Piala Dunia 2018

Football Is (Not) Coming Home

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 July 2018 10:16
Jangan Ganggu dengan Faktor Non-Teknis
Foto: REUTERS/Carl Recine
Walau gagal, tetapi Inggris boleh pulang dengan kepala tegak. Inggris sudah berjuang semampunya dan berhasil melampaui pencapaian pada era David Beckham, Steven Gerrard, atau Frank Lampard.

Selain itu, Inggris punya masa depan yang cerah. Fondasi tim sudah terbentuk, dan mereka bisa bermain bersama dalam waktu yang lumayan lama.

Rata-rata usia pemain Inggris di Rusia 2018 adalah 26 tahun. Tim ini masih bisa diberdayakan sampai Piala Eropa 2020 bahkan Piala Dunia 2022. Mereka sudah relatif padu, tinggal diasah lebih lanjut terutama soal insting mencetak gol.

Namun ada syaratnya. Selama ini performa tim nasional Inggris lebih sering terganggu oleh faktor-faktor non teknis. Pada awal milenium baru, pelatih Sven-Goran Eriksson digoyang oleh isu perselingkuhan.

Masih soal percintaan, ban kapten John Terry dicabut karena berselingkuh dengan mantan istri Wayne Bridge. Terry dan Bridge pernah bermain bersama di Chelsea.

Lagi-lagi soal percintaan dan perselingkuhan, Wayne Rooney pun sempat terpergok selingkuh. Tidak hanya itu, Rooney beberapa kali berurusan dengan polisi karena menyetir dalam pengaruh alkohol.

Coleen Rooney, sang istri, sempat berpikir untuk mengajukan cerai karena bosan dengan ulah Si Shrek. Bahkan dia menuntut kompensasi senilai 70 juta poundsterling (Rp 1,33 triliun dengan kurs sekarang). Namun langkah itu tidak jadi diambil, dan mereka masih bersama.

Kemudian pada pertengahan dekade 2000-an, tim nasional Inggris dihadapkan pada polemik yang rasanya ganjil tapi ada benarnya. Bisakah Gerrard dan Lampard main bareng? Bukankah posisi dan gaya permainan mereka agak identik? Nyatanya, Inggris memang tidak bisa meraih apa-apa saat mereka main bersama.

Jelang berangkat ke Rusia pun tim nasional Inggris dirundung polemik. Media dan publik Inggris malah meributkan soal tato senjata laras panjang di kaki penyerang Manchester City, Raheem Sterling. Menurut mereka, tato tersebut seakan mempromosikan budaya kekerasan. Apalagi kala Inggris sempat mengalami beberapa serangan teror seperti di London atau Manchester.

Danny Rose (Tottenham Hotspur) pun awalnya ragu untuk berangkat ke Rusia. Dia khawatir akan mendapat perlakuan rasis di Negeri Beruang Merah.

Namun Southgate meminta tim fokus ke pertandingan, lupakan hal-hal nonteknis selain sepakbola. Hasilnya lumayan, Inggris bisa melaju cukup jauh di Rusia 2018.

Mungkin sekarang belum saatnya football pulang ke rumah. Akan tetapi, tim ini masih punya masa depan. Suatu saat, mungkin dalam waktu tidak terlalu lama, bukan tidak mungkin football is really coming home.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular