Galau Cukai Rokok, Ini Yang Bisa Dilakukan Pemerintah

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
08 November 2018 08:20
Galau Cukai Rokok, Ini Yang Bisa Dilakukan Pemerintah
Foto: Ilustrasi Produk Rokok (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok tahun depan. Hal itu merupakan hasil keputusan rapat kabinet yang diselenggarakan pada Jumat (2/11/2018) di Istana Bogor, Jawa Barat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, setelah mendengar seluruh evaluasi dan masukan dari sidang kabinet, maka diputuskan cukai rokok 2019 sama dengan cukai 2018.

"Dalam hal ini kita akan tetap akan mengikuti struktur dari kebijakan cukai tahun 2018 baik dari sisi harga jual, eceran, maupun dari sisi pengelompokannya," ujar Sri Mulyani.

Keputusan pemerintah untuk menahan cukai rokok tersebut lantas menjadi yang pertama kalinya sejak 2014 silam, yang uniknya juga bertepatan dengan tahun politik.

Terakhir, pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 10,04% secara rata-rata per 1 Januari 2018, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.



Sebagai tambahan, rencana simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau nampaknya juga masih diurungkan sejauh ini. Padahal, sesuai dengan PMK 146/2017, pemerintah sendiri telah menetapkan struktur tarif cukai hasil tembakau akan disederhanakan menjadi 8 layer, dari sebelumnya sebanyak 10 layer.

Padahal, banyak pihak yang mendorong adanya penyederhanaan struktur cukai tersebut. Pasalnya, selama ini banyak pabrikan rokok asing yang kerap memanfaatkan celah aturan struktur cukai yang terlalu berbelit, sehingga bisa membayar tarif cukai yang lebih rendah.

Adapun kenaikan cukai rokok, mengacu pada empat aspek utama, yaitu pengendalian konsumsi, optimalisasi penerimaan negara, aspek tenaga kerja dan industri, serta menekan angka peredaran rokok ilegal.

Dengan tidak naiknya tarif cukai, pemerintah memilih dua aspek. Yakni aspek tenaga kerja dan industri, serta tetap menekan angka peredaran rokok ilegal.

Karena dengan kenaikan rokok, maka industri akan tertekan, serta peredaran rokok ilegal bakal menjamur. Sedangkan dengan tidak menaikkan cukai rokok, maka pemerintah mengorbankan pengendalian konsumsi, dan optimalisasi penerimaan negara.

Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghindari situasi yang dilematis seperti ini ke depannya? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Harus diakui bahwa pemerintah menghadapi situasi yang dilematis, yang disebabkan oleh adanya trade-off antara kepentingan industri dan kesehatan masyarakat.

Dari sisi industri, penghentian rencana kenaikan tarif cukai rokok pada tahun depan diklaim akan memberikan kesempatan industri rokok untuk bernafas. Hal itu bahkan disampaikan langsung oleh pihak Kementerian Perindustrian sendiri.

Kenaikan tarif cukai rokok yang dilakukan tahun ini, menurut Kemenperin membuat industri rokok tertekan. Jumlah produksi dan pemain di industri tersebut juga terus berkurang.

“Kalau bisa jangan naik dulu, industri harapannya seperti itu. Ini sudah jelas turun produksinya. Jadi disetop dulu biar industrinya naik," kata Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Abdul Rohim, di Kementerian Keuangan, Kamis (20/9/2018), dilansir dari CNN Indonesia.

Data Kemenperin menunjukkan jumlah pabrik rokok turun sekitar 80,83 persen dari 2.540 pabrik pada 2011 menjadi tinggal 487 pabrik pada 2017. Penurunan itu telah menyebabkan lapangan kerja berkurang. Sebab, mayoritas pabrik yang tutup merupakan industri rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang dikerjakan tenaga manusia.

Dalam beberapa tahun terakhir, dampak kenaikan cukai rokok memang berdampak signifikan pada industri pengolahan tembakau. Meski demikian, dampaknya lebih terasa bagi industri berskala mikro dan kecil. Adapun, industri berskala besar dan sedang sebenarnya tidak terpengaruh secara signifikan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi industri pengolahan tembakau skala mikro dan kecil turun sebesar 44,78% secara tahunan (year-on-year/YoY) per kuartal III-2018. Padahal, pada 2017 sudah anjlok sebesar 20,45% YoY.

Sebaliknya, pertumbuhan produksi industri pengolahan tembakau skala sedang dan besar malah masih tumbuh 11,3% YoY di kuartal III-2018. Dalam empat tahun terakhir, hanya sekali pertumbuhan industri ini terkontraksi alias minus, yakni sebesar -2,76% YoY di tahun 2016.



Meski demikian, jumlah tenaga kerja industri pengolahan tembakau skala mikro dan kecil ternyata masih bertambah. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2017 industri ini menyerap tenaga kerja sebesar 1,33 juta orang. Jumlah itu meningkat pesat dari tahun 2015 yang “hanya” sebesar 326.178 orang.

Apabila dibandingkan dengan industri mikro kecil lainnya, industri pengolahan tembakau bahkan menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak no. 2 di Indonesia, hanya kalah dari industri makanan yang menyerap tenaga kerja sebanyak 3,39 juta orang.

Itu baru dari sektor industri, belum meninjau jumlah petani dan tenaga kerja perkebunan tembakau. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, jumlah petani di perkebunan tembakau RI diestimasikan mencapai 568.906 orang, sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 9.444 orang, di tahun 2017.

Jumlah petani di tahun lalu itu bertambah 7.320 orang dibandingkan angka sementara tahun 2016, sementara jumlah tenaga kerja berkurang 495 orang. Sebagai tambahan, jumlah tenaga kerja perkebunan tembakau menyumbang hampir 5% dari jumlah tenaga kerja di sub-sektor perkebunan.

Akhirnya, wajar pemerintah berpikir ulang untuk menaikkan cukai rokok. Pasalnya, dampak kerusakan pada industri kecil dan mikro memang sudah mulai kelihatan. Belum lagi memperhitungkan disrupsi tenaga kerja yang berpotensi terjadi di industri pengolahan tembakau sendiri.

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Bagi Indonesia, kebijakan cukai adalah satu-satunya instrumen pengendalian tembakau, setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengekor pendahulunya yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan menjadikan Indonesia sebagai 1 dari 15 negara dunia yang tak meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

FCTC adalah perjanjian untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif konsumsi dan paparan rokok. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang menolak meratifikasi perjanjian itu, sebarisan dengan beberapa negara lainnya termasuk "negara gagal" seperti Somalia dan Sudan Selatan.

Dengan memilih menjauh dari pergaulan dunia di FCTC, Indonesia dinisbatkan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menjadi negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga dunia setelah China dan India, dengan jumlah perokok sebesar 36,3% dari populasi atau 94 juta orang. Artinya, satu dari tiga orang Indonesia adalah perokok.

Sebenarnya wajar saja jika jumlah perokok sebegitu masifnya di tanah air. Mengacu survei BPS per Maret 2018, persentase rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok rokok dan tembakau masih cukup mendominasi, yakni mencapai 11,75% dari total pengeluaran untuk komoditas makanan.

Porsi itu berada di posisi ke-3 tertinggi, nyaris sama dengan persentase pengeluaran untuk padi-padian/beras (12,02%) di posisi ke-2. Meski demikian, apabila ditinjau secara historis, persentase pengeluaran untuk rokok sebenarnya sudah menurun dari beberapa tahun sebelumnya.

Per Maret 2016 saja, persentasenya masih sebesar 24,82%, berada di posisi ke-2 tertinggi, bahkan lebih besar dari persentase pengeluaran untuk padi-padian/beras (23,97%).



Penurunan persentase tersebut nampaknya tidak lepas dari kenaikan cukai rokok secara bertahap dalam beberapa tahun berakhir. Meski hingga hari ini masih terjadi perdebatan apakah rokok merupakan barang elastis atau inelastis (mengingat sifatnya yang adiktif), perlu diakui bahwa kebijakan kenaikan cukai rokok memang perlu dilakukan demi mengurangi konsumsi.

Mengapa konsumsi perlu dikurangi? Pada Hari Tembakau Sedunia tahun ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa 3 juta orang mengalami kematian dini setiap tahunnya terkait konsumsi tembakau yang menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke, penyebab kematian utama di dunia. Kematian tersebut termasuk 890.000 kematian para perokok pasif.

Berdasarkan laporan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, penyakit jantung memang menjadi insiden penyakit kronis yang menjadi beban bagi defisit keuangan lembaga tersebut. Sebagai catatan, defisit BPJS pada 2017 sudah mencapai Rp 6,74 triliun, turun jauh dari surplus ratusan juta rupiah di tahun sebelumnya. 

Kemudian, dalam rapat kerja bersama tentang Bailout BPJS Kesehatan, Senin (17/9/2018) BPJS Kesehatan mencatatkan defisit arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 Rp 16,5 triliun. Komposisinya, defisit RKAT 2018 sebesar Rp 12,1 triliun dan carry over 2017 sebesar Rp 4,4 triliun.

Selama periode Januari-Agustus 2018, beban biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan untuk penyakit jantung mencapai Rp 6,67 triliun (51,99% dari total klaim) tertinggi dari penyakit lainnya. Sementara itu, penyakit stroke bertengger di posisi ke-4 dengan besaran klaim mencapai Rp 1,62 triliun (12,65%).

Untuk membiayai defisit yang sebegitu besar, pemerintah akhirnya turun tangan. Presiden Jokowi sudah mengambil langkah strategis untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan yang merupakan Jaminan Kesehatan Nasional seluruh masyarakat.

"BPJS Kesehatan sudah saya keluarkan (aturan) untuk operasional," kata Jokowi di Istana Negara, Rabu (19/9/2018).

Setidaknya ada 4 langkah yang diambil Presiden, di antaranya 50% penerimaan cukai rokok akan digunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat, plus defisit BPJS Kesehatan juga akan ditutup melalui penerimaan cukai rokok.

Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau memang amat besar, dan terus meningkat secara gradual. Mengacu pada data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (audited), penerimaan cukai hasil tembakau meningkat 7,09% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada tahun 2017, menjadi sebesar Rp 147,72 triliun.

Realisasi tersebut lantas berkontribusi sebesar 96,37% bagi total penerimaan cukai RI, sekaligus menyumbang 11% dari total penerimaan pajak RI di tahun lalu.


Penerimaan cukai hasil tembakau sebesar itu jelas tidak hanya mampu menutupi defisit BPJS Kesehatan, namun mampu membiayai agenda pembangunan nasional lainnya.

Oleh karena itu, ditahannya kenaikan cukai rokok untuk tahun depan jelas akan memupus potensi tambahan penerimaan negara yang sebenarnya cukup signifikan. Terlebih, pemerintah juga perlu merogoh koceknya untuk “mengobati” BPJS Kesehatan yang sakit-sakitan.  

(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Dihadapkan pada trade-off yang begitu dilematis, lantas apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah? Jika Presiden Jokowi memang konsisten dengan cita-cita pembangunan sumber daya manusia di tahun depan, maka kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas. Untuk urusan ini, kebijakan kenaikan cukai rokok sebenarnya sudah tidak bisa ditawar lagi.

Apalagi, melihat bahwa harga eceran rokok di RI sebenarnya masih lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.

Mengutip data dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada tahun 2016, harga eceran rokok dengan merek paling populer di Indonesia berada di kisaran US$ 1,42-US$ 1,49/bungkus, masih di bawah Brunei (US$ 5,1/bungkus), Malaysia (US$ 2,15 – 4,17/bungkus), Thailand (US$ 1,94 - 3,28/bungkus), dan Singapura (US$ 9,62/bungkus).



Artinya, sebenarnya masih ada ruang untuk pemerintah meningkatkan cukai rokok lebih tinggi. Dengan kenaikan cukai rokok, tentunya penerimaan pemerintah dari sisi perpajakan juga akan melambung.

Namun, kita tidak bisa hanya berfokus dari segi “penerimaan” saja, tapi juga perlu mempertimbangkan segi “pemanfaatan cukai rokok”. Segi yang terakhir disebut sejauh ini masih jarang dielaborasi oleh pemerintah.

Memang seperti sudah dijelaskan sebelumnya, Jokowi sudah menegaskan penggunaan cukai rokok untuk peningkatan pelayanan kesehatan dan penolong defisit BPJS Kesehatan. Akan tetapi, pemanfaatan cukai hasil tembakau sebenarnya punya potensi penggunaan yang lebih luas, misalnya ditujukan untuk industri rokok skala kecil dan rokok.

Sudah waktunya industri pengolahan tembakau skala kecil dan mikro, yang terus tertekan dalam beberapa tahun terakhir, mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Penerimaan negara yang berasal dari kenaikan cukai rokok dapat dialokasikan sebagai insentif dan bantuan bagi pelaku industri tembakau skala kecil, misalnya dalam bentuk informasi pasar, pengembangan teknologi dan inovasi, dan fasilitasi ekspor.

Hal yang sama juga bisa dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani tembakau, misalnya dengan memberikan bantuan subsidi pupuk atau penyediaan bahan baku/barang modal lainnya. Atau bahkan sampai membuka lapangan pekerjaan baru yang lebih baik, untuk para petani tembakau maupun pekerja industri pengolahan tembakau skala kecil dan mikro.

Indonesia mungkin bisa mencontoh ikhtiar pemerintah Filipina yang menggunakan 15% penerimaan cukai produk rokok yang secara eksklusif digunakan untuk mempromosikan mata pencaharian alternatif untuk para petani tembakau.

Seandainya sistem di atas dapat berjalan secara mumpuni, pemerintah seharusnya sudah tidak perlu lagi galau setiap menghadapi keputusan kenaikan cukai tembakau.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)    


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular