
Galau Cukai Rokok, Ini Yang Bisa Dilakukan Pemerintah
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
08 November 2018 08:20

Harus diakui bahwa pemerintah menghadapi situasi yang dilematis, yang disebabkan oleh adanya trade-off antara kepentingan industri dan kesehatan masyarakat.
Dari sisi industri, penghentian rencana kenaikan tarif cukai rokok pada tahun depan diklaim akan memberikan kesempatan industri rokok untuk bernafas. Hal itu bahkan disampaikan langsung oleh pihak Kementerian Perindustrian sendiri.
Kenaikan tarif cukai rokok yang dilakukan tahun ini, menurut Kemenperin membuat industri rokok tertekan. Jumlah produksi dan pemain di industri tersebut juga terus berkurang.
“Kalau bisa jangan naik dulu, industri harapannya seperti itu. Ini sudah jelas turun produksinya. Jadi disetop dulu biar industrinya naik," kata Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Abdul Rohim, di Kementerian Keuangan, Kamis (20/9/2018), dilansir dari CNN Indonesia.
Data Kemenperin menunjukkan jumlah pabrik rokok turun sekitar 80,83 persen dari 2.540 pabrik pada 2011 menjadi tinggal 487 pabrik pada 2017. Penurunan itu telah menyebabkan lapangan kerja berkurang. Sebab, mayoritas pabrik yang tutup merupakan industri rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang dikerjakan tenaga manusia.
Dalam beberapa tahun terakhir, dampak kenaikan cukai rokok memang berdampak signifikan pada industri pengolahan tembakau. Meski demikian, dampaknya lebih terasa bagi industri berskala mikro dan kecil. Adapun, industri berskala besar dan sedang sebenarnya tidak terpengaruh secara signifikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi industri pengolahan tembakau skala mikro dan kecil turun sebesar 44,78% secara tahunan (year-on-year/YoY) per kuartal III-2018. Padahal, pada 2017 sudah anjlok sebesar 20,45% YoY.
Sebaliknya, pertumbuhan produksi industri pengolahan tembakau skala sedang dan besar malah masih tumbuh 11,3% YoY di kuartal III-2018. Dalam empat tahun terakhir, hanya sekali pertumbuhan industri ini terkontraksi alias minus, yakni sebesar -2,76% YoY di tahun 2016.
Meski demikian, jumlah tenaga kerja industri pengolahan tembakau skala mikro dan kecil ternyata masih bertambah. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2017 industri ini menyerap tenaga kerja sebesar 1,33 juta orang. Jumlah itu meningkat pesat dari tahun 2015 yang “hanya” sebesar 326.178 orang.
Apabila dibandingkan dengan industri mikro kecil lainnya, industri pengolahan tembakau bahkan menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak no. 2 di Indonesia, hanya kalah dari industri makanan yang menyerap tenaga kerja sebanyak 3,39 juta orang.
Itu baru dari sektor industri, belum meninjau jumlah petani dan tenaga kerja perkebunan tembakau. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, jumlah petani di perkebunan tembakau RI diestimasikan mencapai 568.906 orang, sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 9.444 orang, di tahun 2017.
Jumlah petani di tahun lalu itu bertambah 7.320 orang dibandingkan angka sementara tahun 2016, sementara jumlah tenaga kerja berkurang 495 orang. Sebagai tambahan, jumlah tenaga kerja perkebunan tembakau menyumbang hampir 5% dari jumlah tenaga kerja di sub-sektor perkebunan.
Akhirnya, wajar pemerintah berpikir ulang untuk menaikkan cukai rokok. Pasalnya, dampak kerusakan pada industri kecil dan mikro memang sudah mulai kelihatan. Belum lagi memperhitungkan disrupsi tenaga kerja yang berpotensi terjadi di industri pengolahan tembakau sendiri.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(RHG/roy)
Dari sisi industri, penghentian rencana kenaikan tarif cukai rokok pada tahun depan diklaim akan memberikan kesempatan industri rokok untuk bernafas. Hal itu bahkan disampaikan langsung oleh pihak Kementerian Perindustrian sendiri.
Kenaikan tarif cukai rokok yang dilakukan tahun ini, menurut Kemenperin membuat industri rokok tertekan. Jumlah produksi dan pemain di industri tersebut juga terus berkurang.
Data Kemenperin menunjukkan jumlah pabrik rokok turun sekitar 80,83 persen dari 2.540 pabrik pada 2011 menjadi tinggal 487 pabrik pada 2017. Penurunan itu telah menyebabkan lapangan kerja berkurang. Sebab, mayoritas pabrik yang tutup merupakan industri rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang dikerjakan tenaga manusia.
Dalam beberapa tahun terakhir, dampak kenaikan cukai rokok memang berdampak signifikan pada industri pengolahan tembakau. Meski demikian, dampaknya lebih terasa bagi industri berskala mikro dan kecil. Adapun, industri berskala besar dan sedang sebenarnya tidak terpengaruh secara signifikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi industri pengolahan tembakau skala mikro dan kecil turun sebesar 44,78% secara tahunan (year-on-year/YoY) per kuartal III-2018. Padahal, pada 2017 sudah anjlok sebesar 20,45% YoY.
Sebaliknya, pertumbuhan produksi industri pengolahan tembakau skala sedang dan besar malah masih tumbuh 11,3% YoY di kuartal III-2018. Dalam empat tahun terakhir, hanya sekali pertumbuhan industri ini terkontraksi alias minus, yakni sebesar -2,76% YoY di tahun 2016.
Meski demikian, jumlah tenaga kerja industri pengolahan tembakau skala mikro dan kecil ternyata masih bertambah. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2017 industri ini menyerap tenaga kerja sebesar 1,33 juta orang. Jumlah itu meningkat pesat dari tahun 2015 yang “hanya” sebesar 326.178 orang.
Apabila dibandingkan dengan industri mikro kecil lainnya, industri pengolahan tembakau bahkan menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak no. 2 di Indonesia, hanya kalah dari industri makanan yang menyerap tenaga kerja sebanyak 3,39 juta orang.
Itu baru dari sektor industri, belum meninjau jumlah petani dan tenaga kerja perkebunan tembakau. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, jumlah petani di perkebunan tembakau RI diestimasikan mencapai 568.906 orang, sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 9.444 orang, di tahun 2017.
Jumlah petani di tahun lalu itu bertambah 7.320 orang dibandingkan angka sementara tahun 2016, sementara jumlah tenaga kerja berkurang 495 orang. Sebagai tambahan, jumlah tenaga kerja perkebunan tembakau menyumbang hampir 5% dari jumlah tenaga kerja di sub-sektor perkebunan.
Akhirnya, wajar pemerintah berpikir ulang untuk menaikkan cukai rokok. Pasalnya, dampak kerusakan pada industri kecil dan mikro memang sudah mulai kelihatan. Belum lagi memperhitungkan disrupsi tenaga kerja yang berpotensi terjadi di industri pengolahan tembakau sendiri.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(RHG/roy)
Pages
Most Popular