Piala Dunia 2018
Membaca Brexit dari Partai Inggris vs Belgia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 June 2018 10:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Dini hari tadi, Piala Dunia 2018 menyuguhkan partai yang semestinya seru, yaitu Inggris vs Belgia. Keduanya adalah tim yang bertabur bintang dan bakat-bakat kelas dunia.
Namun karena Tiga Singa dan Setan Merah sudah sama-sama memastikan lolos ke fase 16 besar, pertandingan pamungkas di Grup G itu cenderung monoton. Baik Inggris maupun Belgia juga menyimpan pemain-pemain terbaik mereka, menghindari cedera atau hukuman kartu yang tidak perlu.
Dalam pertandingan membosankan itu, Belgia keluar sebagai pemenang melalui gol tunggal Adnan Januzaj. Inggris pun tidak terlampau ngoyo untuk mengejar defisit gol, sehingga ya sudah kalah saja lah.
Apa yang terjadi di lapangan memang selesai di lapangan. Namun, akan menarik kalau kita menariknya ke luar lapangan, yaitu hubungan antara London dan Brussel yang saat ini sedang rumit.
Bisa jadi kekalahan Inggris ini merupakan pertanda bahwa Negeri Ratu Elizabeth akan bersedia memenuhi persyaratan Uni Eropa untuk bercerai. Ya, mereka tengah dalam proses pembahasan keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang dikenal dengan istilah Britain Exit atau Brexit.
Mengutip Reuters, delegasi Inggris yang dipimpin Perdana Menteri Theresa May sudah tiba di Brussel, markas Uni Eropa, hari Kamis (28/6/2018). Menariknya, May langsung disambut oleh Perdana Menteri Belgia Charles Michel yang memberikan jersey tim nasional Belgia lengkap dengan nomor punggung 10 bertuliskan Hazard. Maksudnya adalah Eden Hazard, gelandang sekaligus kapten Belgia.
"Sepertinya PM Belgia ingin bergerak cepat sejak peluit awal," ujar salah satu pejabat senior Inggris, dikutip dari Reuters.
May pun tidak kalah sigap. Dia ganti memberikan jersey tim nasional Inggris meski tanpa nama dan nomor punggung.
Kedatangan May ke Brussel adalah untuk melanjutkan perundingan soal Brexit. Sejumlah hal yang menjadi pembahasan adalah perbatasan, perdagangan, pariwisata, sampai keamanan.
Inggris akan resmi meninggalkan Uni Eropa pada 29 Maret 2019. Dalam waktu kurang dari setahun, segala sesuatunya harus sudah selesai. Namun ternyata tidak semudah itu.
Hingga saat ini belum ada kesepakatan yang tercapai, sehingga ada kemungkinan Inggris bercerai dengan Uni Eropa tanpa bekal apa-apa. No deal.
"Semua sepakat bahwa tidak ada kesepakatan adalah berita buruk. Kami tidak mau itu, Inggris tidak mau itu, dan itu juga bukan satu-satunya opsi yang tersedia. Namun, kita juga harus bersiap karena kita juga perlu memasukkan skenario jika sampai tidak ada kesepakatan," tutur seorang pejabat lingkungan Istana Kepresidenan Prancis, dikutip dari Reuters.
Suara lebih keras datang dari Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen. Menurutnya kemungkinan tidak ada kesepakatan soal Brexit antara Inggris dan Uni Eropa bisa saja terjadi.
"Ini adalah kali pertama kami menyampaikan kepada Inggris bahwa kita bisa saja menuju ke skenario terburuk, yaitu tidak ada kesepakatan," ujar Rasmussen.
Jika sampai no deal Brexit terjadi, maka dampaknya akan cukup luas. Inggris akan menjadi wilayah terpisah yang harus tunduk pada aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Artinya, produk Inggris yang diekspor ke wilayah Uni Eropa wajib terkena bea masuk, begitu pun produk Uni Eropa yang masuk ke Inggris. Selama ini, Inggris masuk dalam wilayah kepabeanan Uni Eropa sehingga tidak ada pengenaan bea.
Adanya bea masuk bisa membuat negara-negara Uni Eropa enggan berdagang dengan Inggris karena biayanya lebih mahal. Kalaupun produk-produk Uni Eropa masuk ke Inggris, membayar bea masuk artinya biaya importasi menjadi lebih tinggi. Pengusaha akan membebankan biaya ini kepada konsumen, dan ujungnya adalah inflasi.
Inggris bisa mengalami tekanan inflasi yang cukup besar jika barang dari Uni Eropa lebih mahal. Pasalnya, Uni Eropa adalah eksportir terbesar untuk Inggris.
Tahun lalu, impor dari Uni Eropa mencapai 8,7 miliar euro (Rp 145,47 triliun) atau 44% dari total impor Negeri Tiga Singa. Jika harga barang-barang ini naik, maka dampaknya akan luar biasa.
Selain itu, hal yang sering menjadi perdebatan adalah posisi Republik Irlandia dan Irlandia Utara. Kedua negara ini termasuk wilayah kepabeanan Uni Eropa tetapi secara geografis merupakan bagian dari Britania Raya.
Jika tanpa kesepakatan, maka hasilnya bisa menjadi rumit. Wilayah Irlandia dan Irlandia Utara bisa dihuni dua otoritas kepabeanan, yaitu dari Inggris dan Uni Eropa. Bila sampai terjadi gesekan, kemungkinan bentrok fisik cukup terbuka.
Inggris berkeras ingin meninggalkan sistem pabean dan pasar bebas Uni Eropa. Sementara Uni Eropa juga keukeuh mempertahankan dua sistem yang dibangun puluhan tahun tersebut. Oleh karena itu, perundingan soal Brexit menjadi sangat sensitif dan alot karena melibatkan kepentingan nasional masing-masing pihak. Tentu tidak ada pihak yang ingin terkesan kalah atau mengalah.
Namun dengan hasil pertandingan Inggris vs Belgia dini hari tadi, apakah itu pertanda Inggris bakal melunak? Apalagi pemerintah Inggris juga tidak akan ngoyo seperti halnya tim nasional mereka?
Jadi bagaimana Inggris? Deal or no deal?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/prm) Next Article Deretan Pemain Mahal di Piala Dunia 2018
Namun karena Tiga Singa dan Setan Merah sudah sama-sama memastikan lolos ke fase 16 besar, pertandingan pamungkas di Grup G itu cenderung monoton. Baik Inggris maupun Belgia juga menyimpan pemain-pemain terbaik mereka, menghindari cedera atau hukuman kartu yang tidak perlu.
Dalam pertandingan membosankan itu, Belgia keluar sebagai pemenang melalui gol tunggal Adnan Januzaj. Inggris pun tidak terlampau ngoyo untuk mengejar defisit gol, sehingga ya sudah kalah saja lah.
Mengutip Reuters, delegasi Inggris yang dipimpin Perdana Menteri Theresa May sudah tiba di Brussel, markas Uni Eropa, hari Kamis (28/6/2018). Menariknya, May langsung disambut oleh Perdana Menteri Belgia Charles Michel yang memberikan jersey tim nasional Belgia lengkap dengan nomor punggung 10 bertuliskan Hazard. Maksudnya adalah Eden Hazard, gelandang sekaligus kapten Belgia.
"Sepertinya PM Belgia ingin bergerak cepat sejak peluit awal," ujar salah satu pejabat senior Inggris, dikutip dari Reuters.
May pun tidak kalah sigap. Dia ganti memberikan jersey tim nasional Inggris meski tanpa nama dan nomor punggung.
Kedatangan May ke Brussel adalah untuk melanjutkan perundingan soal Brexit. Sejumlah hal yang menjadi pembahasan adalah perbatasan, perdagangan, pariwisata, sampai keamanan.
Inggris akan resmi meninggalkan Uni Eropa pada 29 Maret 2019. Dalam waktu kurang dari setahun, segala sesuatunya harus sudah selesai. Namun ternyata tidak semudah itu.
Hingga saat ini belum ada kesepakatan yang tercapai, sehingga ada kemungkinan Inggris bercerai dengan Uni Eropa tanpa bekal apa-apa. No deal.
"Semua sepakat bahwa tidak ada kesepakatan adalah berita buruk. Kami tidak mau itu, Inggris tidak mau itu, dan itu juga bukan satu-satunya opsi yang tersedia. Namun, kita juga harus bersiap karena kita juga perlu memasukkan skenario jika sampai tidak ada kesepakatan," tutur seorang pejabat lingkungan Istana Kepresidenan Prancis, dikutip dari Reuters.
Suara lebih keras datang dari Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen. Menurutnya kemungkinan tidak ada kesepakatan soal Brexit antara Inggris dan Uni Eropa bisa saja terjadi.
"Ini adalah kali pertama kami menyampaikan kepada Inggris bahwa kita bisa saja menuju ke skenario terburuk, yaitu tidak ada kesepakatan," ujar Rasmussen.
Jika sampai no deal Brexit terjadi, maka dampaknya akan cukup luas. Inggris akan menjadi wilayah terpisah yang harus tunduk pada aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Artinya, produk Inggris yang diekspor ke wilayah Uni Eropa wajib terkena bea masuk, begitu pun produk Uni Eropa yang masuk ke Inggris. Selama ini, Inggris masuk dalam wilayah kepabeanan Uni Eropa sehingga tidak ada pengenaan bea.
Adanya bea masuk bisa membuat negara-negara Uni Eropa enggan berdagang dengan Inggris karena biayanya lebih mahal. Kalaupun produk-produk Uni Eropa masuk ke Inggris, membayar bea masuk artinya biaya importasi menjadi lebih tinggi. Pengusaha akan membebankan biaya ini kepada konsumen, dan ujungnya adalah inflasi.
Inggris bisa mengalami tekanan inflasi yang cukup besar jika barang dari Uni Eropa lebih mahal. Pasalnya, Uni Eropa adalah eksportir terbesar untuk Inggris.
Tahun lalu, impor dari Uni Eropa mencapai 8,7 miliar euro (Rp 145,47 triliun) atau 44% dari total impor Negeri Tiga Singa. Jika harga barang-barang ini naik, maka dampaknya akan luar biasa.
Selain itu, hal yang sering menjadi perdebatan adalah posisi Republik Irlandia dan Irlandia Utara. Kedua negara ini termasuk wilayah kepabeanan Uni Eropa tetapi secara geografis merupakan bagian dari Britania Raya.
Jika tanpa kesepakatan, maka hasilnya bisa menjadi rumit. Wilayah Irlandia dan Irlandia Utara bisa dihuni dua otoritas kepabeanan, yaitu dari Inggris dan Uni Eropa. Bila sampai terjadi gesekan, kemungkinan bentrok fisik cukup terbuka.
Inggris berkeras ingin meninggalkan sistem pabean dan pasar bebas Uni Eropa. Sementara Uni Eropa juga keukeuh mempertahankan dua sistem yang dibangun puluhan tahun tersebut. Oleh karena itu, perundingan soal Brexit menjadi sangat sensitif dan alot karena melibatkan kepentingan nasional masing-masing pihak. Tentu tidak ada pihak yang ingin terkesan kalah atau mengalah.
Namun dengan hasil pertandingan Inggris vs Belgia dini hari tadi, apakah itu pertanda Inggris bakal melunak? Apalagi pemerintah Inggris juga tidak akan ngoyo seperti halnya tim nasional mereka?
Jadi bagaimana Inggris? Deal or no deal?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/prm) Next Article Deretan Pemain Mahal di Piala Dunia 2018
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular