Piala Dunia 2018

Football Is (Not) Coming Home

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 July 2018 10:16
Football Is (Not) Coming Home
Foto: REUTERS/Darren Staples
Jakarta, CNBC Indonesia - Usai sudah perjalanan panjang tim nasional Inggris di Piala Dunia 2018. Di babak semifinal, Tim Tiga Singa harus mengakui ketangguhan dan determinasi Kroasia dengan skor 1-2. 

Kedua tim bermain sama kuat 1-1 pada waktu normal. Namun Kroasia yang punya semangat dan daya tahan seperti tank mampu membuat gol jelang berakhirnya perpanjangan waktu. Inggris yang sudah kelelahan pun harus mengakui kekalahannya. 

Football is coming home. Sepakbola pulang ke rumah. Begitu kalimat yang sering didengungkan publik dan pendukung tim nasional Inggris di Rusia 2018. Maksudnya adalah Inggris diharapkan bisa membawa pulang trofi paling bergengsi di dunia ke tanah kelahiran sepakbola. 

Namun apa daya karena yang terjadi adalah national football team is coming home. Tim nasional yang pulang, bukan trofi Piala Dunia. 

Meski begitu, Inggris yang bisa mencapai fase empat besar sebenarnya sudah melampaui ekspektasi. Maklum, catatan Inggris di Piala Dunia tidak terlalu mentereng.  

Sejak mencapai semifinal di Italia 1990, prestasi Inggris paling mentok adalah perempat final yaitu di Jepang-Korea Selatan 2002 dan Jerman 2006. Di Afrika Selatan 2010, Inggris mentok di babak 16 besar sementara di Brasil 2014 bahkan tidak mampu lolos dari fase grup. 

Oleh karena itu, sulit untuk berharap Inggris bisa melaju jauh meski harapan para Britons tetap tinggi. Bisa sampai perempatfinal saja sudah bagus, asal jangan terlalu memalukan.  

Bahkan di jajak pendapat salah satu harian ternama, publik Inggris mayoritas memperkirakan tim nasional mereka hanya mentok di penysihan grup (43%). Sementara yang lain (39%) memperkirakan Inggris hanya bisa bertahan sampai 16 besar. Hanya 2% dari 3.600 responden yang memperkirakan Inggris bisa sampai semifinal. 

Namun Harry Kane dan kolega membalikkan perkiraan itu dan membawa harapan. Tim asuhan Gareth Southgate mampu melalui perempatfinal dan mencapai semifinal.

Angan pendukung Inggris pun melayang, kini target mereka adalah menjadi juara untuk mewujudkan jargon football is coming home.

Walau gagal, tetapi Inggris boleh pulang dengan kepala tegak. Inggris sudah berjuang semampunya dan berhasil melampaui pencapaian pada era David Beckham, Steven Gerrard, atau Frank Lampard.

Selain itu, Inggris punya masa depan yang cerah. Fondasi tim sudah terbentuk, dan mereka bisa bermain bersama dalam waktu yang lumayan lama.

Rata-rata usia pemain Inggris di Rusia 2018 adalah 26 tahun. Tim ini masih bisa diberdayakan sampai Piala Eropa 2020 bahkan Piala Dunia 2022. Mereka sudah relatif padu, tinggal diasah lebih lanjut terutama soal insting mencetak gol.

Namun ada syaratnya. Selama ini performa tim nasional Inggris lebih sering terganggu oleh faktor-faktor non teknis. Pada awal milenium baru, pelatih Sven-Goran Eriksson digoyang oleh isu perselingkuhan.

Masih soal percintaan, ban kapten John Terry dicabut karena berselingkuh dengan mantan istri Wayne Bridge. Terry dan Bridge pernah bermain bersama di Chelsea.

Lagi-lagi soal percintaan dan perselingkuhan, Wayne Rooney pun sempat terpergok selingkuh. Tidak hanya itu, Rooney beberapa kali berurusan dengan polisi karena menyetir dalam pengaruh alkohol.

Coleen Rooney, sang istri, sempat berpikir untuk mengajukan cerai karena bosan dengan ulah Si Shrek. Bahkan dia menuntut kompensasi senilai 70 juta poundsterling (Rp 1,33 triliun dengan kurs sekarang). Namun langkah itu tidak jadi diambil, dan mereka masih bersama.

Kemudian pada pertengahan dekade 2000-an, tim nasional Inggris dihadapkan pada polemik yang rasanya ganjil tapi ada benarnya. Bisakah Gerrard dan Lampard main bareng? Bukankah posisi dan gaya permainan mereka agak identik? Nyatanya, Inggris memang tidak bisa meraih apa-apa saat mereka main bersama.

Jelang berangkat ke Rusia pun tim nasional Inggris dirundung polemik. Media dan publik Inggris malah meributkan soal tato senjata laras panjang di kaki penyerang Manchester City, Raheem Sterling. Menurut mereka, tato tersebut seakan mempromosikan budaya kekerasan. Apalagi kala Inggris sempat mengalami beberapa serangan teror seperti di London atau Manchester.

Danny Rose (Tottenham Hotspur) pun awalnya ragu untuk berangkat ke Rusia. Dia khawatir akan mendapat perlakuan rasis di Negeri Beruang Merah.

Namun Southgate meminta tim fokus ke pertandingan, lupakan hal-hal nonteknis selain sepakbola. Hasilnya lumayan, Inggris bisa melaju cukup jauh di Rusia 2018.

Mungkin sekarang belum saatnya football pulang ke rumah. Akan tetapi, tim ini masih punya masa depan. Suatu saat, mungkin dalam waktu tidak terlalu lama, bukan tidak mungkin football is really coming home.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular