok untuk tahun depan jelas akan memupus potensi tambahan penerimaan negara yang sebenarnya cukup signifikan. Terlebih, pemerintah juga perlu merogoh koceknya untuk “mengobati” BPJS Kesehatan yang sakit-sakitan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(RHG/roy)
FCTC adalah perjanjian untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif konsumsi dan paparan rokok. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang menolak meratifikasi perjanjian itu, sebarisan dengan beberapa negara lainnya termasuk "negara gagal" seperti Somalia dan Sudan Selatan.
Dengan memilih menjauh dari pergaulan dunia di FCTC, Indonesia dinisbatkan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menjadi negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga dunia setelah China dan India, dengan jumlah perokok sebesar 36,3% dari populasi atau 94 juta orang. Artinya, satu dari tiga orang Indonesia adalah perokok.
Porsi itu berada di posisi ke-3 tertinggi, nyaris sama dengan persentase pengeluaran untuk padi-padian/beras (12,02%) di posisi ke-2. Meski demikian, apabila ditinjau secara historis, persentase pengeluaran untuk rokok sebenarnya sudah menurun dari beberapa tahun sebelumnya.
Per Maret 2016 saja, persentasenya masih sebesar 24,82%, berada di posisi ke-2 tertinggi, bahkan lebih besar dari persentase pengeluaran untuk padi-padian/beras (23,97%).
Penurunan persentase tersebut nampaknya tidak lepas dari kenaikan cukai rokok secara bertahap dalam beberapa tahun berakhir. Meski hingga hari ini masih terjadi perdebatan apakah rokok merupakan barang elastis atau inelastis (mengingat sifatnya yang adiktif), perlu diakui bahwa kebijakan kenaikan cukai rokok memang perlu dilakukan demi mengurangi konsumsi.
Mengapa konsumsi perlu dikurangi? Pada Hari Tembakau Sedunia tahun ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa 3 juta orang mengalami kematian dini setiap tahunnya terkait konsumsi tembakau yang menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke, penyebab kematian utama di dunia. Kematian tersebut termasuk 890.000 kematian para perokok pasif.
Berdasarkan laporan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, penyakit jantung memang menjadi insiden penyakit kronis yang menjadi beban bagi defisit keuangan lembaga tersebut. Sebagai catatan, defisit BPJS pada 2017 sudah mencapai Rp 6,74 triliun, turun jauh dari surplus ratusan juta rupiah di tahun sebelumnya.
Kemudian, dalam rapat kerja bersama tentang Bailout BPJS Kesehatan, Senin (17/9/2018) BPJS Kesehatan mencatatkan defisit arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 Rp 16,5 triliun. Komposisinya, defisit RKAT 2018 sebesar Rp 12,1 triliun dan carry over 2017 sebesar Rp 4,4 triliun.
Selama periode Januari-Agustus 2018, beban biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan untuk penyakit jantung mencapai Rp 6,67 triliun (51,99% dari total klaim) tertinggi dari penyakit lainnya. Sementara itu, penyakit stroke bertengger di posisi ke-4 dengan besaran klaim mencapai Rp 1,62 triliun (12,65%).
Untuk membiayai defisit yang sebegitu besar, pemerintah akhirnya turun tangan. Presiden Jokowi sudah mengambil langkah strategis untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan yang merupakan Jaminan Kesehatan Nasional seluruh masyarakat.
"BPJS Kesehatan sudah saya keluarkan (aturan) untuk operasional," kata Jokowi di Istana Negara, Rabu (19/9/2018).
Setidaknya ada 4 langkah yang diambil Presiden, di antaranya 50% penerimaan cukai rokok akan digunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat, plus defisit BPJS Kesehatan juga akan ditutup melalui penerimaan cukai rokok.
Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau memang amat besar, dan terus meningkat secara gradual. Mengacu pada data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (audited), penerimaan cukai hasil tembakau meningkat 7,09% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada tahun 2017, menjadi sebesar Rp 147,72 triliun.
Realisasi tersebut lantas berkontribusi sebesar 96,37% bagi total penerimaan cukai RI, sekaligus menyumbang 11% dari total penerimaan pajak RI di tahun lalu.
Penerimaan cukai hasil tembakau sebesar itu jelas tidak hanya mampu menutupi defisit BPJS Kesehatan, namun mampu membiayai agenda pembangunan nasional lainnya.
Oleh karena itu, ditahannya kenaikan cukai rokok untuk tahun depan jelas akan memupus potensi tambahan penerimaan negara yang sebenarnya cukup signifikan. Terlebih, pemerintah juga perlu merogoh koceknya untuk “mengobati” BPJS Kesehatan yang sakit-sakitan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(RHG/roy)
Pages
Most Popular