Apa Itu GSP yang Jadi Awal Ribut-ribut Perang Dagang AS-RI?

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
08 July 2018 17:42
Apa Itu GSP yang Jadi Awal Ribut-ribut Perang Dagang AS-RI?
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Amerika Serikat (AS) saat ini tengah mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor asal Indonesia, termasuk tekstil, plywood, kapas ,dan beberapa hasil perikanan seperti udang dan kepiting.

Evaluasi itu dilakukan guna menentukan produk apa saja yang masih layak menerima generalized system of preferences (GSP). Apabila hasil dari evaluasi tersebut merekomendasikan Indonesia tidak lagi berhak atas fasilitas GSP, maka manfaat program yang sudah diterima Indonesia akan dihapuskan segera setelah rekomendasinya ditandatangani Trump sekitar November 2018 sampai awal tahun 2019.

Menanggapi hal tersebut, para menteri Kabinet Kerja pun berkumpul di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta pada hari Minggu (8/7/2018) sore untuk membahas perang dagang dan kebijakan moneter bank sentral AS Federal Reserve/The Fed.

Lalu, apakah GSP itu dan seberapa penting proses evaluasinya terhadap hubungan AS-Indonesia? Simak penjelasan dari Shinta Widjaja Kamdani selaku Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berikut ini.


Apa itu GSP?

GSP adalah kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak (unilateral) yang umumnya dimiliki negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima.


Negara pemilik program GSP bisa bebas menentukan negara mana dan produk apa yang akan diberikan pemotongan bea masuk impor.

Sejauh ini, Indonesia sudah menerima GSP dari beberapa negara termasuk AS, negara-negara di Uni Eropa dan Australia.
Melalui program GSP, AS memberi potongan bea masuk terhadap sekitar 5.000 produk dari total 13.000 jenis produk dengan tiga kategori, yakni kategori A, A* dan A+.

Sampai saat ini, Indonesia masih memperoleh GSP kategori A sehingga mendapatkan potongan bea masuk untuk 3.500 produk, termasuk produk agrikultur, produk tekstil, garmen, dan perkayuan.

Meskipun begitu, Shinta menjelaskan tidak semua produk ekspor Indonesia memperoleh manfaat GSP.

"Sebagian besar produk ekspor unggulan Indonesia tidak memperoleh manfaat GSP. Sebaliknya, tidak semua produk yang diberikan manfaat GSP oleh AS untuk Indonesia diekspor oleh Indonesia ke AS," kata Shinta dalam pernyataan resmi yang diterima CNBC Indonesia hari Minggu.

Berdasarkan laporan GSP AS tahun 2016, Indonesia hanya memperoleh pemotongan bea masuk sebesar US$1,8 miliar atau setara dengan Rp 25,8 triliun dari total ekspor Indonesia ke AS sebanyak US$20 miliar di tahun 2016.

GSP akan diberikan sampai Indonesia tidak lagi menjadi negara penerima, sudah melampaui ambang batas Competitive Need Limitation (CNL) yang ditentukan, atau sampai periode program GSP berakhir pada tanggal 31 Desember 2020. Shinta menjelaskan saat ini Indonesia sedang menjalani dua proses evaluasi (review) dengan Pemerintah AS.

Pertama, evaluasi terhadap kelayakan Indonesia untuk memperoleh GSP AS. Kedua, evaluasi terhadap produk-produk yang akan diberikan pemotongan bea masuk jika diekspor dari Indonesia ke AS.

Evaluasi pertama dikoordinasikan oleh Perwakilan Perdagangan AS (United States Trade Representative/USTR). Dalam evaluasi ini, proses dilakukan berdasarkan tiga parameter, yaitu evaluasi akses pasar Indonesia terhadap produk dan pelaku usaha AS, evaluasi terhadap perlindungan hak kekayaan intelektual, serta evaluasi jaminan hak tenaga kerja.

Sementara itu, evaluasi kedua dikoordinasikan dengan Komisi Perdagangan Internasional AS (United States International Trade Commission/US ITC).

"Review tahunan terhadap produk GSP sudah dilakukan pada Januari-April 2018 dan sudah selesai dilakukan meskipun belum ada pengumuman lebih lanjut terkait perubahan produk yang akan diberikan manfaat GSP-nya untuk Indonesia," tutur Shinta.

Dia menambahkan bahwa evakuasi kelayakan Indonesia untuk memperoleh GSP masih berlangsung dan berada di tahap dengar pendapat publik (public hearing) sampai 17 Juli 2018. Proses ini dijadwalkan dilakukan sampai akhir tahun 2018.

Jika proses ini memberi rekomendasi bahwa Indonesia tidak lagi layak menerima GSP, maka Indonesia akan kehilangan manfaat yang selama ini diperoleh segera setelah rekomendasi ditetapkan oleh Trump.

Hal itu akan membuat produk ekspor Indonesia ke AS yang selama ini menerima GSP dikenakan bea masuk normal (most favored nation/MFN), layaknya sebagian besar ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam. Shinta berkata secara keseluruhan pihaknya menganggap proses evaluasi kelayakan Indonesia untuk memperoleh GSP sebagai proses penting guna menjaga hubungan perdagangan strategis Indonesia-AS yang saling menguntungkan.

"Selain membantu daya saing beberapa produk ekspor Indonesia, kami menganggap pemberian GSP AS kepada Indonesia terutama dibutuhkan oleh pelaku usaha dan konsumen AS," kata Shinta.

Lebih lanjut dia mengatakan GSP yang AS berikan untuk Indonesia memungkinkan pelaku usaha di Negeri Paman Sam, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), serta konsumen memperoleh barang konsumsi dan input produksi yang berkualitas dengan harga terjangkau dari Indonesia.

"Kami juga menyakini bahwa GSP AS untuk Indonesia juga mengurangi ketergantungan AS terhadap impor dari negara lain melalui diversifikasi impor dan turut menjaga persaingan dagang yang sehat di AS," jelasnya.


Sebelumnya, pemerintah AS melalui kedutaan besarnya di Indonesia mengonfirmasi evaluasi yang sedang dilakukan itu.

“United States Trade Representative tengah mengevaluasi eligibilitas Indonesia, dan beberapa negara terkait Generalized System of Preferences [GSP]. Ini adalah bagian dari proses tiga tahunan baru untuk menilai kelayakan negara penerima GSP yang dimulai pada bulan Oktober 2017," tulis Kedutaan Besar AS dalam keterangan resminya kepada CNBC Indonesia hari Sabtu (7/7/2018).

Meski demikian, pemerintah AS menegaskan bahwa kedua negara masih memiliki hubungan strategis yang erat, termasuk dalam hal hubungan perdagangan.

“Di bawah kepemimpinan Presiden Trump, Amerika Serikat menjunjung hubungan dagang yang adil dan resiprokal dengan semua mitra. Kami percaya bahwa perdagangan dan investasi yang bebas, adil, dan resiprokal akan membuat kita menyadari secara penuh adanya potensi dalam hubungan ekonomi."
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular