Internasional

Perang Dagang Bisa Lebih Merugikan China Daripada AS

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
20 September 2018 12:12
Perekonomian China yang lebih rentan terhadap ekspor kemungkinan akan merasakan dampak yang lebih besar ketimbang AS di tengah memanasnya perang dagang.
Foto: REUTERS/Carlos Barria/File Photo
Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian China yang lebih rentan terhadap ekspor kemungkinan akan merasakan dampak yang lebih besar ketimbang Amerika Serikat (AS) di tengah memanasnya perang dagang.

Pemerintah China kemungkinan juga tidak akan bersantai dalam waktu dekat, apalagi menjelang pemilu paruh waktu di mana Presiden AS Donald Trump diprediksi tidak akan mundur.



AS menerapkan bea masuk 10% terhadap produk impor China senilai US$200 miliar (Rp 2.969 triliun) yang langsung dibalas China dengan tarif impor US$60 miliar untuk produk asal AS.

Para ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi China akan turun 0,5 sampai 0,6 poin persentase di tahun 2019 jika tarif impor dinaikkan menjadi 25% per 1 Januari 2019, seperti yang diumumkan AS awal pekan ini.

"Jika Anda membandingkan kedua bea impor, dampaknya empat kali lebih besar untuk China karena mereka mengekspor empat kali lebih besar ketimbang impornya," kata Ethan Harris, Kepala Ekonom Global di Bank of America Merrill Lynch (BofA), dilansir dari CNBC International.

"Tarif impor yang diumumkan sejauh ini bisa berdampak setengah persen ke pertumbuhan China. Di AS, [dampaknya] lebih kecil karena pertama, guncangannya lebih kecil dan momentum ekonomi masih sangat kuat," katanya.

BofA sekarang memprediksi ekonomi China tumbuh 6,1% di tahun 2019, bahkan dengan mengesampingkan dampak positif dari program stimulus China. JPMorgan memprediksi pertumbuhan ekonomi China melambat 0,6 poin persentase karena lesunya aktivitas ekspor maupun impor.

Tarif impor yang saat ini dikenakan kemungkinan tidak terlalu memengaruhi pertumbuhan AS, yaitu penurunan 0,1 atau 0,2 poin persentase saja. Namun, jika bea masuk 10% terhadap produk China senilai US$200 miliar dinaikkan menjadi 25% dan Negeri Tirai Bambu kembali membalas, pertumbuhan AS bisa berkurang 0,2 atau 0,3 poin persentase di tahun 2019, kata Harris.

Senjata China di Perang Dagang dengan ASFoto: Aristya Rahadian Krisabella
Senjata China di Perang Dagang dengan AS
BofA memprediksi produk domestik bruto (PDB) AS tumbuh 2,7% di tahun 2019.

Harris mengatakan perang dagang kemungkinan tidak akan berhenti sampai konsumen AS merasakan dampaknya, atau masyarakat mengkhawatirkan tensi yang terus memanas berkepanjangan.

Sejauh ini, bursa saham mengabaikan tarif impor ataupun potensi kerugian ekonomi. Namun, para strategis mengatakan aksi jual karena tarif impor bisa memengaruhi kondisi keuangan dan mendapat perhatian pemerintahan Trump.

"Pasar masih berpikir, entah bagaimana, akan ada kesepakatan antara AS dan China. Menurut saya [pasar] salah paham dengan apa yang diinginkan Trump," kata Marc Chandler selaku Kepala Strategis Pasar di Bannockburn Global Forex.

"Dia punya pertarungan sengit. Pertama terhadap rantai pasokan dan satunya terhadap praktik-praktik China. Dia ingin China berubah secara fundamental."

Perdana Menteri China Li Keqiang pada hari Rabu (19/9/2018) mengatakan pemerintahnya mampu membantu ekonomi China menghadapi tantangan-tantangan. Namun, perekonomian tidak bisa dihindarkan dari dampak perubahan ekonomi dan perdagangan global.

"Tentu saja, kami menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk membuat kinerja ekonomi China tetap stabil," katanya.

Perang Dagang Bisa Lebih Merugikan China Daripada ASFoto: Perdana Menteri China Li Keqiang (REUTERS/Dondi Tawatao)
"Maksudnya, apa yang perang dagang lakukan adalah memaksa China meniru AS dan memberi stimulus yang besar. Masuk akal jika mereka mengetahui akan ada sedikit perlambatan," kata Harris.

"Mereka tidak akan mengurangi proyeksinya. Masyarakat sudah terbiasa dengan gagasan bahwa mereka selalu mencapai target, jadi tidak mencapainya sama dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang kesehatan fundamental perekomomian. Jika pertumbuhan telalu lemah, mereka tidak bisa mendekati targetnya. Itu bisa memunculkan pertanyaan tentang apakah benar tingkat pertumbuhan melambat."

Untuk AS, tarif impor 10% terhadap produk China senilai US$200 miliar itu sama dengan pajak sebesar US$20 miliar ke konsumen AS. "Itu adalah angka yang sangat kecil. Dibandingkan dengan pemotongan pajak, dampak di tahun pertama adalah US$150 miliar," kata Harris.

"Peningkatan [bea masuk terhadap] US$200 miliar produk adalah langkah lain menuju tarif impor yang lebih besar, tetapi itu masih kecil. Risiko nyata dari perang dagang tidak terlalu tentang kenaikan tarif impor dan penurunan belanja konsumen. Itu lebih tentang kepercayaan."

China memiliki banyak senjata untuk digunakan, dan para strategis mengatakan Negara Panda awalnya akan mengincar tarif impor balasan. Negara itu juga tidak bisa tinggal diam dan membiarkan nilai tukar mata uangnya jatuh seperti di musim panas ini.

"Depresiasi [yuan atau renminbi] adalah cara yang lebih efektif untuk mengendalikan kerusakan: dengan sedikit depresiasi terhadap dolar, dampak tarif sebagian besar bisa diimbangi," tulis para ekonom JPMorgan.

Perang Dagang Bisa Lebih Merugikan China Daripada ASPresiden AS Donald Trump (Foto: REUTERS/Leah Millis)
Meskipun begitu, risiko modal China meningkat jika negara itu membiarkan nilai tukar yuan terlalu melemah. Hal itu juga bisa memperparah ketegangan dengan Trump, yang sudah mengancam untuk mengenakan tarif ke semua produk impor China yang jumlahnya mencapai US$267 miliar.

"Menurut saya sebagian besar pelemahan renminbi sudah terjadi. Mereka tidak ingin nilai tukar mata uangnya anjlok terlalu tajam," kata Harris. Dia mengatakan pelemahan adalah respons alami layaknya penguatan dolar, dan itu bukanlah manipulasi.

"Menurut saya dalam jangka panjang, alat-alat yang bisa digunakan China adalah membiarkan mata uangnya melemah, menekan perusahaan-perusahaan AS di China dan mengubah cadangannya dari dolar ke mata uang lain," kata Harris. Dia berkata China bisa menjual surat utang AS dan membeli obligasi pemerintah Eropa atau Jepang.

"Itu adalah langkah-langkah ekstrem dan kemungkinan tidak akan dilakukan, kecuali mereka melangkah keluar tarif impor terhadap semua produk China. Namun, alasan [langkah-langkah] tersebut upaya terakhir adalah mereka bisa merugikan kedua belah pihak."



Kementerian Keuangan AS pada hari Selasa (18/9/2018) melaporkan bahwa surat berharga AS yang dimiliki China anjlok ke level terendah sejak Januari. Perubahannya tidak terlalu besar, dan para strategis menampik itu dilakukan dengan sengaja.

"Jika China benar-benar mencoba mengirim sinyal ke AS, mereka tidak akan terlalu ambivalen," kata Chandler.
(prm) Next Article Pelaku Pasar Tunggu Kabinet Jokowi Jilid II

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular